Pengrajin menunjukkan kedelai impor yang harganya melambung di sentra industri tempe Sunter Jaya, Jakarta, Senin (21/2/2022). | Prayogi/Republika.

Opini

Persoalan Sumber Protein Nabati

Kedelai, lebih dari dua pertiga didatangkan dari luar negeri.

MUHAMMAD FIRDAUS, Guru Besar Ekonomi dan Ketua Dewan Pakar HA IPB

Pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada permintaan dan harga komoditas sumber protein.

Pertama, karena kesadaran yang lebih tinggi untuk mengonsumsi secara berimbang antara go food (sumber energi), grow food (sumber protein), dan glow food (sumber vitamin dan serat) agar imunitas tetap tinggi.

Kedua, perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi global sejak tahun lalu menyebabkan permintaan pangan naik sehingga di pasar internasional harga berbagai komoditas pertanian meningkat.

Untuk  sumber protein nabati penting seperti kedelai, kenaikan permintaan juga didorong meningkatnya penggunaan bahan baku, baik untuk minyak konsumsi maupun biodiesel karena produk substitusi terdekatnya, yaitu minyak sawit harganya melonjak.

 

 
Jika faktor demand pull dan cost push itu bekerja bersama-sama, dipastikan inflasi terjadi di luar batas kewajaran.
 
 

 

Ilustrasi di atas, contoh rentetan dampak pemulihan ekonomi dan kenaikan harga minyak fosil di pasar global. Dalam literatur ekonomi, sejak seabad lalu, Kondratiev dan Schumpeter menyebut fenomena creative destruction ini sebagai commodity super cycle.

Dampak lain fenomena ini, kenaikan harga bahan baku pupuk dan obat-obatan untuk produksi pertanian. Komponen penting yang digunakan produsen pupuk dalam negeri masih banyak impor. Untuk obat-obatan nonhayati, sebagian besar bahan baku dari luar negeri.

Petani sejak akhir tahun lalu mengeluhkan naiknya harga obat-obatan yang mencapai lebih dari dua kali lipat. Uraian di atas menunjukkan, terjadi pergerakan, baik dari sisi permintaan maupun penawaran.

Jika faktor demand pull dan cost push itu bekerja bersama-sama, dipastikan inflasi terjadi di luar batas kewajaran.

Terlebih produk pangan adalah penyumbang inflasi yang signifikan dan langsung  berdampak pada kemiskinan di Indonesia dan semakin rendahnya kesejahteraan petani, yang banyak  merupakan net consumer.

 

 
Kebijakan pangan seharusnya tidak dengan pendekatan komoditas.
 
 

 

Konsumsi protein

Kebijakan pangan seharusnya tidak dengan pendekatan komoditas. Jika pendekatan gizi digunakan, ketergantungan mutlak pada komoditas tertentu, terutama keharusan memproduksi komoditas tersebut sendiri, dapat dikurangi.

Namun, selera konsumen Indonesia pada komoditas pangan penting umumnya 'kaku', seperti tahu tempe yang dibuat dari kedelai. Ini menyebabkan dalam jangka pendek, saat ada gejolak, baik sisi suplai maupun permintaan, persoalan komoditas tetap menyita perhatian.

Kebutuhan protein masyarakat masih dipenuhi, terutama dari tanaman (nabati), yang menyumbang lebih dari dua pertiga, sisanya hewani. Kacang-kacangan penyumbang utama, biasanya diolah menjadi bentuk siap konsumsi, seperti tahu dan tempe.

Asupan potein masyarakat memang menarik dikaji. Studi Ernawati (2016) menunjukkan, asupan protein dari hewan pada anak balita stunting ataupun gizi kurang, lebih rendah daripada balita dengan status gizi normal.

Sebaliknya, asupan protein nabati lebih tinggi pada anak stunting atau gizi kurang dibandingkan anak berstatus gizi normal.

 

 
Sebaliknya, asupan protein nabati lebih tinggi pada anak stunting atau gizi kurang dibandingkan anak berstatus gizi normal.
 
 

 

Analisis ekonomi dengan CGE dilakukan Firdaus dan Amalia (2021) untuk menunjukkan dampak ekonomi jika konsumen mengurangi konsumsi beras, dan diikuti diversifikasi pangan ke sumber protein, seperti kacang-kacangan dan produk peternakan.

Ternyata ini memberikan manfaat ekonomi secara makro jauh lebih tinggi dibandingkan konsumen sekadar mendiversifikasi pangan dari beras ke nonberas.

Simulasi ini secara spesifik meredam inflationary pressures pangan dan meningkatkan daya beli yang diproksi dengan peningkatan upah riil. Perubahan kondisi ini juga meningkatkan pendapatan riil masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan.

