
Kabar Tanah Suci
Diorama Kehidupan di Multazam
Di Multazam, semua perjalanan dua tahun itu tersusun bak diorama yang menghantarkan saya ke Tanah Suci.
OLEH AHMAD SYALABY ICHSAN dari Madinah, Arab Saudi
Multazam menjadi tempat pecahnya air mata saya pada hangatnya dini hari di Masjidil Haram, Rabu (1/5), Waktu Arab Saudi. Area di antara Hajar Aswad dan Pintu Ka’bah itu saya dekati hingga dua langkah kaki. Border yang menjaga keagungan Ka’bah dari wabah semoga tak menghalangi doa-doa saya di tempat yang diijabah Allah Ta’ala.
Doa bagi agama, bangsa, keluarga, dan Republika tentunya. Media umat tempat saya meniti nafkah tiga belas tahun ke belakang.
Di keluarga saya, haji sudah menjadi tradisi. Dulu, orang Betawi boleh saja hidup miskin tetapi mereka punya tabungan untuk berangkat haji. Beberapa sepupu saya pun dengan kehidupannya yang sederhana, sudah memiliki nomor porsi. Mereka menabung dari hasil bekerja dan berjualan kue, rupiah demi rupiah.
Kakek saya, almarhum Haji Sarbini, hanyalah seorang buruh dan tukang kebun. Namun beliau sudah berhaji dua kali. Keberangkatan pertama dilakoni bersama istrinya almarhumah Hajjah Muhayya dengan menggunakan kapal.
Ibu saya bercerita, perjalanan mereka bisa mencapai dua bulan. Mereka harus membawa beragam bahan makanan lengkap dengan kompor minyak untuk memasak. Tidurnya pun harus beralaskan Velbed.
Di keluarga saya, haji sudah menjadi tradisi. Dulu, orang Betawi boleh saja hidup miskin tetapi mereka punya tabungan untuk berangkat haji.
Keberangkatan haji yang kedua, kakek saya menjual sebidang tanah. Kakek yang sudah ditinggal wafat istrinya mengajak anak dan menantunya untuk berhaji. Ayah dan ibu saya ikut merasakan rezeki kemurahan baba (panggilan almarhum) untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Karena itu, saya berdoa semoga Baba dan enyak (panggilan almarhumah Hajjah Muhayya) dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di Raudhatul Jannah (taman-taman surga). Saya pun mengiba agar semua cucu dan cicit beliau bisa ikut sampai ke Tanah Suci menunaikan haji — meski tidak sampai menjual tanah.
Kesempatan saya untuk berhaji sebenarnya sudah datang tiga kali. Tiga-tiganya datang melalui proses seleksi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Hanya, dua seleksi sebelumnya (2013 dan 2019), panggilan itu belumlah datang. Saya gagal lolos seleksi yang dihelat Kementerian Agama (Kemenag) itu. Saya berintrospeksi. Sangat mungkin Allah belum mau memanggil karena saya yang masih terlalu sering larut dalam maksiat.
Pada 2020, gayung bersambut. Nama saya masuk dalam daftar petugas haji yang lolos administrasi. Saya mesti mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dua kegagalan sebelumnya saya evaluasi agar tidak terjadi kembali saat ini.
Saat mengikuti tes tulis, saya cukup lega karena mendapatkan hasil cukup baik. Saya optimistis bisa mendapatkan tiket untuk tahun ini terlebih hanya saya yang menjadi perwakilan kantor. Optimisme itu masih ada karena saya tak pernah membayangkan Covid-19 akan menjadi pandemi.
Hanya saja, situasi yang ada berbanding terbalik dengan harapan. Perkembangan hari ke hari semakin tidak menguntungkan. Korban berjatuhan. Berita kematian hampir setiap hari diumumkan, tidak terkecuali di Arab Saudi.
Perkembangan hari ke hari semakin tidak menguntungkan. Korban berjatuhan. Berita kematian hampir setiap hari diumumkan, tidak terkecuali di Arab Saudi.
Alhasil, berita itu pun datang. Pemerintah RI memutuskan tidak mengirim jamaah haji. Keputusan ini sesuai dengan kebijakan Saudi yang menutup haji bagi jamaah internasional. Penyelenggaraan ibadah dilaksanakan sungguh terbatas. Haji dibuka hanya untuk seribu orang yang kebanyakan adalah warga lokal. Kami, para calon petugas haji yang gagal berangkat pun mafhum mengingat faktor nyawa banyak orang yang jadi pertimbangan.
Waktu pun berjalan begitu cepat. Tahun kedua, pandemi sudah menunjukkan gejala mereda. Doa saya masih tetap sama agar tahun itu Saudi kembali menormalisasi haji. Sayangnya, awal 2021, ganasnya virus Delta — varian hasil mutasi Covid-19 — membuat lampu kuning kembali menyala.
Kami menyaksikan begitu banyak nyawa bergelimpangan. Kebutuhan oksigen meningkat. Rumah sakit sudah tidak bisa menampung pasien Covid-19. Tidak sedikit keluarga dan teman saya yang menjadi korban.
Sesuai dengan pengumuman dari Menteri Agama, Indonesia kembali tidak mengirim jamaah pada perhelatan haji 2021. Kebijakan yang juga ternyata seiring dengan Saudi yang masih belum membuka haji untuk jamaah dunia. Saya kembali harus mengurut dada. Kesabaran yang amat kalah tebal dengan para jamaah yang sudah menunggu belasan hingga puluhan tahun lamanya.
Masifnya program Vaksinasi Covid-19 di seluruh dunia — tidak terkecuali di Saudi dan Indonesia — memberi kontribusi akan turunnya angka positif kasus Covid-19. Virus itu agaknya sudah mulai jinak. Jika sebelumnya kita bisa menyaksikan angka ribuan kematian per hari kini jumlahnya berangsur dari ratusan hingga belasan.
Kabar gembira itu semakin nyata saat Saudi memutuskan untuk membuka haji kembali. Indonesia — meski dikurangi separuhnya — mendapatkan kuota 100.051 jamaah dengan 1.095 petugas. Usai libur Lebaran, pengumuman itu pun datang. Nama saya masuk dalam jajaran petugas yang dipanggil untuk melayani para jamaah. Di Multazam, semua perjalanan dua tahun itu tersusun bak diorama yang menghantarkan saya ke Tanah Suci. Alhamdulillah.
Ratusan Pelanggar Ganjil-Genap Ditegur
Ganjil-genap dinilai tidak efektif mengurangi kemacetan untuk jangka panjang.
SELENGKAPNYAPenyedia Katering Jamaah Dinyatakan Layak
Jamaah mendapatkan 27 kali makan di Madinah dan 75 kali di Makkah.
SELENGKAPNYALima Riyal Nenek Ruminah Antar Erlangga ke Baitullah
Sejumlah jamaah berusia muda ditemui di Tanah Suci.
SELENGKAPNYA