Nicolaus Copernicus | Istimewa

Opini

Copernicus dan Introspeksi Etika Kesarjanaan

Islam dalam hal etika ilmiah ini memiliki tradisi yang patut diteladani, terutama generasi hari ini.

YUSUF MAULANA, Pensyarah Samben Library

Ada yang menggelayuti pikiran Johannes Kepler (wafat 1630) saat mempelajari De Revolutionibus Orbium Coelestium. Karya Nicolaus Copernicus (w. 1543) di hadapannya itu memang mengguncang Eropa.

Meruntuhkan pandangan Claudius Ptolemeus yang berabad-abad mapan dianut kalangan gereja berikut jajaran ilmuwan sependirian. Berbeda dengan Ptolemeus, Copernicus menetapkan matahari sebagai pusat peredaran planet-planet—yang dikenal heliosentris. 

Buku setebal nyaris 600 pagina itu justru mengundang heran Kepler berkait model planet-planet jauh dan kaitannya dengan pergerakan matahari. Berabad lampau, Apollonius Pergaeus dari Yunani sudah membuat teorema soal ini, yang kemudian dipakai Ptolemeus.

Teorema Apollonius ini disempurnakan oleh Mu’ayyaduddin al-Urdi (w. 1266). Lemma al-Urdi dipakai luas oleh para astronomi sezaman maupun setelahnya. Kira-kira seabad kemudian, Ibnu al-Syatir (w. 1375) membuat model serupa untuk menjelaskan fenomena peredaran planet-planet luar dengan sedikit perbedaan.

Copernicus rupanya menggunakan model yang persis dengan model al-Syatir. Bedanya, matahari sebagai titik pusat alam semesta. Artinya, Copernicus juga menggunakan Lemma al-Urdi seperti yang dilakukan al-Syatir.

Akan tetapi, entah mengapa komponen tambahan dari Apollonius dan al-Urdi (yang ada pada model al-Syatir) tidak disentuh arti fungsinya oleh Copernicus. ‘Kealpaan’ inilah yang membuat Kepler sampai harus menulis surat kepada gurunya, Michael Maestlin (w. 1631).

 
Copernicus rupanya menggunakan model yang persis dengan model al-Syatir. Bedanya, matahari sebagai titik pusat alam semesta.
 
 

Keterangan soal keheranan Kepler di atas diungkap oleh George Saliba, profesor dalam Sains Arab dan Islam di Columbia University, dalam bukunya Islamis Science and the Making of European Renaissance (2007). Rangkaian Saliba membuka tabir pengaruh saintis Muslim pada Copernicus itu tertuang ulang dalam versi penerjemahan oleh Syamsuddin Arif lewat karya suntingannya: Islamic Science (2015), halaman 98-114.

“Penggunaan Lemma al-Urdi oleh Copernicus ini—dalam konstruksi yang identik dengan model Ibnu al-Syatir minus heliosentrisme tentu saja—menimbulkan tanya tanya besar tentang pengetahuan Copernicus akan asal-usul model matematika yang tersedia waktu itu,” tulis Saliba.

“Apakah ia sendiri yang membuat teorema baru itu? Dan apakah ia juga sebenarnya memberikan pembuktian formal untuk teorema tersebut seperti yang diberikan oleh al-Urdi, sebagaimana ia lakukan untuk ‘Pasangan al-Tusi’? Adakah ia memperolehnya dari karya-karya saintis Muslim?” tanya lanjut Saliba. 

Copernicus sendiri diyakini tidak bisa membaca bahasa Arab; bahasa yang digunakan para saintis yang modelnya diserupai olehnya. Saliba menduga peran para penerjemah sebagai asisten dalam kerja pengetahuan Copernicus. Besar kemungkinan juga, karena aspek bahasa ini, Copernicus ‘alpa’ memaparkan tuntas model al-Syatir yang dipandang turut memengaruhi tulisannya di De revolutionibus. 

 
Tahun 1957, Otto Eduard Neugebauer secara tidak sengaja menemukan kesamaan yang amat persis antara model pergerakan bulan yang dikemukakan oleh Copernicus dengan yang digambarkan oleh Ibnu al-Syatir.
 
 

Temuan Neugebauer dan Kennedy

Adanya kesamaan pada gagasan-gagasan penting Copernicus di bukunya itu dengan karya para saintis Muslim akhirnya diungkap orang lain. Itu pun dalam rentang waktu lama dari masa hidupnya. Para ilmuwan abad ke-20-lah yang mengungkapkannya. Mari kita saksamai data yang dituliskan Saliba di bukunya yang sama. 

Tahun 1957, Otto Eduard Neugebauer secara tidak sengaja menemukan kesamaan yang amat persis antara model pergerakan bulan yang dikemukakan oleh Copernicus dengan yang digambarkan oleh Ibnu al-Syatir. Sekalipun tidak mengerti bahasa Arab, Otto Neugebauer dengan jelas dapat melihat betapa diagram yang dibuat oleh Copernicus dalam De revolutionibus betul-betul identik dengan diagram yang terdapat dalam kitab Nihāya al-Sūl fī Tashīh al-Ushūl karya al-Syatir.

Nama berikutnya adalah Edward Stewart Kennedy, guru besar matematika di American University of Beirut. Sosok inilah yang menunjukkan fakta penting soal Copernicus kepada Otto Neugebauer. Uniknya, temuan Edward Kennedy juga tidak disengaja.

Kala itu ia tengah meneliti di Perpustakaan Bodleian Oxford, yang lewat serangkaian diskusi penyertanya menghasilkan artikel ilmiah yang ditulis Victor Roberts. Judul artikel Roberts sendiri sudah bernada mencurigai Copernicus: “The Solar and Lunar Theory of Ibn al-Shatir: A pre-Copernican Copernican Model”, yang dimuat dalam jurnal Isis volume 48 Nomor 4, Desember 1957. Temuan ini sontak menggegerkan kalangan ilmuwan Barat. Apa pasalnya?

“Kalau selama ini orang meyakini bahwa sains Eropa di zaman Renaisans itu muncul dengan sendirinya dari nol (ex nihilo), atau—jika berutang budi pun, hal itu karena terinspirasi oleh karya-karya saintis Yunani kuno, maka dengan adanya temuan penting ini, sejarah perkembangan sains di Eropa perlu ditulis ulang dengan mengaitkannya dengan perkembangan sains di dunia Islam,” papar Saliba.

“Bagi seorang Otto Neugebauer,” lanjut Saliba, “kesimpulan adanya koneksi langsung antara karya Copernicus dengan karya saintis Muslim itu cukup membuatnya tercengang dan masih sukar untuk dimengerti apalagi diterima oleh para sejarawan sains modern. Hanya sebagian kecil orang dapat memahami signifikasi dan implikasi temuan tersebut.”

Keterkejutan justru membuat Otto Neugebauer kian penasaran. Ia pun melebarkan cakupan riset. Meneliti lebih banyak lagi karya-karya saintis zaman Renaisans dan sebelum membandingkannya dengan karya-karya saintis Muslim. Ia kemudian mengkaji kembali salah satu bab dari kitab at-Tadzkirah fī ‘Ilm al-Hay’ah karya Nasiruddin al-Tusi (w. 1274), yang telah diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh Bernard Carra de Vaux pada 1893.

Dalam kitab tersebut, al-Tusi merumuskan dan membuat generalisasi serta membuktikan secara matematis sebuah teorema yang kemudian diistilahkan sebagai “Pasangan Tusi” (the Tusi Couple) pertama kali oleh Edward Kennedy dalam artikelnya di jurnal Isis volume 57 tahun 1966, “Late Medieval Planetary Theory”.

Teorema itu sebenarnya sudah jauh-jauh hari dikenalkan al-Tusi pada 1247 dalam kitabnya yang lain, Tahrir al-Majisti. Teorema ini dikemukakan al-Tusi sebagai jawaban atas kegagalan teori Ptolemeus mengenai latitude planet-planet. Namun karena latar belakang lahirnya teorema ini tidak dieksplisitkan oleh al-Tusi, Carra de Vaux pun tidak mengisyaratkannya sebagai temuan amat penting. 

photo
Ilustrasi pasangan Tusi . - (Biblioteca Apostolica Vaticana)

Kendati hanya membaca dari hasil terjemah Carra de Vaux yang sedikit dibumbui pandangan kurang positif dan meremehkan, Otto Neugebauer mampu menangkap pentingnya persoalan yang ditangkap al-Tusi. Otto Neugebauer teringat bab III pasal 4 De revolutionibus tentang perlunya mekanisme yang memungkinkan dihasilkannya sebuah gerak lurus dari gabungan gerak-gerak berputar.

Dan al-Tusi sudah mengungkapkan lebih awal dua abad sebelumnya daripada Copernicus. Otto Neugebauer tahu persis bahwa yang diperbuat al-Tusi betul-betul baru, tidak pernah ada dalam buku-buku astronomi Yunani. 

Sebaliknya dengan Copernicus, simpul Otto Neugebauer, yakni diam-diam menggunakan teorema al-Tusi dan mengemukakan pembuktian yang sama persis namun tidak menyebutkan sumber rujukan. Andaikan temuan orisinal langsung dirinya, Copernicus pasti mengklaim dan menuliskannya.

Ini justru tidak ia lakukan. Artinya, Copernicus memang sudah melakukan separuh tanggung jawab ilmiah, yakni dengan tidak mengakui langsung teorema dan pembuktian itu sebagai karyanya. Hanya saja, ia masih teranggap ‘berutang’ karena tidak mengungkap siapa rujukan pentingnya teorema itu. Alih-alih jujur, Copernicus malah mengutip Proclus dalam uraiannya untuk buku Euclid.

“Siapa pun yang membaca Proclus dengan teliti akan menangkap bahwa yang dibicarakan Proclus adalah garis-garis lengkung dan lurus yang dihasilkan oleh satu sama lain,” jelas Saliba, “dan bukan gerak berayun yang terhasil dari gerak putar sempurna yang diperlukan oleh al-Tusi maupun Copernicus untuk memecahkan persoalan astronomi tersebut di atas.”

Willy Hartner pada 1973 kian menguatkan temuan Otto Neugebauer, dengan menemukan ciri mencolok para pembuktian Copernicus yang ternyata ‘menyalin’ karya al-Tusi. Copernicus sekadar mengganti huruf Arab dalam temuan al-Tusi!

 
Islam dalam hal etika ilmiah ini memiliki tradisi yang patut diteladani, terutama generasi hari ini.
 
 

Tradisi Kesarjanaan Islam

Perjalanan menemukan kebenaran dalam pengetahuan sesungguhnya kerja-kerja kolektif. Terlebih ketika menyibak satu tabir yang masih dirasakan asing. Ada saling koneksi dengan temuan terdahulu dalam kerangka kerja berkesinambungan.

Di sinilah letak penting tanggung jawab ilmiah. Ia karenanya bagian dari adab para penimba ilmu, terlepas pengetahuan yang dirujuk itu berasal dari peradaban yang dimusuhi.

Islam dalam hal etika ilmiah ini memiliki tradisi yang patut diteladani, terutama generasi hari ini. Disebutkan dalam karya Franz Rosenthal (1996:117), Etika Kesarjanaan Muslim, bagaimana sikap kritis dibangun para ilmuwan Islam ketika menghadapi sumber pengetahuan. Misalnya ketika mereka mendapati warisan kedokteran Yunani kuno dari tokohnya, Galen.

Rosenthal menulis, “Pada umumnya, para sarjana Muslim hanya memiliki sarana yang terbatas dan tak mencukupi untuk mengungkapkan kelancungan literatur. Namun semangat kritis mereka telah terbangun sejak masa awal. Literatur terjemahan membuat mereka mengenal pernyataan-pernyataan Galen yang bijak mengenai keaslian yang meragukan dari karya-karya tertentu yang dinisbatkan kepada Hippocrates.”

Di buku yang sama, Rosenthal menerangkan tradisi penulisan ilmiah yang hari ini kita kenal, seperti kutipan, catatan kaki, koreksi, hingga indeks, bukan hal yang baru bagi ilmuwan Islam. Kalau dilihat dari lini masa, masa-masa itu termasuk dalam rentang keemasan dunia pengetahuan umat Islam.

Artinya, kesadaran untuk menyerap pengetahuan atau hikmah dari sumber-sumber di luar Islam sekalipun, pada perkembangannya menjadi media mengartikulasikan adab menuntut ilmu: kejujuran. Adab dalam budaya ilmu tidak dapat dipisahkan dari pandangan alam Islam yang melarang sikap sombong, dusta, dan memberikan perhatian atas jerih payah pihak lain yang mengembangkan pengetahuan.

Karena itu, pengembangan ilmu dalam tradisi Islam tidak memberikan ruang pada sikap berprasangka buruk. Kendati demikian, dalam sejarah keilmuan di dunia Islam pada abad pertengahan, sikap-sikap negatif bukan tidak ada sama sekali. Di buku Rosenthal disebutkan juga contoh-contoh tindakan tersebut, semisal dalam hal pengutipan yang diabaikan.

Demikianlah, budaya ilmu kerap dihadapkan dengan prasangka-prasangka di benak kepala. Seperti Bernard Carra de Vaux, yang sekalipun andilnya besar dalam penerjemahan karya Nasiruddin al-Tusi, ternyata meluputkan satu fakta berharga. Misalkan saja prasangka ala kulit putih abad 19 tidak terjadi. Lebih-lebih kepada negeri berpenduduk dan saintis Islam.

Kebanggaan pada kejayaan Renaisans Eropa menutup mata permata amat penting yang membuka fakta sebenarnya. Di lain pihak, Copernicus memang menggunakan temuan-temuan penting saintis Muslim. Sayangnya, ia tidak menerapkan penuh disiplin kejujuran. Ada alasan-alasan pribadi, apa pun itu, menutupi kesadaran diri dari bersikap ilmiah.

 
Rosenthal menerangkan tradisi penulisan ilmiah yang hari ini kita kenal, seperti kutipan, catatan kaki, koreksi, hingga indeks, bukan hal yang baru bagi ilmuwan Islam. 
 
 

Ketika melontarkan gagasan matahari sebagai pusat tata surya, menggeser Bumi sebagaimana di alam berpikir dunia kala itu, Copernicus bak kesatria. Teorinya mengguncang kalangan gereja yang kadung meletakkan Bumi tidak sebatas sentral jagat tapi juga pusat teologi dan keakuan manusia.

Ujian demi ujian pun dialaminya sampai kemudian ia meraih banyak pendukung. Dengan kondisi gereja yang masih memusuhi kalangan Moor (sebutan bagi orang Islam), bisa saja Copernicus memilih menyembunyikan andil mereka di balik karya pentingnya. Tanpa merujuk saintis Islam saja sudah dikecam gereja, apatah lagi jelas-jelas benderang mengekor pada teorema mereka.

Di sinilah kita paham makna penting firasat orang-orang yang hadir kemudian ketika memegang De revolutionibus. Tidak menjadikannya sebagai kitab suci dengan alibi ilmiah sekalipun tanpa berani mengungkap ada kealpaan. Kepler memang baru sebatas menulis surat penuh tanya kepada sang guru. Tapi ini sudah sebuah firasat akan adanya keganjilan di balik karya penting Copernicus.

Di ulu benak Otto Neugebauer, Edward Kennedy, Willy Hartner, ataupun Victor Roberts, firasat tidak cukup dihentikan sebagai prasangka buruk. Mereka menindaklanjuti bisikan, ilham, intuisi, yang berkumulasi dengan pengalaman dan pengamatan selama ini sebagai aktivitas observasi.

Etos ilmiah Neugebauer, Kennedy, dan Hartner sejatinya “barang hilang” yang mesti ditiru sarjana Muslim hari ini. Tidak tergopoh-gopoh menerima sesuatu yang mewah dari peradaban yang menghegemoni sekarang tapi juga tidak skeptis dan apriori atas kebaikan dari temuan tersebut.

Hal-hal mendasar yang pernah menjadi tradisi kuat di habitus kesarjanaan Muslim semestinya tidak boleh diabaikan. Semisal dalam menghargai jerih payah pengembangan keilmuan pihak lain, untuk kemudian kita sebutkan sesuai kaidahnya dalam buah pikiran kita.

Dengan demikian, seorang Muslim yang diberikan cahaya keilmuan sepatutnya tidak akan melakukan hal-hal kebohongan dalam tradisi ilmu, semisal yang diperbuat Copernicus.

Plagiarisme yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk dienyahkan dalam dunia akademis kita harusnya sejak dini pun melekat sebagai bagian dari identitas diri Muslim dalam menegakkan adab. Jika dusta dan manifestasi korupsi intelektual lainnya dilarang keras syariat, maka semestinya yang dikembangkan oleh sarjana Muslim justru hal-hal sebaliknya.

Peradaban ilmu yang tegak di atas dusta bukanlah yang dikehendaki dalam Kitab Suci maupun sabda Nabi. Inilah yang mesti jadi introspeksi awal setiap Muslim sebelum menyeriusi upaya mengejar ketertinggalan dari peradaban lain.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat