Platform TikTok | Pixabay

Opini

TikTok dan Tsunami Aurat: Akankah Diblokir Lagi?

Tiktok baru diluncurkan pada September 2016 dan tiga tahun berikutnya telah ada lebih dari enam juta konten negatif!

 

M TAUFIQ AFFANDI, M FAQIH NIDZOM, FAISAL REZA PRADHANA, BAMBANG SETYO UTOMO, ODDY VIRGANTARA PUTRA

 

Baru-baru ini kami terpaksa melakukan sebuah analisa kecil tentang TikTok. Hasilnya membuat kami kehilangan selera makan.

Sebagai seorang pendidik, menjadi keterpanggilan kami untuk menyelami apa yang tantangan yang saat ini dihadapi oleh generasi muda. Sosial media tentu telah menjadi salah satu pembahasan yang dalam  dekade ini mendapat sorotan khusus. Efek positif dan negatifnya sudah banyak dibahas. Tapi saat menyelami TikTok, ada kegelisahan yang terlalu besar untuk sekedar disimpan.

Dalam 3 tulisan, kami akan mencoba melihat TikTok secara objektif. Tulisan pertama ini akan membahas sosial media yang sedang menggeliat ini dari segi algoritmanya.

Jika akrab dengan sosial media seperti YouTube dan Instagram, pasti anda akan mafhum bahwa beranda anda adalah cerminan dari diri anda. Beranda anda adalah halaman pertama yang anda lihat saat anda mengklik aplikasi di HP anda. Jika anda senang mencari resep masakan, cara meningkatkan bahasa Inggris, dan juga info teknologi terbaru, kurang lebih itulah yang akan anda lihat di beranda YouTube ataupun Instagram anda. 

Tapi, saat membuka aplikasi TikTok, jika diperhatikan, sepertinya ada yang aneh dengan algoritmanya. 

Dalam eksperimen kami, kami mencoba membaca cara kerja algoritma Tiktok secara bertahap. Pertanyaan pertama, apakah terma pencarian akan merubah video yang disajikan di beranda? Eksperimen kami menunjukkan bahwa jawabannya adalah tidak.

 

 

Tidak ada korelasi antara video apa yang sering kami cari dan video yang muncul di beranda.

 

 

Pertanyaan kedua, apakah jenis dan tema akun yang di-subscribe mempengaruhi video yang ditawarkan di beranda? Kami menggunakan akun kami untuk men-subscribe akun-akun yang bertemakan tausiyah, ceramah, maupun kata-kata hikmah. Namun apa yang terjadi, saat mengklik aplikasi TikTok, beranda kami dipenuhi dengan video-video yang sangat tidak relevan dengan akun langganan kami.

Jika ketidakrelevanan itu mengantar kita pada video tentang teori mekanika kuantum atau sejarah lahirnya angka 0, ataupun tips kesehatan, tentu ke-random-an itu menjadi tidak terlalu bermasalah. Tapi jika video yang disajikan adalah video yang tidak sesuai dengan norma susila, tentu keacakan ini menjadi bermasalah.

Saat mendekati waktu makan siang, kami melanjutkan kembali eksperimen kami terhadap algoritma Tiktok. Lalu sebuah video yang tidak bermoral muncul di beranda. Kami merasa perut kami penuh. Tidak ada lagi keinginan untuk makan.

***

Awalnya bagian kedua dari tiga tulisan tentang TikTok ini ingin membahas tentang video apa yang pertama kali diupload di TikTok. Namun rencana itu gagal; karena di TikTok waktu bukanlah sebuah variabel.

Di TikTok, kita seperti masuk dalam visi Christopher Nolan tentang Tesseract. Meski sebenarnya dikenalkan oleh Howard Hinton pada 1988, Tesseract tidak benar-benar mencuri perhatian publik hingga film Interstellar menjadi fenomena global. Secara singkat, Tesseract adalah sebuah struktur hyper-cubic lima dimensi di mana seseorang yang berada di dalamnya dapat melihat dan berinteraksi dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Minus melihat masa depan, di TikTok, masa kini dan masa lalu berdampingan. Ada sebuah perasaan ajaib, namun ganjil di situ.

Jangankan mencari tahu video apa yang pertama diupload, untuk membedakan mana video yang diupload kemarin dan mana yang tahun lalu saja kita tidak bisa.

Di TikTok, berbeda dengan YouTube dan Instagram, tidak ada informasi kapan sebuah video itu diupload. Namun ini baru permulaan dari jauhnya persahabatan TikTok dan waktu.

Wired, salah satu majalah teknologi yang sangat berpengaruh, membahas dengan detail bagaimana elemen waktu secara sistematis dipudarkan dalam TikTok.

Dalam artikel berjudul "On TikTok, There is No Time" itu, Wired mengutip Prof Ben Grosser, seorang profesor dalam bidang new media di University of Illinois at Urbana-Champaign, yang menyatakan bahwa TikTok tidak memberi informasi waktu karena itu akan mengganggu konsumsi pengguna akan arus video yang tiada akhir itu.

Masih menurut Wired, dengan tidak adanya time-stamp di video TikTok, secara tidak langsung TikTok memberi isyarat bahwa ini bukanlah platform bagi orang yang mencari berita ataupun informasi.  

Namun temuan Wired yang paling mengejutkan adalah, TikTok bergerak lebih jauh lagi untuk mencegah penggunanya memiliki kesadaran waktu dengan menyembunyikan jam yang ditampilkan di sisi atas iPhone.  

Kehilangan kesadaran tentang waktu tentu kini menjadi ancaman bagi siapapun yang menggunakan aplikasi TikTok. Mungkin tidak terlalu bermasalah jika kita lupa waktu dalam menonton detail teknis bagaimana membuat semi-konduktor atau menonton sebuah debat apakah pluto dianggap planet atau bukan. Tapi bagaimana jika seseorang hilang waktu saat menonton orang-orang yang memamerkan aurat ataupun goyangan erotis?! 

Sungguh, orang tersebut berada dalam kerugian besar. 

Rehat dari menggali tentang TikTok, ada dorongan kuat untuk mendengar soundtrack paling berpengaruh dekade ini, dari film lain Christopher Nolan, Inception. Bisa tebak judul soundtrack karya Hans Zimmer ini? Ya, Anda benar. Judulnya adalah "Time".

***

Dua ribu laporan tentang konten negatif TikTok membuat TikTok sempat diblokir di Indonesia pada Juli 2018. Hari ini, dengan tsunami aurat yang dilancarkan TikTok, layakkah TikTok diberi izin beroperasi di Indonesia?

"Benar, situs TikTok kami blokir. Banyak kontennya yang negatif terutama bagi anak-anak. Kami sudah koordinasi dengan kementrian PPA dan KPAI," ungkap Menkominfo Rudiantara sebagaimana dilansir di website kominfo.go.id pada 7 Juli 2018.

Keterangan dalam website resmi Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa “pelanggaran konten yang ditemukan pada platform tersebut antara lain, konten pornografi, konten asusila, konten pelecehan agama, dan sebagainya.”

Pemblokiran tersebut tepatnya dimulai pada 3 Juli 2018. Namun pemblokiran tersebut hanya berlangsung selama sepekan karena, sebagaimana berita yang diturunkan Reuter, TikTok sepakat untuk membersihkan seluruh konten negatif dan melakukan sensor terhadap konten negatif. 

Sebanyak apa sebenarnya konten negatif di TikTok? Tidak ada jawaban yang lebih akurat dari statemen perusahaan itu sendiri. Saat diblok di India pada 2019 karena dinilai “mendorong pornografi” dan menampilkan “konten yang tidak pantas”, TikTok lalu bertindak dengan memberikan pernyataan bahwa mereka “telah menghapus lebih dari 6 juta konten yang melanggar panduan dan kebijakan konten”.

Lebih dari enam juta konten negatif di 2019!

Tiktok baru diluncurkan pada September 2016 dan tiga tahun berikutnya telah ada lebih dari enam juta konten negatif! 

Mengapa tindakan penghapusan itu baru dilakukan setelah platform tersebut diblokir? Apakah selama ini mereka menutup mata untuk terus menarik pengguna baru sembari membiarkan penghancuran moral terjadi?  

Konten negatif sebenarnya bukan hanya terdapat di TikTok. Platform video sharing lainnya seperti YouTube, misalnya, tidak bisa dinyatakan sepenuhnya bebas dari konten negatif. Namun ada hal-hal yang membuat konten negatif di TikTok lebih meresahkan.

Konsiderasi yang pertama adalah, dengan user interface TikTok di mana video langsung berputar sesaat setelah pengguna men-swipe atau men-scroll layar, pengguna tidak bisa memilih apakah ia akan melihat video tersebut atau tidak.

Pada detik tersebut, setidaknya pengguna telah melihat video tersebut selama sepersekian detik. Tayangan itu sudah tersaji di depan kita. Dan alih-alih mengambil sebuah tindakan untuk menonton, kita dihadapkan pada pilihan untuk tidak mengambil tindakan atau mengambil tindakan untuk tidak menonton. 

Para pengembang aplikasi tahu betul, ada perbedaan besar antara dua aksi dan satu aksi; apalagi antara satu aksi dan nol aksi. Semakin sedikit tindakan yang harus dilakukan oleh pengguna, semakin sederhana tugas yang diemban oleh pengguna, semakin puas pengguna dengan sebuah aplikasi.

Maka, sejatinya tidak mengambil aksi lebih ringan daripada mengambil aksi, not taking action is easier than taking action. Thumbnail yang memikat di YouTube, masih membutuhkan sebuah action, yang tentunya disadari oleh sebuah konsiderasi, sekecil apapun itu, untuk dapat dilihat. Namun di TikTok, yang dibutuhkan hanya do nothing

Lebih sederhananya, jika anda men-scroll beranda YouTube dan melihat thumbnail yang menjual aurat, anda harus membuat sebuah keputusan untuk mengkliknya sebelum melihat videonya. Semakin lama waktu yang anda butuhkan untuk mengambil keputusan, semakin YouTube menganggap bahwa video tersebut tidak menarik bagi anda.

Namun di TikTok, saat anda men-scroll, video tersebut akan langsung dimainkan. Sembari otak anda berdebat apakah akan terus menonton atau menghentikan video itu, video itu akan terus berputar hingga anda mengambil keputusan. Semakin lama anda berpikir, semakin lama video itu berputar, dan semakin TikTok menganggap bahwa video tersebut menarik bagi anda.

Konsiderasi kedua adalah, sebagaimana dijelaskan towardsdatascience.com, TikTok menggunakan algoritma yang berbeda dengan media sosial lainnya yang membuat penggunanya begitu obsesif dan kecanduan. 

Dalam artikel berjudul “Why TikTok made its user so obsessive? The AI Algorithm that got you hooked.” penulis menjelaskan bahwa “the recommendation engine won’t be inclined to a particular type of content, thus make sure that new content will get equal opportunities to get into the trendy pool.” 

Dengan kata lain, TikTok memberi kesempatan yang besar bagi kreator baru, dengan jenis konten yang baru, untuk masuk dan mendapatkan eksposure; meskipun itu juga berarti bahwa kreator tersebut tidak bisa berharap banyak bahwa popularitasnya akan bertahan lama. 

“Sekitar satu pekan,” kata artikel tersebut, menjelaskan slot waktu yang diberikan TikTok untuk sebuah video untuk dikenal khalayak. “Setelah slot waktu ini, konten dan akun tersebut akan menjadi tidak populer, dan bahkan video setelahnya pun sangat sulit untuk menjadi trend,” papar artikel tersebut.

Instant fame, instant fade

Dengan pola seperti itu, dengan jutaan konten yang diupload setiap harinya, TikTok menjadi lahan pertarungan yang sangat sengit bagi para kreatornya. Dan sangat disayangkan, banyak kreator yang menghalalkan segala cara untuk mendapat ataupun menjaga popularitas; konten yang lebih panas ataupun lebih kontroversial kadang menjadi senjatanya.

Konsiderasi yang ketiga adalah, di TikTok, kita tidak bisa mengantisipasi video apa yang akan kita tonton berikutnya. Karena kita tidak tahu apa yang akan kita tonton, kita merasa bahwa kita secara ‘tidak sengaja’ melihat sebuah tayangan negatif. Otak kita lalu melakukan pembenaran bahwa kita tidak bersalah karena kita ‘tidak sengaja’; meskipun nyatanya kita sengaja membiarkan video itu berputar.

Mau kabur dari video negatif itu? Tidak ada yang dapat menjamin kita bebas dari ancaman bahwa saat kita men-scroll, ada video yang lebih buruk lagi yang akan tambil di telpon genggam kita. 

Bagaimana dengan TikTok hari ini, apakah masih berisi jutaan konten negatif seperti di 2019? Tim kecil kami belum melakukan kalkulasi sejauh itu. Sebagai sebuah media, ada konten menarik dan bermanfaat yang ditampilkan di TikTok, namun sayang, dalam pengalaman berselancar kami, konten negatif yang mengarah ke pornografi masih begitu masif di TikTok.

Jika anda tidak mengalami apa yang kami alami, ajari kami bagaimana cara menghindari tsunami aurat saat berada di TikTok. Jika anda merasakan yang kami rasakan, mungkin sudah waktunya bagi kita untuk mengetuk nurani bangsa ini, dan melayangkan laporan ke Kominfo untuk meninjau lagi pelepasan pemblokiran TikTok.

Penulis adalah pendidik, praktisi sosial media, dan praktisi web development 

Referensi:

https://www.kominfo.go.id/content/detail/13332/kominfo-blokir-tik-tok-hanya-sementara/0/sorotan_media#:~:text=Setelah%20mendapat%20banyak%20laporan%20negatif,yang%20terkait%20dengan%20Tik%20Tok.

https://www.reuters.com/article/us-indonesia-bytedance-idUSKBN1K10A0

https://www.reuters.com/article/us-indonesia-bytedance-ban-idUSKBN1JU0K8

https://en.wikipedia.org/wiki/Censorship_of_TikTok

https://towardsdatascience.com/why-tiktok-made-its-user-so-obsessive-the-ai-algorithm-that-got-you-hooked-7895bb1ab423

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat