
Opini
Atsl dan Sidr
Sejak kapan sebuah pohon menjadi beragama?
KH SYAIFUL ISLAM; Pengasuh Pondok Pesantren Al-Firdaus Kediri
Sejak kapan sebuah pohon menjadi beragama? Mungkin sejak abad ke-16 M, ketika Martin Luther, pengkhotbah Protestan dari Jerman, itu membawa pohon Natal ke dalam rumah.
Pastinya, itu pohon cemara yang hingga kini biasa dianggap sebagai pohon Kristen. Padahal jauh sebelum agama Kristen ada, di Eropa Utara pohon cemara yang hijau selalu digunakan dalam perayaan festival musim dingin.
Sementara orang Mesir kuno menggunakan pohon palem hijau sebagai bagian dari pemujaan terhadap Dewa Ra. Dan di negeri Nusantara ini, konon dulu penjajah Belanda menandai rumah-rumah penduduk pribumi dengan pohon beringin, sedangkan rumah orang-orang Belanda —yang memang Kristen— dengan pohon cemara.
Konon dulu penjajah Belanda menandai rumah-rumah penduduk pribumi dengan pohon beringin, sedangkan rumah orang-orang Belanda —yang memang Kristen— dengan pohon cemara.
Pada masa kecil, saya biasa bermain di halaman sebuah sekolah yang tidak jauh dari rumah. Di sana ada banyak pohon cemara. Suatu ketika ada yang bilang pohon cemara itu pohon Kristen, biasa ditanam di lingkungan gereja.
Selain pohon cemara yang Kristen, juga ada burung —sejenis burung emprit— yang diidentikkan —dan dinamakan— dengan burung Gereja. Dan itu berarti juga burung Kristen?
Pada gilirannya, dikotomi pohon Kristen dan pohon Islam menghadapkan pada pilihan yang tidak sederhana. Apakah setiap pohon yang tumbuh (ditanam) di pekarangan gereja merupakan pohon Kristen? Sedangkan pohon yang di lingkungan area masjid menjadi pohon Islam? Sejak kapan sebuah pohon menjadi beragama?
Tema tentang pohon sebenarnya ada dalam Islam. Alquran membincang tentang pohon di antaranya dalam Surah Saba' ayat 16: "Lalu mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar, dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang (ditumbuhi pohon-pohon) berbuah pahit, pohon atsl (sejenis pohon cemara) dan sedikit pohon sidr (pohon bidara)."
Walau tidak secara eksplisit melarang, sebagian orang mendalilkan ayat ini untuk tidak menanam "pohon Kristen" dan lebih memilih pohon yang Islami.
Padahal —dalam Shahih Bukhary, hadits nomor 364 disebutkan bahwa mimbar Kanjeng Nabi SAW terbuat dari kayu atsl. Mimbar tersebut mempunyai tiga anak tangga selain tangga yang diberi nama al-Mustarah.
Ketika Nabi SAW berkhutbah, beliau menempati anak tangga ketiga. Dan ketika menjadi khalifah, Abu Bakar RA berkhutbah di tingkat yang kedua, turun satu tingkat. Adapun Umar bin Khaththab RA turun satu tingkat lagi di bawahnya.
Muawiyah tidak menemukan anak tangga dari mimbar itu untuk ditempati. Maka ia menambahkan enam tangga dari bawah dengan mengangkat bentuk aslinya hingga menjadi sembilan tangga.
Kemudian ketika Muawiyah menguasai pemerintahan, dia tidak menemukan anak tangga dari mimbar itu untuk ditempati. Maka ia menambahkan enam tangga dari bawah dengan mengangkat bentuk aslinya hingga menjadi sembilan tangga. Demikian para khalifah menempati anak tangga ketujuh ketika menyampaikan khutbah. (Fathul-'Allam: 3/57)
Bisakah kemudian peristiwa Isra' Mi'raj menjadi pengantar dalil untuk memilih "pohon Islam"? Hakikat peristiwa Isra' Mi'raj secara logika mungkin memang sudah "cures".
Hanya sekali terjadi. Hanya seorang yang mengalami. Jadi tidak ada ruang untuk observasi. Tinggal iman dan percaya atau tidak. "Inni laushaddiquhu bi-ab'ada min dzalika (sungguh pasti aku membenarkannya—bahkan pada perjalanan—yang lebih jauh dari itu)", ini kata sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq, tentang Isra itu, perjalanan malam itu.
Selebihnya adalah tafsir dan kemudian hikmah.
Bisakah kemudian peristiwa Isra Mi'raj menjadi pengantar dalil untuk memilih "pohon Islam"?
Terus mengapa pohon yang Islami? Dalam peristiwa Isra Mi'raj, Nabi SAW selanjutnya dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Riwayat dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan ke langit ketujuh, aku diajak ke Sidratul Muntaha. Ketika pohon ini diliputi perintah Allah, dia berubah. Tak ada seorang pun manusia yang mampu menggambarkannya karena sangat indah.”
Sedangkan Malik bin Sha'sha'ah RA meriwayatkan: “Aku melihat Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat.”
Jauh sebelum peristiwa Isra' Mi'raj, tema tentang pohon juga disinggung dalam kisah Nabi Musa AS. Ketika itu, pada suatu malam yang gelap beliau melihat cahaya terang di Bukit Sinai.
Setelah didekati ternyata sebuah pohon yang seolah terbakar. Di situlah beliau "berdialog" dengan Penguasa Alam, di situlah beliau menerima wahyu—orang Barat menyebutnya The Ten Commandements— yang menjadi permulaan dari ajaran Taurat.
Sebagaimana ketupat yang menjadi ikon Lebaran, bisakah sebuah pohon menjadi ikon Isra' Mi'raj? Bukan pohon cemara yang bernama Latin Casuarina equisetifolia, yang telanjur diidentikkan dengan Kristen. Namun pohon Sidrah atau Bidara atau Ziziphus mauritiana.
Seorang teman mengingatkan saya untuk tidak terlalu "ngegas", kata kaum sebelah, jangankan bikin ikon Isra' Mi'raj, memperingatinya saja jadi sesat, "dlalalah"!!!
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.