Sejumlah warga mengantre membeli sembako murah di Kantor Kelurahan Cililitan, Jakarta, Rabu (2/2/2022). | Republika/Putra M. Akbar

Tajuk

Nafsu Politik di Atas Kepentingan Publik

Dari sudut pandang mana persoalan politik pemilu dua tahun lagi lebih prioritas dan mendesak diselesaikan?

Apa pilihan kita saat menghadapi permasalahan ekonomi berikut: Stok minyak goreng langka dan harganya melambung, harga kedelai bahan baku tempe dan tahu naik tinggi, pedagang daging sapi segar mogok berjualan karena mendadak harga daging meroket, lalu pemerintah menaikkan harga elpiji per kilogram.

Bagi kita yang logis tentu menguraikan satu demi satu permasalahan prioritas ini. Dicari apa penyebabnya. Apakah penyebab itu secara sistem atau ada yang menghambat di tengah jalur pasokan. Lalu selesaikan dengan tuntas, agar tidak terulang pada masa mendatang. Kemudian kita beralih menyelesaikan permasalahan lain yang datang. Begitu, kan?

Ternyata tidak bagi elite politik. Di tengah persoalan-persoalan di atas, ditambah situasi pagebluk Covid-19 yang penularannya makin meluas, para elite sibuk ‘berdagang’ untuk mencari cara menunda Pemilu 2024. Atau bahasa awamnya: Memperpanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin.

Kita tentu heran. Dari sudut pandang mana yang membenarkan bahwa persoalan politik pemilu dua tahun lagi lebih prioritas dan mendesak diselesaikan? Apa yang membuat pembahasan memperpanjang masa jabatan pemerintah lebih bermanfaat daripada mencari jalan keluar menyelesaikan persoalan minyak goreng (migor), kedelai, harga daging, dan elpiji?

 
Kita tentu heran. Dari sudut pandang mana yang membenarkan bahwa persoalan politik pemilu dua tahun lagi lebih prioritas dan mendesak diselesaikan? 
 
 

Jawabannya hanya satu: Kepentingan. Kalau para politikus itu berani, seharusnya mereka bertanya ke konstituennya, para pemilihnya di daerah pemilihan masing-masing seperti ini: Bapak/Ibu, apakah saya lebih baik menyelesaikan persoalan migor, kedelai, daging sapi, dan elipiji atau saya harus membahas perpanjangan masa pemerintah sekarang?

Kementerian Perdagangan sudah sebulan terakhir mengutak-atik kebijakan minyak goreng. Migor tetap langka, harganya tidak bisa dikembalikan ke sebulan lalu. Malah banyak sekali penimbunan oleh distributor ataupun pedagang. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan juga tidak punya solusi jitu untuk menjinakkan harga kedelai impor. Padahal ini masalah tahunan dan terus berulang.

Begitu juga, persoalan daging sapi. Dari tahun ke tahun sudah diimpor, dan kebijakan ekstensifikasi peternakan, persoalan harga daging melambung tetap tidak teratasi. Elpiji juga demikian. Melambungnya subsidi elpiji pemerintah, tidak tepat sasarannya subsidi elipji melon untuk rakyat miskin, membuat pemerintah dua bulan terakhir ini menaikkan harganya.

Bukannya tidak boleh kita mendiskusikan perpanjangan masa pemerintah. Toh, pembahasannya sudah sering dicuap-cuapkan politikus ataupun tukang survei politik. Presiden Jokowi bahkan sudah beberapa kali berkomentar menolak melanggar konstitusi untuk itu.

Apalagi, UU Pemilu sudah diketok. Pemerintah dan DPR baru saja memilih anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu yang baru. Tahapan-tahapan persiapan bakal dilakukan.

Maka itu, ketika Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional berkomplot untuk bersuara mempertimbangkan memperpanjang masa pemerintahan, sesungguhnya itu memperlihatkan di sisi mana mereka berdiri.

 
Ketika Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional berkomplot untuk bersuara mempertimbangkan memperpanjang masa pemerintahan, sesungguhnya itu memperlihatkan di sisi mana mereka berdiri.
 
 

Eks menkumham Yusril Ihza Mahendra dkk sudah memberikan pendapatnya. Kalau benar elite ini ingin memperpanjang masa pemerintahan, pertaruhannya amat besar. Pertama, harus ada amendemen terbatas pasal mengenai masa jabatan Presiden. Kedua, dampak legalitas konstitusional bagi para pejabat publik mulai dari Presiden hingga wali kota.

Hanya tinggal kepala Polri dan panglima TNI yang berfungsi, sisanya tidak memiliki hak memimpin bila dipaksakan. Kekacauan dan kerusakan, keteraturan publik, menjadi taruhan. Apakah ini yang Presiden Jokowi dkk ingin wariskan kepada bangsa, rakyat, dan anak cucunya?

Membahas masa perpanjangan pemerintah bukanlah hal tabu. Tapi, melakukannya di tengah situasi pandemi dan kesulitan ekonomi seperti ini yang kurang tepat. Justru memperlihatkan watak asli para politikus itu. Sandiwara betul. Bahwa mereka berjuang sekadar untuk kepentingannya.

Bukan untuk para pemilihnya, apalagi ibu-ibu yang mengantre berjam-jam untuk mendapatkan sekantong migor, pedagang tahu tempe yang kebingungan, pedagang gorengan yang tak bisa lagi berjualan, pedagang daging dan bakso yang harus bersiasat, serta pemilik rumah makan yang menggantungkan dapurnya dari tabung elpiji.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat