Muadzin mengumandangkan adzan di Masjid Al-Ikhlas Jatipadang, Jakarta, Rabu (23/2/2022). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Azan dan Persatuan

Azan dan iqamat bagian dari pengamalan ajaran agama yang dijamin UUD 1945. Karena itu, tidak perlu ada regulasi yang mengaturnya secara kaku.

ABDUL MU'TI; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

Azan adalah ibadah sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat serta seruan menunaikan shalat berjamaah dan syiar Islam. Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menjelaskan, azan disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Sekitar dua tahun setelah perintah shalat lima waktu (Isra Mi'raj).

Azan adalah syariat Islam yang bacaan, waktu, dan cara mengumandangkannya telah ditentukan. Nabi Muhammad mengajarkan agar azan dikumandangkan dengan sempurna. Karena itu, Nabi Muhammad menunjuk Bilal sebagai muazin utama karena suaranya paling bagus di antara para sahabat.

Dalam pelaksanaannya, azan berkembang menjadi "tradisi". Sebagian umat Islam melakukan "ritual" tertentu sebelum dan sesudah azan, seperti puji-pujian, shalawatan. Di daerah, khususnya Jawa, sebelum azan didahului pemukulan beduk dan kentong dan tetap berjalan meski sudah ada pengeras suara (speaker).

 
Di daerah, khususnya Jawa, sebelum azan didahului pemukulan beduk dan kentong dan tetap berjalan meski sudah ada pengeras suara (speaker).
 
 

Perdebatan publik mengemuka, khususnya ketika "tradisi" azan menggunakan speaker. Penggunaan speaker dipahami sebagai syiar. Masjid dan mushala seakan berlomba mengumandangkan azan dengan speaker keras tanpa mempertimbangkan dampak dan reaksi masyarakat.

Jika dimaksudkan sebagai pertanda masuknya waktu shalat, barangkali azan dengan speaker tak terlalu diperlukan. Seiring kemajuan teknologi, waktu shalat bisa diingatkan melalui HP atau radio. Kalau tujuannya syiar, semestinya dikumandangkan dengan cara terbaik, terutama muazin dan akustik.

Sesuai pengertiannya, syiar adalah ibadah yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah dan keagungan syariat Islam. Di Alquran, sya'air (jamak: syiar/tunggal) disebutkan empat kali dan masy'ar satu kali. Semuanya dikaitkan dengan ibadah haji: tempat (masy'ar), binatang, rukun, dan wajib haji.

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menyebut syiar sebagai ibadah haji itu sendiri. Karena azan merupakan syiar, pelaksanaannya seharusnya menunjukkan kebesaran Allah dan keagungan Islam, bukan formalitas dan asal-asalan.

 
Masjid dan mushala seakan berlomba mengumandangkan azan dengan speaker keras tanpa mempertimbangkan dampak dan reaksi masyarakat.
 
 

Persatuan

Soal azan dengan speaker dan ritual yang menyertainya menjadi perdebatan publik pascaditerbitkannya Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022, yang mengatur penggunaan speaker dan berbagai kegiatan ibadah selama Ramadhan. Isinya, hampir sama dengan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 101 Tahun 1978.

Selama 44 tahun sejak diterbitkan, instruksi dirjen ini belum berjalan baik, bahkan banyak pihak tak mengetahui dan memahaminya.

Namun, berdasarkan survei Puslitbang Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Kemenag dan Arus Survei Indonesia (ASI), 29 November-5 Desember 2021, mayoritas masyarakat tak keberatan dengan kumandang azan dan ritual melalui speaker.

Survei nasional di 34 provinsi itu menemukan 67,4 persen setuju, 24 persen kurang setuju, 5,2 persen tak setuju, dan 3,4 persen tidak tahu. Terkait penggunaan speaker untuk azan, iqamat, dan ritual lain, seperti doa, zikir, shalat, shalawat 93,3 persen setuju, 3,7 persen kurang setuju, 0,1 tidak setuju, dan 2,9 persen tidak tahu.

 
Meski tak terganggu, mayoritas masyarakat menghendaki pengaturan speaker untuk kenyamanan bersama.
 
 

Apakah masyarakat terganggu dengan suara speaker? Sebagian besar tidak terganggu. Sebanyak  51,8 persen  tidak terganggu dengan azan dan iqamat, 43,4 persen tidak terganggu dengan azan, iqamat, doa, zikir, dan ritual lain, 1,8 persen terganggu, dan 2,4 persen tidak tahu.

Meski tak terganggu, mayoritas masyarakat menghendaki pengaturan speaker untuk kenyamanan bersama: 82,5 persen setuju, 16,7 persen kurang setuju, 0,7 persen sangat tidak setuju, dan 0,1 persen tidak tahu. Diperlukan sikap toleransi untuk persatuan umat dan bangsa.

Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang volume suara, intensitas, dan durasi penggunaan speaker luar perlu menjadi perhatian. Takmir mushala dan masjid yang berdekatan perlu bermufakat, masjid dan mushala mana yang menggunakan speaker luar.

Berdekatan dengan Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah) terdapat banyak masjid, tetapi tak mengumandangkan azan dan iqamat dengan speaker luar. Azan dan iqamat cukup dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Untuk membina persatuan, hal serupa mungkin bisa diberlakukan di Indonesia. Azan dan iqamat bagian dari pengamalan ajaran agama yang dijamin UUD 1945. Karena itu, tidak perlu ada regulasi yang mengaturnya secara kaku. Masyarakat perlu saling memaklumi dan tenggang rasa.

Namun, di tengah kemajuan teknologi, kemajemukan masyarakat, dan keberagaman agama, cara umat Islam mengumandangkan azan, iqamat, dan ritual lain dengan speaker perlu terus diperbaiki. Syariat, syiar, dan tradisi azan hendaknya menghadirkan Islam berkemajuan dan beragama yang (lebih) berkeadaban. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat