Ilustrasi Hikmah Hari ini | Republika

Hikmah

Syahwat Manusia

Keserakahan hidup itu menghiasi pula sebagian kaum elite yang dalam penglihatan lahir tampak bahagia.

Oleh PROF FAUZUL IMAN

OLEH PROF FAUZUL IMAN

Syahdan sesosok lelaki setengah baya mengenakan jubah dan tongkat di sebelah tangan kanannya berjalan kaki dari hutan ke hutan. Di tengah perjalanan, lelaki itu merasa kelelahan dan beristirahat di bawah pohon rindang. Di atas dahan pohon, ramai dua pasang burung bercericit sedang saling bermesraan.

Melihat lelaki berjubah, sang betina mulai ketakutan dan mengajak sang pejantan untuk mencari tempat yang lebih aman. Pejantan enggan memenuhi ajakan betina karena ia percaya lelaki berjubah itu seorang alim yang tidak akan berniat jahat.

Mendengar ucapan si jantan, betina merunduk dan kedua pasangan itu kembali saling bercericit karena rasa riangnya tenggelam dalam hubungan kemesraan.

Di luar dugaan rupanya lelaki berjubah tak tahan menahan syahwat kelaparan. Tidak ada pilihan lain, sang pejantan itu ditebasnya hingga roboh tak bernyawa lagi. Ia mencacah-cacah burung jantan itu dan memasaknya kemudian dilahapnya daging burung itu hingga ludes.

Sang betina dari jauh lemas, geram dan bercampur kecewa menatap lelaki berjubah itu yang dengan teganya melahap belaian hatinya. Sang kekasih yang selama ini paling dicintainya.

Kisah di atas merupakan sindiran kreatif seolah menegaskan kepada kita sekurang-sekurangnya dua peristiwa yang sering mewarnai kehidupan umat manusia. Pertama, seseorang seringkali terjebak memandang yang lain hanya dari sisi labelitas lahir/simbolik tanpa dilacak dari subtansi kedalaman perilakunya kelak.

Burung yang menjadi mangsa manusia berjubah jelas merupakan kurban manusia simbolis yang dinilainya alim lagi saleh tetapi kenyataannya penebas nyawa. Muhamad Thabathobe'i dalam bukunya Tafsir Al-Mizan menyebutnya dengan manusia chasing atau simbolis, yaitu manusia yang dalam penampilan lahirnya berlambang saleh. Bahasanya memukau, tapi kedalaman hatinya wadag dan kumal.

Kedua, pada umumnya konsistensi manusia mudah roboh diterjang sifat keserakahannya. Ia tidak merasa cukup dari kemapanan yang telah digenggamnya. Satu telah dinikmati ia melirik lagi ke gelimang kenikmatan yang tak berujung.

Burung yang dicacah-cacah itu menandakan betapa di dunia ini manusia teramat serakahnya. Tidak cukup dengan sekerat daging yang dimangsanya. Manusia dengan ganasnya membelah, mencacah dan menusuk daging-daging hewan itu dengan bambu runcing dan memanggangnya di atas api yang bergolak.

Keserakahan hidup itu menghiasi pula kepada sebagian kaum elite yang dalam penglihatan lahir tampak bahagia. Berbaju jas dan berdasi necis terlihat kaya karena menjadi pejabat dan entrepreneur yang perusahaannya ada di mana-mana.

Bahasanya memukau padat dengan pesan-pesan dan percikan etiket bagai sang nabi. Pakaian necis dan gelimang kekayaannya itu tidak lebih hanyalah simbolisme.

Inilah barangkali yang dimaksud dengan firman Tuhan, “Sebagian di antara manusia hanya bisa mengabdi pada Tuhannya di pinggiran. Bila menerima kenikmatan mereka bahagia, tetapi bila mendapat ujian mereka kembali ke jalan sesat. Sungguh mereka berada di tebing kerugian.” (QS 22: 11).

Nauzubillah!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat