Serangan siber di tengah invasi Rusia ke Ukraina | Unsplash/Kevin Ku

Inovasi

Sengitnya Medan Perang di Jagat Maya 

Regulasi yang pasti belum hadir untuk mengatur situasi perang di dunia maya.

Konflik antara Rusia dan Ukraina tak hanya terjadi dalam medan pertempuran yang dihiasi oleh desing suara peluru dan asap ledakan. Rupanya, konflik ini juga dibarengi dengan munculnya serangan siber atau cyberattacks.

Bahkan, konflik dalam dunia maya ini tak hanya berasal dari negara yang mengalami konflik. Mengingat, terbukanya jalur digital membuat serangan siber bisa datang dari mana saja.

Dikutip dari CNBC pekan lalu, temuan ini pun telah diungkap oleh Check Point Research (CPR). Dalam tiga hari setelah invasi, beragam serangan siber mulai terjadi baik di Ukraina maupun Rusia.

CPR mencatat, serangan siber yang terjadi, menyasar pada sistem militer dan pemerintahan. Di Ukraina, serangan pada sektor pemerintahan dan sektor militer naik 196 persen. Sedangkan serangan yang menyasar Rusia naik sekitar empat persen.

Uniknya, banyak dari serangan itu bukan berasal dari Rusia atau Ukraina. Artinya, ada sejumlah sukarelawan digital dari berbagai negara yang ingin menunjukan keberpihakannya lewat jalur siber.

Head of Threat Intelligence CPR, Lotem Finkelstein mengatakan, dalam sejarah, ini merupakan pertama kalinya setiap orang bisa ikut terlibat dalam perang. "Banyak kekacauan yang terjadi di dunia maya. Sepertinya seluruh komunitas siber saat ini juga terlibat, baik itu kelompok maupun individu," kata Lotem Finkelstein.

photo
Serangan siber ikut pula mewarnai konflik global - (Unsplash/towfiqu Barbhuiya)

Menurut Finkelstein, Ukraina sendiri mengklaim, ada sekitar 400 ribu peretas multinasional yang secara sukarela membantu. Para sukarelawan itu pun saling berkoordinasi lewat grup Telegram dengan nama Tentara Teknologi Informasi Ukraina.

Salah satu sukarelawan, Gennady Galanter mengatakan, sukarelawan untuk Ukraina memberikan kontribusinya dengan memberikan gangguan pada situs-situs Rusia. Termasuk juga, mencegah disinformasi dan memberikan informasi yang akurat. "Saya terdorong untuk memberikan bantuan karena ingin menyampaikan kebenaran dan mencegah kebohongan," kata pendiri dari salah satu perusahaan teknologi informasi tersebut.

Di satu sisi, Rusia mengklaim, negara tersebut sama sekali tak melakukan serangan lewat jalur siber. Rusia pun ingin lebih fokus untuk meningkatkan keamanan siber sehingga serangan yang terjadi bisa terus ditekan.

Hanya saja, serangan siber yang dialami Rusia juga berpotensi membuat Negeri Beruang Putih ini melakukan serangan balasan. Bahkan, boleh jadi Rusia tak hanya akan melakukan serangan terhadap Ukraina, tapi juga melakukan serangan terhadap negara dan perusahaan yang berpihak kepada Ukraina.

Rentetan potensi serangan tak berujung ini sendiri rupanya belum diantisipasi dalam Konvensi Jenewa. Dikutip dari Rest of World, undang-undang yang mengatur soal perilaku perang seperti yang kini terjadi, belum spesifik menyebut bahwa dunia maya bisa jadi medan perang.

Akademisi Jackson School of Global Affairs Yale University, Nathaniel Raymond mengatakan, area abu-abu dari kelalaian itu bisa menimbulkan interpretasi yang saling bertentangan tentang seperti apa kejahatan perang di dunia maya. Tak ketinggalan, siapa yang bertanggung jawab ketika itu terjadi.

“Kami masih belum memiliki interpretasi hukum tunggal yang jelas dan umum tentang bagaimana Konvensi Jenewa berlaku untuk perang dunia maya,” kata Raymond.

Karena masih abu-abu, ia melanjutkan, maka pelaku perang siber berpeluang jadi pelaku kejahatan perang. Mengingat, serangan yang terjadi bisa saja tak hanya berdampak bagi militer tapi juga berdampak bagi warga sipil.

Regulasi yang belum jelas mengatur ini, otomatis membuat warga sipil yang melakukan serangan siber bisa dianggap sebagai kombatan yang terlibat dalam konflik. Artinya, para peretas akan kehilangan hak perlindungan sipil dan bisa jadi target yang sah dalam serangan balasan, baik itu serangan siber maupun serangan fisik.

Peneliti Senior Digital Rights pada Human Rights Watch, Deborah Brown mengatakan, kondisi ini sangat berbeda dengan perang tradisional. Karena, perang siber akan sangat sulit untuk dilacak demi mendapat pertangungjawaban atas serangan yang terjadi.

Mengingat, sistem peradilan pidana internasional juga memerlukan bukti yang kuat untuk membuktikan setiap tindakan yang ada. Serangan siber membuat pelacakan serangan membutuhkan penyelidikan forensik yang kompleks. Apalagi jika serangan itu melibatkan perantara, seperti tentara bayaran atau seseorang yang identitasnya disamarkan.

Tipu-tipu Donasi di Tengah Konflik

photo
Hati-hari donasi palsu konflik Ukraina - (Dok Kaspersky)

Penipuan donasi palsu merupakan modus penipuan yang tak pernah lekang oleh zaman. Bencana dan keadaan darurat, seperti yang tengah terjadi di Ukraina pun tidak luput dari hal tersebut.

Peneliti Kaspersky melaporkan banyak halaman phishing yang meniru situs donasi dan amal. Para penipu daring ini, tidak hanya mencuri uang dan kredensial pengguna, tetapi mereka juga mencabut organisasi yang sah dari donasi ini.

“Keinginan untuk membantu orang lain adalah hal mulia. Sayangnya, scammers terus mencoba memanfaatkan setiap kesempatan untuk menguntungkan diri mereka sendiri,” ujar David Emm, peneliti keamanan utama di Kaspersky.

Menurutnya, dalam beberapa pekan terakhir, Kaspersky melihat para penipu daring ini menyebarkan banyak halaman donasi palsu dan mencuri uang hingga kredensial dari pengguna yang bersedia membantu. Oleh karena itu, Emm mengingatkan, sangat penting untuk memastikan bahwa donasi kita akan digunakan dengan baik.

Salah satu caranya, dengan selalu keabsahan situs penggalangan dana yang kita ikuti. Salah satu ciri halaman situs donasi palsu, adalah sebagian besar halaman ini tidak memuat informasi cukup banyak tentang penyelenggara penggalangan dana, penerima donasi, atau dokumen lain yang membuktikan keabsahan aktivitas mereka.

Satu-satunya hal yang dapat dilakukan pengguna saat mengunjungi halaman tersebut adalah berdonasi. Situs laman juga biasanya tidak melaporkan bagaimana organisasi menyalurkan dana. “Penipu daring, biasanya selalu memastikan bahwa pengguna dapat mentransfer uang dengan mudah dan nyaman. Termasuk opsi untuk mentransfer uang sukarela dari kartu kredit hingga transaksi cryptocurrency pengguna,” ujar Emm.

Selain itu, para penipu daring juga kerap menggunakan taktik “tekanan situasi”, seperti menekankan urgensi dan menggunakan bahasa yang sangat emosional. Dalam pesan spam massal yang ditemukan oleh Kaspersky, para penipu menyamar sebagai korban konflik, berpura-pura mencari bantuan keuangan untuk keluarga mereka.

Dengan ditutupnya bank, mereka meminta transfer uang melalui Bitcoin dan meninggalkan alamat dompet Bitcoin. Kemudian, untuk membuat penggalangan dana tampak lebih dapat dipercaya, para penipu mulai mengeksploitasi merek dan selebriti terkenal karena orang lebih cenderung mengikuti contoh yang baik dari idola dan merek yang mereka percayai.

 
Perang siber akan sangat sulit untuk dilacak.
DEBORAH BROWN, Peneliti Senior Digital Rights pada Human Rights Watch
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat