Tema Utama
Al-Idrisi Sang Perintis Peta Dunia
Muhammad al-Idrisi membuat peta dunia pertama yang begitu informatif yang sudah selesai dikerjakan pada 1154.
OLEH HASANUL RIZQA
Muhammad al-Idrisi, salah satu ilmuwan besar dalam sejarah. Ahli kartografi itu dikenang sebagai "Bapak Peta Global". Dialah yang pertama kali merancang peta dunia yang detail dan akurat.
Mengenal Sang Kartografer
Andalusia merupakan sebutan bagi negeri Islam yang pernah berjaya di Semenanjung Iberia pada abad kedelapan hingga ke-15 Masehi. Wilayahnya dipimpin berbagai dinasti Muslim yang datang silih berganti.
Sejarahnya memang diwarnai turbulensi berkali-kali, semisal konflik perebutan kekuasaan atau bahkan perang saudara. Bagaimanapun, hal itu tidak sampai menghilangkan cahaya peradaban yang bersinar terang dari sana.
Semasa Dinasti Murabithun berkuasa, lahirlah seorang saintis Andalusia yang brilian. Muhammad al-Idrisi, demikian namanya, merupakan ilmuwan yang dijuluki sebagai “bapak peta global". Sebab, dialah yang mula-mula menciptakan peta dunia dan globe pertama secara akurat.
Muhammad al-Idrisi dijuluki sebagai “bapak peta global". Sebab, dialah yang mula-mula menciptakan peta dunia dan globe pertama secara akurat.
Orang-orang Eropa barat menyebutnya Edrisi atau Dreses. Muhammad al-Idrisi as-Sabtah asy-Syarif ash-Shaqli lahir pada 1100 M di Ceuta atau Sabtah, kawasan pesisir Maghribiyah, Afrika utara. Kota yang hanya berjarak 40 km dari bibir pantai Spanyol tersebut waktu itu dipimpin oleh Murabithun.
Muhammad Gharib Jaudah dalam 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam menjelaskan, al-Idrisi berasal dari keluarga Idrisiyah, yang termasuk kelompok al-Alawiyah. Karena itu, dirinya bergelar asy-Syarif. Garis nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Ia juga bertitel ash-Shaqli lantaran cukup lama menetap di Pulau Sisilia (Shiqiliyyah). Pada 1154 M, kartografer Muslim tersebut berhasil membuat peta dunia yang terlengkap pada masanya. Hasil kerja kerasnya selama 15 tahun itu diberi judul “Nuzhat al-Musytaq fii Ikhtiraq al-Afaq,” ‘gejolak kerinduan untuk menembus batas cakrawala.’
Namun, masyarakat Barat lebih mengenalnya sebagai “Tabula Rogerania” atau ‘Peta Roger.’ Sebab, pembuatan karya itu disponsori raja Sisilia, Roger II.
Jaudah menuturkan, al-Idrisi memulai pendidikan dasarnya di Sabtah, sebelum hijrah ke Fas. Saat berusia remaja, ia menyeberangi Selat Jabal Thariq hingga sampai di Kordoba. Selama beberapa tahun, ia tinggal di kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Bani Umayyah tersebut.
Walaupun kekuasaan Umayyah telah tergantikan berturut-turut oleh eksistensi taifa (negara-kota) dan Murabithun, Kordoba tetaplah memesona. Inilah salah satu mercusuar peradaban yang harum namanya bukan hanya di Iberia, melainkan juga seluruh Eropa. Ada banyak majelis ilmu dan sekolah tinggi di sana yang menjadi pusat kegiatan intelektual dengan beragam spesialisasi.
Selama merantau di Kordoba, al-Idrisi mempelajari matematika dan ilmu astronomi.
Jaudah mengatakan, selama merantau di Kordoba, al-Idrisi mempelajari matematika dan ilmu astronomi. Perhatiannya juga tercurah pada kajian ilmu botani, farmasi, biologi, dan kedokteran. Bagaimanapun, dirinya kemudian memilih tekun pada bidang geografi.
Waktunya juga digunakan untuk banyak membaca. Beruntunglah dirinya berada di Andalusia, khususnya kota permata seperti Kordoba. Ada banyak perpustakaan umum di sana dengan koleksi ribuan buku. Penguasa Muslim setempat menyediakan seluruh fasilitas publik itu secara cuma-cuma.
Dari beragam buku yang dibacanya, beberapa judul berkaitan dengan studi ilmu bumi. Sebut saja, karya-karya al-Mas’udi, sang pengelana, ahli sejarah dan geografi sekaligus dari Daulah Abbasiyah abad kesembilan.
Peta yang dibuat al-Mas’udi berhasil menggambarkan garis pantai di tiga benua, yaitu Asia, Eropa, dan Afrika. Saintis kelahiran Baghdad itu juga menyajikan skala pemetaan yang lebih proporsional ketimbang peta-peta sebelumnya yang dihasilkan kartografer Eropa.
Dalam petanya tampak sehamparan daratan yang terletak di seberang Afrika, yang besarnya nyaris sama dengan Benua Hitam itu. Para sejarawan modern menduga, gambar tersebut menunjukkan bagian bumi yang kini dinamakan Benua Amerika.
Dalam petanya tampak sehamparan daratan yang terletak di seberang Afrika, yang besarnya nyaris sama dengan Benua Hitam itu.
Al-Idrisi juga menelaah karya-karya Muhammad Abul Qasim bin Hauqal. Petualang yang lahir di Daulah Abbasiyah pada abad ke-10 itu selalu mencatat keadaan geografis tempat-tempat yang dikunjunginya.
Berbagai catatan yang dibuat sang pengelana, khususnya yang terhimpun dalam kitab Shurah al-‘Ard, ‘Wajah Bumi’, amat berfaedah bagi generasi berikutnya. Tidak terkecuali, pemuda yang sedang meniti kariernya dalam bidang kartografi ini.
Tentunya, perpustakaan-perpustakaan di Kordoba juga menyimpan manuskrip dari kebudayaan pra-Islam, semisal Yunani dan Romawi Kuno. Misalnya, naskah-naskah yang merekam buah pemikiran Klaudius Ptolemaeus. Ahli ilmu bumi dari Yunani itu hidup pada abad kedua Masehi. Risalahnya yang terkenal, Geographia, menjadi bahan kajian yang amat menarik bagi kaum terpelajar di Andalusia saat itu.
Tidak cukup dengan membaca buku-buku, al-Idrisi juga melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Kawasan pertama yang dijelajahinya adalah daerah pesisir Mediterania di Eropa, termasuk Portugal, Prancis, Italia, dan Sisilia. Menurut Jaudah, rihlah yang dilakukan orang Ceuta itu telah memberikan pelbagai informasi faktual dan ilmiah mengenai wilayah-wilayah yang disambanginya.
Langkah kakinya juga sampai di Maroko, berdekatan dengan daerah tempatnya lahir. Selanjutnya, ia menuju ke Mesir, Syam, dan Konstantinopel. Di ibu kota Romawi Timur atau Bizantium tersebut, dirinya mencatat banyak hal mengenai riset yang dilakukan Ptolemaeus. Beberapa sumber menyebutkan, sarjana Muslim itu bepergian hingga sejauh Hongaria dan Inggris.

Berpindah
Pada 1050 M, rezim Dinasti Murabithun kian goyah di Andalusia. Dari Afrika utara, datanglah kekuatan baru yang bernama Muwahhidun. Setelah berhasil menguasai Maghribiyah, wangsa yang berideologi rasionalis-ekstrem itu berupaya merebut Iberia.
Maka terjadilah perang antarsesama dinasti Muslim. Dalam kondisi yang serba kacau itu, banyak ilmuwan Andalusia yang berpindah ke luar. Mereka bermigrasi ke negeri-negeri lain yang relatif aman atau stabil secara politik.
Al-Idrisi bersama dengan rekan-rekan sejawatnya, semisal ilmuwan serba bisa (polymath) Abu al-Shalt alias Albuzale, hijrah ke Sisilia. Waktu itu, pulau tersebut sudah dikuasai kaum bangsawan Normandia yang telah sukses mengusir Dinasti Fathimiyah dari sana.
Orang-orang Normandia setempat mengangkat Pangeran Roger sebagai pemimpin. Penguasa itu bernama mirip dengan ayahnya sehingga bergelar Roger II. Dalam menjalankan pemerintahan, raja Kristen tersebut rupanya menerapkan prinsip meritokrasi. Artinya, hanya sosok-sosok kompeten yang dapat menduduki jabatan.
Al-Idrisi merupakan salah seorang yang diincar sang raja untuk bisa bekerja sama demi kemajuan negerinya.
Mengetahui kedatangan para pengungsi dari Andalusia, Roger II menjadi gembira. Pasalnya, di antara mereka terdapat kaum ilmuwan Muslim yang kepakarannya dalam ilmu-ilmu pengetahuan sudah menjadi pembicaraan umum. Al-Idrisi merupakan salah seorang yang diincar sang raja untuk bisa bekerja sama demi kemajuan negerinya.
Sang kartografer sesungguhnya memilih Sisilia dengan alasan yang relatif praktis. Pulau tersebut merupakan salah satu bandar niaga yang sibuk di rute Laut Tengah. Ada banyak pedagang dari berbagai bangsa yang singgah di sana. Mereka sarat akan pengalaman mengarungi samudra luas serta mengunjungi banyak kota dan negeri di dunia.
Dengan mewawancarai mereka, al-Idrisi dapat menjaring informasi yang berharga mengenai detail kota-kota penting global. Tentunya, keterangan yang paling diburunya adalah diskripsi tentang keadaan geografis daerah-daerah yang mereka telah sambangi. Dari jawaban para pelaut itu, dirinya dapat mengonstruksi rancangan peta dunia dengan lebih sempurna.

Roger II benar-benar menaruh simpati pada ketekunan al-Idrisi. Setelah mengundangnya ke istana, raja Nasrani itu memintanya untuk membuat sebuah peta dunia. Ilmuwan dari Andalusia itu juga dipersilakannya untuk memimpin tim saintis sesuai kehendak sendiri. Pada akhirnya, proyek pengerjaan peta global tersebut diketuai al-Idrisi dan beranggotakan sejumlah ahli geografi Muslim.
Lima tahun sejak menjadi pendatang di Sisilia, ia pun mulai bekerja untuk menyelesaikan peta dunia buatannya. Al-Idrisi melakukan studi selama belasan tahun untuk dapat menghasilkan karya yang sungguh-sungguh perinci dalam menggambarkan muka bumi. Kartografer itu terus melakukan pekerjaannya dengan dukungan fasilitas dari negara. Barulah setelah Roger II mangkat, situasi politik di sana kian kacau.
Peta dunia karya al-Idrisi sudah selesai dikerjakan pada 1154. Beruntung, Roger II masih sempat menyaksikan kerja keras ilmuwan favoritnya itu.
Peta dunia karya al-Idrisi sudah selesai dikerjakan pada 1154. Beruntung, Roger II masih sempat menyaksikan kerja keras ilmuwan favoritnya itu. Sebab, beberapa pekan sesudah itu raja tersebut meninggal dunia.
Ditulis dalam dwibahasa, yakni Arab dan Latin, peta berjudul “Nuzhat al-Musytaq fii Ikhtiraq al-Afaq” itu nyaris tidak berbeda dengan peta yang dibuat pada era modern kini. Jelas sekali bahwa al-Idrisi memproyeksikan bumi sebagai sebuah bola—bukan bidang datar. Dalam perhitungannya, keliling bumi adalah 37 ribu km; tidak jauh meleset dari kalkulasi modern, yakni sekira 40 ribu km.
Mengikuti tradisi kartografi dari zaman Yunani klasik, al-Idrisi membagi peta dunia menjadi tujuh zona iklim. Dibandingkan dengan peta-peta yang dibuat sebelumnya, karya sang saintis Muslim terbilang unggul karena sangat informatif.
Ia tidak hanya menyajikan gambar muka bumi, yang terdiri atas tujuh benua dan tujuh samudra. Di petanya itu, ia juga menunjukkan rute-rute perdagangan, nama-nama danau, sungai, kota-kota besar, lautan, daratan, dan gunung. Itu semua disertai dengan keterangan atau data tentang jarak dan tinggi suatu tempat.
Gambaran umum wilayah, daftar kota-kota utama, laporan lengkap dari setiap kota, dan jarak antarkota—itu semua tak ketinggalan disampaikannya. Umpamanya, keterangan perihal perjalanan dari Fas menuju Ceuta di Maghribiyah. Rihlah itu, tulis al-Idrisi, membutuhkan waktu tujuh hari perjalanan.
Agak berbeda dengan peta modern, sisi atas peta al-Idrisi adalah belahan selatan. Adapun belahan utara diletakkannya di sisi bawah peta. Ini berkaitan dengan cara pandang atau perspektif yang digunakannya, yakni dari titik Andalusia.
Sayangnya, “Nuzhat al-Musytaq” atau “Tabula Rogerania” tidak seluruhnya selamat sampai ke masa modern. Sebagian besar karya al-Idrisi yang tak ternilai itu turut rusak dalam peristiwa kerusuhan di Sisilia pada 1160 M. Alhasil, pemahaman orang saat ini tentang legasi sang kartografer didasarkan pada versi singkat yang dinukil dari buku kedua yang ditulisnya untuk putra Roger II, William II.
Islam di Negeri Alpen
Komunitas Muslim menjadi bagian dari dinamika dan masyarakat Swiss.
SELENGKAPNYAPencuri yang ‘Kecurian’
Malik bin Dinar hanya melihat pencuri dari kamar tempatnya shalat.
SELENGKAPNYA