Kebijakan ke depan

Saat ini isu kelangkaan kedelai mengemuka. Kedelai, lebih dari dua pertiga didatangkan dari luar negeri. Pemain kedelai utama dunia, seperti AS dan Brasil, mengekspor sebagian produksinya, selain diolah menjadi minyak konsumsi dan biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri.

 

 
Keberhasilan Brasil dalam pengembangan kedelai dimulai dengan upaya intensif sejak 1970-an, diawali mengintroduksi beberapa varietas unggul dari AS.
 
 

 

Untuk perbandingan, diambil Brasil karena dari sisi kesamaan iklim untuk daerah belahan utaranya yang mendominasi pertanaman kedelai, juga tingkat kemajuan pembangunan yang sama-sama masuk kelas pendapatan menengah.

Sejak 2020, produksi total kedelai Brasil menyalip AS sehingga saat ini Brasil produsen kedelai terbesar di dunia. Keberhasilan Brasil dalam pengembangan kedelai dimulai dengan upaya intensif sejak 1970-an, diawali mengintroduksi beberapa varietas unggul dari AS.

Berbagai dukungan diberikan, seperti best management practices, infrastruktur pengairan dan transportasi, serta insentif fiskal. Produktivitas kedelai Brasil secara rata-rata di atas tiga ton per hektare, lebih dari tiga kali yang dihasilkan petani Indonesia.

Mekanisasi sangat dimungkinkan karena skala usaha tani di Brasil rata-rata di atas 60 hektare. Jumlah petani yang berproduksi di bawah dua hektare hanya satu persen. Sejak 2003, Brasil sudah meratifikasi penggunaan benih transgenik atau GMO untuk kedelai.

Negara Amerika Selatan dikenal  pengguna benih GMO untuk komoditas penting, seperti jagung, kentang, dan kapas. Di sisi lain, Brasil mengirimkan produknya ke negara-negara yang memiliki penolakan tinggi terhadap pangan dari benih GMO seperti Uni Eropa.

 

 
Pro kontra dari aspek sosial atau “keadilan” tentu selalu ada, termasuk di negara asal benih GMO atau seperti di Brasil sampai saat ini.
 
 

 

Benih ini memiliki kelebihan, terutama dari hematnya pengeluaran petani untuk obat-obatan. Pada saat harga herbisida dan lain-lain naik seperti sekarang, budi daya pangan dengan benih GMO dapat menjadi pilihan.

Dalam kurun waktu terakhir, Indonesia juga membuka pintu masuknya benih GMO. Prosedur yang lebih baku harusnya tersedia sehingga memberikan kepastian kepada pihak yang ingin berinvestasi, tanpa mengabaikan kekhawatiran risiko ekologis.

Pro kontra dari aspek sosial atau “keadilan” tentu selalu ada, termasuk di negara asal benih GMO atau seperti di Brasil sampai saat ini.

Masih dalam jangka menengah atau panjang, kebijakan yang dapat diambil adalah secara masif memproduksi kedelai sendiri, dengan benih dari hasil pemuliaan di institusi litbang Kementerian Pertanian dan perguruan tinggi.

Kedelai umumnya ditanam sebagai pengisi musim saat tanah diistirahatkan dari budi daya padi. Menanam di lahan baru juga pemanfaatan lahan nonsawah dengan benih unggul dari IPB atau UGM misalnya, perlu didorong.

Petani harus mendapat pengawalan. Keberadaan off-taker harus sejak awal, dengan kata lain dibangun dalam skema closed loop, yang merupakan pengembangan ekosistem hulu-hilir berbasis digital.

 
Persoalan pangan dan pertanian memang kompleks. Dari sisi suplai dan permintaan, banyak faktor yang harus dikendalikan agar diperoleh solusi terbaik.
 
 

Dalam jangka pendek, ada dua opsi. Pertama, pengadaan lebih cepat dari berbagai negara sumber kedelai, lalu dengan manajemen logistik oleh Bulog disalurkan kepada industi tahu dan tempe, dengan sebagian disubsidi.

Kedua, penggunaan berbagai bahan baku kacang alternatif. Kacang koro pedang dapat menyubtitusi lebih dari separuh kedelai dalam pembuatan tahu dan tempe. Kacang tunggak juga sebetulnya sudah banyak diolah pengrajin menjadi tempe.

Bahkan, kecipir yang asli Indonesia, jika dalam dua bulan dipanen sebagai sayur; jika diperpanjang menjadi tiga bulan, menghasilkan kacang dengan kandungan protein sangat tinggi, sedikit di bawah kedelai.

Persoalan pangan dan pertanian memang kompleks. Dari sisi suplai dan permintaan, banyak faktor yang harus dikendalikan agar diperoleh solusi terbaik.

Mendorong produksi dalam negeri dengan kehidupan petani yang lebih sejahtera dan mengedukasi masyarakat mengurangi kekakuan memilih sumber zat gizi, sama pentingnya dan harus dilakukan terus-menerus. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat