Jamaah melaksanakan ibadah shalat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (11/2/2022). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Meneguhkan Visi Islam Wasathiyah

Islam di berbagai belahan dunia memberikan solusi melalui penguatan pemahaman Islam wasathiyah.

AMIRSYAH TAMBUNAN, Sekjen MUI

Pemahaman Islam yang beragam, di satu sisi menjadi kekayaan khazanah intelektual. Di sisi lain, sebagai dialektika guna merespons dua kutub ekstrem kiri-kanan, yang membuat suasana kehidupan beragama kurang nyaman, bahkan fobia sesama umat beragama.

Fobia yang menimbulkan kebencian kepada ajaran agama, termasuk di Indonesia, yang disebabkan banyak faktor, antara lain politik-kekuasaan ketika terjadi “kontestasi” politik di berbagai belahan dunia, dengan menyalahgunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Islamofobia seperti dijelaskan David Horowitz and Robert Spencer dalam Islamophobia Thought Crime of the Totalitarian Future (2021) sebagai akibat perang dingin AS dengan Cina pascaruntuhnya Uni Soviet.

 
Pada saat yang sama, AS memimpin koalisi demokrasi untuk menentang komunisme, karena para pendiri AS sepakat menjadikan prinsip kebebasan sebagai landasan.
 
 

Pada saat yang sama, AS memimpin koalisi demokrasi untuk menentang komunisme, karena para pendiri AS sepakat menjadikan prinsip kebebasan sebagai landasan.

Untuk mengakhiri kebencian ini, peran politik kenegaraan seperti dilakukan DPR AS (House of Representatives) sangat signifikan, dengan meloloskan RUU untuk memberantas Islamofobia (14 Desember 2021), disponsori anggota Partai Demokrat Ilham Omar.

Regulasi ini mendorong dibentuknya utusan khusus di Departemen Luar Negeri guna memantau dan memberantas Islamofobia. Ini terjadi setelah anggota Fraksi Republik, Lauren Boebert mengeluarkan lelucon rasis dan Islamofobia mengenai Omar.

Pertama,  ia mengejek Muslim anggota kongres itu. Kedua, Boebert mencemooh Omar dalam perdebatan di DPR, mengejek imigran Muslim kelahiran Somalia itu sebagai anggota “pasukan jihad”. RUU ini didukung suara 219-212.

Pemahaman wasathiyah

Dalam situasi semacam itu, Islam di  berbagai belahan dunia memberikan solusi melalui penguatan pemahaman Islam wasathiyah, dengan visi menyelamatkan peradaban manusia yang aman juga damai sehingga terhindar dari berbagai konflik.

 
Dalam situasi semacam itu, Islam di  berbagai belahan dunia memberikan solusi melalui penguatan pemahaman Islam wasathiyah.
 
 

Dalam konteks ini, ada 10 langkah yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional IX MUI 2015.   

Pertama, pemahaman Islam jalan tengah, yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak berlebih-lebihan dalam beragama dan tidak mengurangi ajaran agama.

Kedua, berkeseimbangan, yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara penyimpangan  dan perbedaan.

Ketiga, lurus dan tegas, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. Keempat, toleransi, yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik aspek keagamaan maupun aspek kehidupan lainnya

Kelima, egaliter, yaitu tak diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi, dan asal usul seseorang. Keenam, musyawarah, yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan musyawarah dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.

 
Kemajuan cara pandang ini dilakukan karena para ilmuwan percaya Islam wasathiyah harus mampu melawan kebencian. 
 
 

Ketujuh,  reformasi, yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum.

Kedelapan, mendahulukan yang prioritas, yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan kepentingan lebih rendah.

Kesembilan, dinamis dan inovatif, yaitu selalu terbuka melakukan perubahan-perubahan sesuai perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.

Kesepuluh, berkeadaban, yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban

Kemajuan cara pandang ini dilakukan karena para ilmuwan percaya Islam wasathiyah harus mampu melawan kebencian. Sejatinya, kecintaan kepada agama mendatangkan kebahagiaan seperti halnya manusia mencintai sesama akan memperoleh kedamaian hidup.

 
Maka itu, sikap saling membenci karena agama, suku, dan etnis harus dihapuskan karena mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia.
 
 

Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1993) dalam Islam and Secularism memperkuat visi Islam wasathiyah, dengan memberikan pemahaman terkait makna agama, yaitu asas bagi suatu kehidupan yang tertib dan teratur.

Maka itu, sikap saling membenci karena agama, suku, dan etnis harus dihapuskan karena mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia.

Allah melarang sikap membenci yang akan berakhir hancur binasa sebagaimana ditegaskan Alquran, surah al-Kautsar (108: 3), inna syani`aka huwal-abtar, yang artinya "sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus dari rahmat Allah".  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat