Sejumlah anggota DPRD Papua dan Papua Barat menemui Menko Polhukam Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (24/9/2019). | ANTARA FOTO

Podium

Keterwakilan Orang Papua Merosot

Ketakutan munculnya perda yang menyingkirkan OAP dinilai terlalu berlebihan.?

Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai, rekrutmen politik di Bumi Cenderawasih melanggar hak-hak khusus orang asli Papua (OAP). Ketua Urusan Rumah Tangga di MRP Dorince Meheu mengatakan, hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua dan Papua Barat tak menunjukkan keberpihakan kepada orang asli Papua. Fakta tersebut, kata Dorince, terlihat dari hasil pemilihan umum daerah 2019, yang menunjukkan dominasi keterpilihan dari orang bukan asli Papua.

Jika pembuat regulasi atau perda (peraturan daerah) dan lain-lain dikuasai oleh saudara-saudara kita non-OAP, berarti dampak buruk bisa terjadi dalam kehidupan OAP nantinya, kata Dorince, dalam pesan rilisnya kepada Republika, Selasa (5/11).

MRP mencatat, dari 14 wilayah kabupaten dan kota yang menggelar Pileg 2019 di Papua dan Papua Barat, menunjukkan hasil yang timpang antara orang asli Papua dan yang bukan asli orang Papua. Dorince yang merupakan anggota MRP, perwakilan dari perempuan gereja di wilayah adat Tabi, menyampaikan data-data hasil resmi Pileg 2019.

Di Kabupaten Sarmi yang memiliki jumlah total 20 kursi, hanya tujuh yang berhasil lolos ke DPR Papua. Di Kabupaten Boven Digul, yang juga mempunyai 20 kursi, pun hanya enam orang asli Papua yang lolos.Sedangkan di Kabupaten Asmat yang mempunyai 25 kursi, orang asli Papua cukup dominan dengan 14 kursi, dan 11 sisanya diduduki non-Papua. Begitu juga di Kabupaten Mimika, dari 35 kursi, perimbangan antara orang asli Papua dan bukan berjumlah 18 berbanding 17 orang.

Di Kabupaten Fakfak, hanya delapan orang asli Papua yang lolos dalam perebutan 20 kursi perwakilan. Di Kabupaten Raja Ampat pun hanya sembilan orang asli Papua yang mewakili 20 kursi. Sedangkan di Kabupaten Sorong, dari perebutan 30 kursi, 24 diantaranya diraih pendatang. Di Kabupaten Teluk Wondama, perebutan 25 kursi DPR Papua, hanya 11 orang yang asli dari Papua.

Di Kabupaten Marauke yang menyediakan 30 kursi keterwakilan, orang asli Papua hanya diwakili oleh tiga orang. Begitu juga di Kabupaten Sorong Selatan yang memiliki 20 kursi, orang asli Papua hanya diwakili oleh tiga orang. Sedangkan di Kabupaten Sorong yang mempunyai 20 kursi, orang asli Papua hanya tujuh orang. Di Kota Jayapura, sebagai wilayah tingkat dua dengan pembagian terbesar sebanyak 40 kursi, orang asli Papua hanya 13 orang. Di Kabupaten Keerom dengan 20 kursi, orang asli Papua pun cuma terwakilkan tujuh nama. Terakhir, di Kabupaten Jayapura yang menyediakan 25 kursi DPR Papua, orang asli Papua hanya diwakili oleh tujuh nama.

Dorince menambahkan, angka keterpilihan orang asli Papua di DPR Papua, dan Papua Barat kian merosot. Menurut dia, ada dua kesimpulan dari data hasil keterpilihan DPR Papua dan Papua Barat tersebut. Pertama, kata dia, itu menunjukkan terancam hilangnya hak-hak politik orang asli Papua. Dan kami benar-benar disingkirkan dan dimarjinalkan dari tanah leluhur kami, kata Dorince.

Yang kedua, kata dia, hasil tersebut membuktikan adanya penguasaan populasi dari masyarakat pendatang, yang semakin mengancam populasi orang asli Pa pua. Bahwa jumlah penduduk orang asli Papua, kini sebagai minoritas di tanahnya sendiri. Jumlah penduduk orang pendatang, kini sebagai mayoritas, kata Dorince. Sebagai anggota MRP, Dorince mengatakan, situasi tersebut mengkhawatirkan. Pun, kata dia, kondisi tersebut, sebagai pengabaian terhadap orang asli Papua.

Belum lagi, kata dia, hasil DPR Papua dan Papua Barat tersebut mengabaikan hak-hak perempuan. Karena, kata dia, sampai hari ini keterwakilan legislatif daerah Papua dan Papua Barat tak pernah mencapai 30 persen.Hasil ini (DPR Papua dan Papua Barat) bisa dibatalkan sebenarnya, ujar Dorince. Alasannya, kata dia, mengacu pada Pasal 20 dan 21 Undang-Undang 21/2001 tentang Oto nomi Khu sus Papua. Dikatakan dalam beleid tersebut, MRP punya hak memper tanyakan kepada elite politik di level pusat dan daerah tentang hak-hak politik orang asli Papua dalam keterwakilannya di daerah maupun di pusat.Termasuk, dalam hal meng evaluasi aturan- aturan yang dinilai melanggar hak-hak keadilan orang asli Papua di Tanah Papua.

Harus Kolaborasi

Pengamat tata negara dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir, mengatakan, tak perlu khawatir terhadap keterwakilan orang bukan asli Papua yang menduduki kursi dewan legislatif di Papua dan Papua Barat. OAP dan orang yang bukan asli Papua bisa bekerja sama membangun Bumi Cenderawasih.

"Karena bagaimanapun orang-orang apalagi disebut orang pendatang di Papua tidak akan berbuat yang berlebihan atau 'semena-mena' terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ke-Papua-an," ujar Zuly kepada Republika, Senin (18/11).

Menurut dia, mereka yang bukan OAP maupun pendatang sudah menjadi bagian dari Papua karena sama-sama mencari nafkah dan memajukan Papua. Para pendatang yang menjadi anggota legislatif pun dipilih oleh masyarakat Papua.

Dengan demikian, kata Zuly, mereka diakui keberadaannya oleh warga Papua itu sendiri. Sehingga, kekhawatiran peraturan daerah (perda) yang dihasilkan anggota legislatif Papua akan menyudutkan OAP di masa depan terlalu berlebihan. "Jadi, sebetulnya ketakutan bahwa nanti perda-perda ini menguntungkan orang pendatang dan kemudian orang Papua tersingkir menurut saya terlalu berlebihan," kata dia.

Zuly mengatakan, seharusnya OAP dan bukan OAP yang duduk di kursi legislatif, baik DPRP maupun DPRD kabupaten/kota harus berkolaborasi memajukan Tanah Papua. Jika tidak menuju pencapaian kesejahteraan warga Papua, OAP seharusnya bisa mendorong hal itu. Apalagi, Papua mempunyai MRP sebagai representasi kultural OAP yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak OAP. Tentunya berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Menurut Zuly, MRP dan dewan legislatif di Papua semestinya memperjuangkan hak- hak warga Papua. MRP bisa mendorong legislatif memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak Papua, kesejahteraan warga Papua, termasuk memperjuangkan keadilan orang yang terdiskriminasi secara hukum.

"Menurut hemat saya perlu political will teman-teman di MRP dan pemerintah daerah serta pemerintah pusat untuk memajukan Papua secara bersama, menjadi salah satu kunci agar Papua ini betul-betul setara dengan daerah-daerah lain," kata Zuly.

Selain itu, ia juga mendorong pemerintah pusat menjelaskan bahwa siapa pun yang ada di daerah tertentu, seperti orang Jawa di Papua atau orang Sulawesi di Papua, berarti bersama-sama membangun daerah tempat tinggalnya. Sebab, hak setiap warga negara Indonesia untuk tinggal di wilayah Tanah Air serta keinginan memajukan daerah tersebut dengan menjadi anggota dewan legislatif. (ed:ilham tirta)



DATA KETERWAKILAN OAP: NON-OAP DI DPRD

Kabupaten Sarmi: 7 : 13

Kabupaten Boven Digul: 6: 14

Kabupaten Asmat: 14: 11

Kabupaten Mimika: 18 : 17

Kabupaten Fakfak: 8: 12

Kabupaten Raja Ampat: 9-11

Kabupaten Sorong: 6 : 24

Kabupaten Teluk Wondama: 11 : 14

Kabupaten Marauke: 3 : 27

Kabupaten Sorong Selatan: 3: 17

Kabupaten Sorong: 7: 13

Kota Jayapura: 13 : 27

Kabupaten Keerom: 7: 13

Kabupaten Jayapura: 7 : 18

(Sumber: RMP)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat