Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno bersiap mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/6/2018). | Republika/ Wihdan

Nasional

Keaktifan Brotoseno Dipertanyakan

Mempertahankan Brotoseno bisa dipandang sebagai pertaruhan mahal Polri.

 

JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana mengkritik eks terpidana kasus korupsi AKBP Raden Brotoseno yang masih dipertahankan sebagai anggota kepolisian. Denny menyayangkan lemahnya semangat anti korupsi bahkan di kalangan penegak hukum seperti Polri. Padahal polisi seharusnya menjunjung tinggi sikap anti korupsi.

"Itulah masalahnya ketika semangat anti korupsi masih menjadi permainan. Bahkan di institusi penegak hukum seterhormat polisi sendiri," kata Denny, Rabu (1/6).

Denny meyakini isu AKBP Brotoseno ini akan menghantam Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Publik akan menganggap Kapolri membiarkan anak buahnya yang bermasalah tetap aktif di kepolisian.

Keaktifan AKBP Brotoseno di Polri justru merugikan nama baik kepolisian itu sendiri. "Tentunya Brotoseno ini sebenarnya malah merusak marwah Polri karena berstatus mantan terpidana korupsi," lanjut mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu. Denny meminta pimpinan Polri kembali meninjau status AKBP Brotoseno.

photo
Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno, melambaikan tangan sebelum mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/6). Kanit III Subdit III Dirtipikor Bareskrim Polri itu divonis pidana penjara lima tahun dan denda Rp 300 juta subsidair tiga bulan kurungan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17. - (ANTARA FOTO)

Brotoseno merupakan narapidana yang menjalani masa pidana di Lapas Kelas I Cipinang atas kasus korupsi atau melanggar pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Ia ditahan sejak 18 November 2018.  Brotoseno divonis Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta karena dinilai sah dan meyakinkan terlibat tindak pidana korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat. Dia dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan tiga bulan.

Pengamat kepolisian dan kriminal forensik Reza Indragiri menilai, aktifnya suami penyanyi Tata Janeta itu kembali sebagai polisi aktif merupakan cacat etika dan moralitas di Korps Bhayangkara. Menurut dia, institusi kepolisian harus punya standar etika, standar moralitas, dan standar ketaatan hukum pada level tertinggi. Bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah bertoleransi terhadap perwiranya yang melakukan korupsi.

"Sekarang kita pragmatis saja. Pertama, seberapa jauh kemungkinan perwira polisi yang pernah dipidana dalam kasus korupsi akan mengulangi perbuatan jahatnya? Jawabannya semestinya diperoleh lewat risk assessment," ujarnya, Rabu (1/6).

Perlu dicek seserius apa Kemenkumham melakukan risk assesment terhadap para napi korupsi. Kalau hasil risk assessment ternyata menyimpulkan bahwa risiko residivismenya tinggi, maka sungguh pertaruhan yang terlalu mahal bagi Polri untuk mempertahankan personelnya tersebut.

Terlebih, menurut dia, ketika yang bersangkutan ditempatkan di posisi-posisi strategis yang memungkinkan ia menyalahgunakan lagi kewenangannya. "Yang jelas, berdasarkan riset diketahui bahwa tingkat pengulangan kejahatan kerah putih adalah lebih tinggi daripada kejahatan dengan kekerasan," tegasnya. "Jadi, pantaslah kita waswas bahwa personel dimaksud akan melakukan rasuah lagi nantinya."

Kedua, sambung dia, di organisasi kepolisian ada wall of silence. Ini adalah kebiasaan menutup-nutupi penyimpangan sesama polisi. Reza mengatakan, jika ingin fair perlu dicek dulu apakah kebiasaan tersebut juga marak di kepolisian. "Lebih spesifik, apakah mempertahankan AKBP Brotoseno bisa dianggap sebagai bentuk wall of silence oleh institusi Polri," imbuhnya.

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto juga mempertanyakan sikap Mabes Polri yang tak memecat mantan terpidana kasus korupsi AKBP Raden Brotoseno. Apalagi tidak ada parameter yang pasti terkait perilaku baik yang dilakukannya kepada kepolisian.

photo
Sidang Kasus Suap AKBP BrotosenoKanit III Subdit III Dirtipikor Bareskrim Polri AKBP Brotoseno (kiri) menjalani sidang lanjudan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (8/2/2018). - (Republika/Raisan Al Farisi)

"Prestasinya kayak apa kok bisa dimaafkan? perilakunya baiknya kayak apa kok masih bisa dimaafkan? Aturan mainmu (Polri) seperti apa?" ujar politikus PDI Perjuangan itu di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (31/5).

Ia mengungkapkan, Komisi III akan menggelar rapat dengan Polri pada pekan depan. Kemungkinan besar, persoalan Brotoseno akan dibahas dalam rapat tersebut untuk mempertanyakan alasan Polri tak memecat mantan terpidana kasus korupsi itu.

"Polri yakin bahwa itu masih dapat diperbaiki, begitu nih asumsinya. Tentu dalam hal ini mereka punya aturan sendiri. Sebagai anggota DPR sekarang, sebagai pimpinan Komisi III tentu nanti dalam rapat akan kita pertanyakan," ujar Bambang.

Mabes Polri menjelaskan alasan mengapa mantan terpidana kasus korupsi, AKBP Raden Brotoseno, masih dipertahankan sebagai anggota kepolisian. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo mengatakan, hasil sidang etik terhadap AKBP Brotoseno, mempertimbangkan kualitas, dan pribadi sebagai anggota Polri yang dapat dipertahankan.

Hal tersebut, yang menurut hasil sidang etik, dan profesi Polri, membuang keputusan pemecatan, terhadap Brotoseno. Meskipun, kata Ferdy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, memutus bersalah Brotoseno. “AKBP R Brotoseno dapat dipertahankan menjadi anggota Polri, dengan berbagai pertimbangan prestasi, dan perilaku selama berdinas di kepolisian,” begitu kata Ferdy, mengutip putusan sidang etik, dan profesi terhadap Brotoseno.

Ferdy menerangkan, putusan sidang etik, dan profesi terhadap AKBP Brotoseno resmi diundangkan pada 13 Oktober 2020. Ada empat putusan penting terkait kasus etik, dan profesi terhadap mantan penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Putusan pertama, menyatakan AKBP Brotoseno bersalah melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 13 ayat (1) huruf a, Pasal 13 ayat (1) huruf e Peraturan Kapolri 14 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

Atas putusan tersebut, Irjen Ferdy menjelaskan, AKBP Brotoseno dijatuhi sanksi berupa pelabelan sebagai anggota Polri yang melakukan perbuatan tercela. Dengan putusan tersebut, kata Ferdy, sidang etik, dan profesi, mewajibkan AKBP Brotoseno menyatakan permohonan maaf kepada petinggi Polri, dan Sidang KEPP.

“Sebagai pelaku perbuatan tercela, kewajiban pelanggar (AKBP Brotoseno) untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KEPP, dan atau secara tertulis kepada Pemimpin Polri. Serta direkomendasikan untuk dipindah tugaskan ke jabatan yang berbeda, yang bersifat demosi,” begitu kata Irjen Ferdy.

Kabar mengenai AKBP Raden Brotoseno mencuat setelah Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Polri menjelaskan kepada masyarakat perihal status eks narapidana korupsi itu di institusi Polri. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan pers mengatakan pihaknya pada awal Januari 2022 melayangkan surat kepada As SDM Polri Irjen Pol Wahyu Widada perihal permintaan klarifikasi status anggota Polri atas nama Raden Brotoseno.

photo
Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/6/2018). - (Republika/ Wihdan)

"Hal ini kami sampaikan karena diduga keras yang bersangkutan kembali bekerja di Polri dengan menduduki posisi sebagai Penyidik Madya Dittipidsiber Bareksrim Polri," kata Kurnia.

Berdasarkan data ICW, per tanggal 14 Januari 2017, Pengadilan Tipikor Jakarta melalui putusan Nomor 26 Tahun 2017 telah menghukum Brotoseno dengan pidana penjara selama 5 tahun dan dikenai denda sebesar Rp 300 juta atas perkara korupsi. "Sayangnya, hingga saat ini surat dari ICW tak kunjung direspons oleh Polri," ujar Kurnia.

Kurnia menjelaskan, dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri mensyaratkan dua hal agar kemudian anggota Polri dikenakan sanksi PTDH. Yakni, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan menurut pejabat yang berwenang pelaku tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian.

"Untuk syarat pertama sudah pasti telah dipenuhi karena putusan Brotoseno telah inkrah," katanya. Kurnia berpendapat, permasalahan saat ini menyangkut syarat kedua. Jika benar pejabat berwenang Polri menganggap Brotoseno masih layak menyandang kembali status sebagai anggota Polri aktif, maka hal tersebut mesti dijelaskan kepada masyarakat. Sebab, kata dia, hal ini terbilang janggal.

Kejanggalan itu, Brotoseno telah meruntuhkan citra Polri di tengah masyarakat akibat praktik korupsi yang ia lakukan. Kedua, mantan Kapolri Tito Karnavianpada tanggal 19 November 2016 sempat menyebutkan akan mengeluarkan Brotoseno dari Polri jika ia divonis di atas 2 tahun penjara. "Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Brotoseno telah divonis di atas 2 tahun penjara," ujar Kurnia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tambahan Anggaran Biaya Haji Disetujui

Perlu diperhitungkan dengan cermat dan akuntabel setiap penggunaan dana haji yang saat ini dikelola.

SELENGKAPNYA

Rusia Kembali Tutup Pasokan Gas ke Eropa

Uni Eropa sepakat melakukan embargo parsial terhadap komoditas minyak Rusia.

SELENGKAPNYA