Jamaah Tarekat Syattariyah melakukan tradisi menilik bulan (hilal), di Pantai Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, Rabu (14/4/2021). | ANTARA FOTO/ IGGOY EL FITRA

Opini

Menyikapi Perbedaan Awal Ramadhan

Perlu kearifan para ulama mewujudkan toleransi mazhab dengan cara efektif.

AMIRSYAH TAMBUNAN, Sekjen MUI

Sebenarnya, secara syar’i ibadah puasa mulai 1 Ramadhan berlaku sama di seluruh dunia. Permasalahannya, ketika menetapkan tanggal tersebut, berpotensi terjadi perbedaan akibat metodologi atau cara penetapannya. 

Mengantisipasi perbedaan itu, Lembaga Pentashih Buku dan Konten Islami (LPBKI) dan Majelis Pemuda Islam Indonersia  (MPII),  Komisi Badan Lembaga (KBL) Majelis Ulama Indonesia (MUI), bersama ormas Islam dan perguruan tinggi Islam menggelar webinar pada 25 Maret 2022. 

Ini membahas penetapan awal Ramadhan dengan hisab dan rukyat. Di antara rumusannya, metode hisab hakiki wujud al-hilal bulan baru Qamariyah dimulai bila terpenuhi tiga kriteria secara kumulatif, yakni  pertama, telah terjadi ijtimak (konjungsi). 

Kedua, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam dan ketiga, saat matahari terbenam piringan atas bulan berada di atas ufuk. 

 
Kebijakan Kemenag sendiri memperhatikan hisab dan rukyat dalam menentukan 1 Hijriyah melalui sidang itsbat yang melibatkan ormas  Islam dan pakar.
 
 

Berdasarkan hisab, awal Ramadhan 1443 H, ijtimak menjelang Ramadhan 1443 H pada Jumat Pahing, 29 Sya’ban 1443 H/1 April 2022 M pukul 13.27.13 WIB. Tinggi bulan saat matahari terbenam di Yogyakarta +02o 18’12” (hilal sudah wujud). 

Maka, 1 Ramadhan 1443 H adalah Sabtu Pon, 2 April 2022 M. Penggunaan hisab hakiki wujud al-hilal dalam menentukan 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada Sabtu, 2 April 2022 M. 

Namun, tanggal itu berpotensi berbeda dengan penghitungan menggunakan kriteria MABIMS tiga derajat yang menetapkan 1 Ramadhan 1443 H pada Ahad, 3 April 2022 M, begitu pula metode rukyat yang ditentukan dalam sidang itsbat. 

Kebijakan Kemenag sendiri memperhatikan hisab dan rukyat dalam menentukan 1 Hijriyah melalui sidang itsbat yang melibatkan ormas  Islam dan pakar. Putusannya menjadi salah satu rujukan melaksanakan puasa Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, serta ibadah haji. 

Dalam menyikapi perbedaan, harus dihindari pendapat satu-satunya yang benar dan yang lain salah. Padahal, ijtihad bukan terhadap awal Ramadhan 1443 H, melainkan penafsiran terhadap penanggalan kalender yang memiliki konsekuensi terhadap penentuan 1 Ramadhan 1443 H.

 
Sementara, ijtihad ulama, wilayah fikih meniscayakan perbedaan. Wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat masih menjadi perbedaan interpretasi, maka bersifat relatif. 
 
 

Kita sepakat, terdapat dimensi ajaran Islam yang memiliki kebenaran absolut, di antaranya, pengabdian kepada Allah SWT.  Kita wajib mengikutinya. Pada umumnya, ulama berpendapat, absolutisitas agama ada pada tauhid. Pendek kata, tak ada perbedaan soal ini.

Sementara, ijtihad ulama, wilayah fikih meniscayakan perbedaan. Wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat masih menjadi perbedaan interpretasi, maka bersifat relatif. Namun, yang dimaksud relativitas dalam konteks kebenaran, bukan salah dan keliru.

Karena itu, Allah memberikan jaminan kepada ulama atau mujtahid yang melakukan ikhtiar penetapan hukum, yaitu jaminan kebenaran. Jika ijtihad itu benar (di sisi Allah) mendapatkan dua pahala, jika ternyata keliru mendapatkan satu pahala.

Maka, hendaknya bersikap arif agar umat tak saling menyalahkan. Perlu dicatat, Alquran memberi porsi berijtihad lebih banyak agar  umat kreatif, dinamis, bersedia berdialog, dan saling memahami.

 
Ke depan, penting ada kesepakatan permanen penentuan awal Hijriyah karena berpengaruh dalam menentukan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan dan haji.
 
 

Hisab dan rukyat bertemu di satu titik berdasarkan QS Yunus (10) ayat 5, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dan Allah telah menetapkan manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.’’ 

Dalam hadis dijelaskan makna melihat secara tekstual, “Manusia bersama-sama merukyat hilal. Lalu, saya memberitahu Nabi bahwa saya melihatnya. Lalu, Nabi siap berpuasa dan menyuruh orang-orang berpuasa.’’ (HR Abu Dawud dari Ibnu Umar dan dinyatakan sahih oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban). 

Ke depan, penting ada kesepakatan permanen penentuan awal Hijriyah karena berpengaruh dalam menentukan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan dan haji. Hisab dan rukyat saling memperkuat, punya dasar dari Alquran, hadis, dan pendapat mazhab ulama. 

Meski, dua metode tersebut kadang menghasilkan penentuan tanggal yang sama atau berbeda. Dalam hal tersebut, sesuai fatwa MUI, dilakukan sidang itsbat antara pemerintah dan ormas Islam. 

Jika terjadi perbedaan, sebaiknya tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan karena Nabi menegaskan perbedaan merupakan rahmat. Karena itu, perlu kearifan para ulama mewujudkan toleransi mazhab  dengan cara efektif. 

Pertama, perlu reorientasi pendidikan keagamaan berwawasan toleransi, dari pendidikan dasar penting diajarkan realitas perbedaan pendapat dan bagaimana menghargainya. 

Kedua, perlu upaya serius tokoh agama, semisal NU dan Muhammadiyah meningkatkan mutu pendidikan pada masing-masing umat. 

Dalam konteks ini, puasa Ramadhan hendaknya menjadi teladan mengendalikan diri, berempati, dan bersimpati. Sebaliknya, saat seseorang intoleran dan melakukan bermacam tindak kesalahan lain, dia dikalahkan hawa nafsunya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat