Perempuan dan anak-anak Afghanistan berdiri di depan pejuang Taliban di Kabul, Kamis (10/2/2022). | AP/Hussein Malla

Internasional

Sandungan Kembali Adang Gadis Afghanistan 

Kaum pragmatis ingin lebih banyak terlibat sambil tetap mempertahankan nilai Islam.

OLEH RIZKY JARAMAYA, YEYEN ROSTIANI

Kegembiraan itu ternyata hanya berumur pendek. Pada Rabu pagi, para guru dan siswa dari tiga sekolah menengah di sekitar Ibu Kota Kabul kembali ke sekolah dengan gembira. Namun, mereka diperintahkan untuk pulang. Sebagian besar siswi menangis saat diminta kembali ke rumah.

"Kami semua kecewa dan kami semua benar-benar putus asa ketika kepala sekolah memberi tahu kami, dia juga menangis," kata seorang siswi yang tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Padahal, pada Selasa (22/3) malam, juru bicara Kementerian Pendidikan merilis video ucapan selamat kepada semua siswa atas kembalinya mereka ke sekolah. Namun, pada Rabu, keputusan itu berbalik drastis.

Kementerian Pendidikan mengatakan, sekolah untuk anak perempuan di atas kelas enam akan ditutup sampai ada rencana yang disusun sesuai dengan hukum Islam dan budaya Afghanistan. Taliban mengatakan, sekolah untuk anak perempuan akan tetap ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan.

photo
Perempuan Afghanistan menghadiri seminar di Kabul mengenai persoalan terkini kaum perempuan di Afghanistan pada peringatan Hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret 2022. - (EPA-EFE/STRINGER)

"Kami memberi tahu semua sekolah menengah perempuan dan sekolah-sekolah yang memiliki siswa perempuan di atas kelas enam bahwa mereka libur hingga pemberitahuan berikutnya," kata pernyataan Kementerian Pendidikan.

Keputusan pembatalan izin bersekolah ini dibuat pada Selasa malam. Hal itu diungkap Waheedullah Hashmi yang bertanggung jawab tentang hubungan eksternal dan donor di pemerintahan Taliban.

"Baru tadi malam (Selasa—Red) kami mendapatkan keputusan dari pimpinan kami bahwa sekolah akan tetap tutup untuk perempuan," kata Hashmi. "Namun, bukan berarti akan ditutup selamanya."

Keputusan mengejutkan itu juga datang di tengah maraknya isu soal perombakan kabinet. Seorang sumber yang dikutip Associated Press mengatakan, dewan kepemimpinan Taliban menghadap pemimpin senior Taliban Haibatullah Akhunzada di Kandahar Selatan.

Berulang kali ada kabar yang menyebutkan bahwa ada perbedaan pandang di antara para pemimpin senior Taliban. Mereka seakan terbagi antara kelompok garis keras dan pragmatis.

Kaum yang pragmatis dilaporkan ingin lebih banyak terlibat dengan dunia sambil tetap mempertahankan nilai Islam. Artinya, mereka memilih sikap lebih fleksibel daripada ketika mereka memerintah pada 1996-2001. Saat itu, Taliban melarang perempuan mengakses pendidikan dan pekerjaan. 

Taliban kembali berkuasa sejak Agustus 2021. Komunitas internasional telah menjadikan pendidikan anak perempuan sebagai tuntutan utama untuk pengakuan masa depan kepemimpinan Taliban di Afghanistan.

Kini, perubahan memang ada jika dibandingkan dengan dahulu. Televisi, misalnya, kini diizinkan. Perempuan juga kini tidak lagi dituntut memakai burka, pakaian yang menutupi seluruh tubuh hingga wajah. Namun, mereka masih tetap diminta memakai hijab.

"Kami melakukan segalanya yang diminta Taliban mengenai cara kami berpakaian dan mereka berjanji bahwa anak perempuan boleh bersekolah. Namun, kini mereka ingkar janji," kata Mariam Naheebi, wartawati setempat yang aktif berunjuk rasa menuntut hak-hak perempuan. "Mereka tidak jujur kepada kami."

Isu ini menarik perhatian Kepala Misi PBB untuk Afghanistan (UNAMA) Deborah Lyons. "Mendengar laporan yang meresahkan bahwa siswi di atas kelas enam tidak akan kembali ke sekolah oleh pihak berwenang, jika benar, apa alasannya?" cicitnya di  Twitter.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

AS Sebut Kekerasan terhadap Rohingya Sebagai Genosida

Sejak Agustus 2017, sebanyak 1,2 juta orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

SELENGKAPNYA

WHO: Pencabutan Pembatasan Langkah 'Brutal'

Peningkatan kasus Covid tertentu terlihat di Inggris, Irlandia, Yunani, Siprus, Prancis, Italia, dan Jerman.

SELENGKAPNYA