Pengunjung bermain game virtual reality menggunakan jaringan 5G di booth Telkomsel 5G di Sirkuit Mandalika, KEK Mandalika Praya, Lombok Tengah, NTB, Sabtu (19/3/2022). | ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/nz

Opini

Pekerja pada Era Metaverse

Digunakannya teknologi metaverse jika tidak dilembagakan dan diatur dalam peraturan perundangan, berpotensi menciptakan ketidakadilan bagi pekerja.

RIO CHRISTIAWAN; Associate Professor Bidang Hukum dan Investasi, Mengajar pada Universitas Prasetiya Mulya

Tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari buruh diwarnai longmarch dan bermacam aksi, mulai dari isu legendaris soal formula pengupahan hingga isu pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan peraturan pemerintah turunan UUCK.

Pada 2022, hari buruh lebih ‘sunyi’ selain karena peringatan Hari Buruh bersamaan dengan libur nasional dan H-1 Idul Fitri, beberapa organisasi buruh menunda peringatan Hari Buruh.  Meski terkesan sunyi, ada isu besar yang perlu ‘digaungkan’ pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

Yakni, persoalan hubungan industrial pada era metaverse. Situasi ini kelanjutan dari penataan hubungan industrial era 4.0 yang belum sepenuhnya selesai, dalam pengertian belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri.

 

 
Situasi ini kelanjutan dari penataan hubungan industrial era 4.0 yang belum sepenuhnya selesai, dalam pengertian belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri.
 
 

 

CEO Facebook Mark Zuckerberg (2022) menjelaskan definisi metaverse adalah seperangkat ruang virtual, tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya, yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut.  

Fritjof Capra (1982), dalam The Turning Point menyebutkan, setiap peradaban memiliki ciri dan antitesisnya. Jika pemikiran tersebut dikaitkan dengan kondisi saat ini, hubungan industrial berbasis metaverse antitesis hubungan industrial berbasis kegiatan fisik.

Jika saat ini regulasi baru mengatur hubungan industrial berbasis fisik dan sebagian hubungan industrial berbasis revolusi industri 4.0, sebenarnya regulasi saat ini sudah tertinggal dengan praktik hubungan industrial yang secara empiris telah terjadi.

Dalam World Economic Forum terakhir (2021) dan Economic Outlook 2022 sebenarnya sudah diintroduksi hubungan kerja dan hubungan industrial berbasis teknologi metaverse.

 

 
Karyawan lebih bahagia karena punya fleksibilitas, pekerjaan tak terhalang ruang dan waktu.
 
 

 

Perusahaan berbasis teknologi, seperti Google telah menguji coba dan bekerja melalui platform metaverse. Hasilnya, fix cost (biaya tetap) terkait karyawan berkurang signifikan. Karyawan lebih bahagia karena punya fleksibilitas, pekerjaan tak terhalang ruang dan waktu.

Ancaman atau peluang?

Memang tidak semua bidang pekerjaan dapat dilakukan secara metaverse. Pekerjaan bersifat padat karya ataupun berbasis fisik, setidaknya dalam waktu dekat tidak akan tersentuh teknologi metaverse.

Tampaknya antitesis peradaban sebagaimana diuraikan Fritjof Capra dalam hubungan industrial, akan dimulai dari pekerjaan yang tidak membutuhkan kehadiran secara fisik atau bukan pekerjaan menggunakan fisik.

Penggunaan teknologi metaverse dalam praktik hubungan industrial pasti terjadi dan telah terjadi, meskipun di Indonesia belum lazim digunakan dalam hubungan kerja.

 

 
Penggunaan teknologi metaverse dalam praktik hubungan industrial pasti terjadi dan telah terjadi, meskipun di Indonesia belum lazim digunakan dalam hubungan kerja.
 
 

Cara kerja teknologi metaverse yang memungkinkan interaksi secara langsung dalam ruang perjumpaan maya, yang sama kualitasnya dengan ruang perjumpaan berbasis fisik, merupakan peluang sekaligus ancaman bagi pekerja dan pengusaha.

 

Sebagaimana dijelaskan Mark Zuckerberg (2022), pengelolaan usaha dalam skala usaha yang semakin besar semakin bergantung pada penggunaan teknologi metaverse dan interaksi, melalui dunia metaverse tak terelakkan.

Maka itu, secara otomatis terbentuk hubungan industrial berbasis metaverse. Persoalannya, regulasi hukum yang ada saat ini belum mengakomodasinya sehingga akan terjadi kekosongan hukum, yang potensial mengakibatkan persoalan dalam hubungan industrial.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yang disebabkan adanya cacat formal dan perlu segera (dalam dua tahun) dibenahi.

 

 
Artinya, selama masa ‘perbaikan’ UUCK, pemerintah mulai dapat mempersiapkan aturan hukum praktik pelaksanaan hubungan industrial berbasis 4.0 (dan 5.0), juga berbasis dunia metaverse.
 
 

 

Lebih lanjut,  dalam amar putusan (ketujuh) pemerintah diperintahkan menangguhkan tindakan/kebijakan strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru terkait UUCK. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

Artinya, selama masa ‘perbaikan’ UUCK, pemerintah mulai dapat mempersiapkan aturan hukum praktik pelaksanaan hubungan industrial berbasis 4.0 (dan 5.0), juga berbasis dunia metaverse. Agar, tak terjadi kekosongan hukum.

Digunakannya teknologi metaverse jika tidak dilembagakan dan diatur dalam peraturan perundangan, berpotensi menciptakan ketidakadilan bagi pekerja, misalnya perhitungan jam kerja pada pekerjaan dunia metaverse.

Penting untuk mulai memikirkan isu strategis terkait hubungan industrial berbasis  metaverse, yang dalam waktu dekat mulai digunakan di Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

One Way Arus Mudik Tol Trans Jawa Bisa 24 Jam

Puncak arus balik diprediksi masih akan terjadi hingga Ahad (6/5).

SELENGKAPNYA

Timnas Garuda Belum Padu 

Sebelum laga perdana kemarin, pelatih Shin Tae-yong sempat mengakui bahwa kualitas permainan Vietnam lebih baik.

SELENGKAPNYA

Puluhan Juta Ton Biji-bijian Tertahan di Ukraina

Menurut Guterres, perang di Ukraina memberi tekanan lebih besar kepada negara berkembang.

SELENGKAPNYA