Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Krisis Keadaban Politik

Semakin demokratis lingkungan politik dan sosial-budaya warga, kian kuat pula keadaban politiknya.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA 

Keadaban politik (political civility). Krisis keadaban politik terjadi di mana-mana, di banyak negara Barat, berbagai wilayah dunia Muslim juga Indonesia. Akibatnya, terus terjadi kegaduhan politik, baik internal dalam satu negara maupun eksternal antara satu negara atau kelompok negara dan negara atau aliansi negara lain.

Apakah keadaban politik itu? Keadaban politik terkait ‘adab’ (kesopanan, kesantunan, dan kehalusan budi) dalam praksis politik. Keadaban politik juga terkait peradaban atau tamaddun, puncak kemajuan kebudayaan dalam berbagai bidang kehidupan.

Ia terkait pula dengan civil, warga yang memiliki civic culture, budaya kewargaan—budaya berdasarkan hubungan kesetaraan, saling menghargai, saling menyantuni; semuanya menjadi adab dan kehalusan budi pekerti dalam menghadapi perbedaan.

 
Secara teoretis, seharusnya semakin demokratis lingkungan politik dan sosial-budaya warga di negara tertentu, kian kuat pula keadaban politiknya.
 
 

Kemajuan peradaban dalam ilmu pengetahuan dan sains-teknologi di berbagai aspek kehidupan manusia pada tiga dasawarsa terakhir, tidak berjalan paralel dengan keadaban publik.

Ekspansi demokrasi dalam beberapa kali gelombang besar di berbagai negara sejak akhir 1986-an, juga tak meningkatkan keadaban politik.

Secara teoretis, seharusnya semakin demokratis lingkungan politik dan sosial-budaya warga di negara tertentu, kian kuat pula keadaban politiknya.

Sebaliknya, pertumbuhan demokrasi memang menghasilkan kemajuan politik, tapi juga banyak kemerosotan seperti yang dialami demokrasi Indonesia dalam dasawarsa terakhir.

Kemerosotan itu disebut kalangan ahli dengan beragam istilah, yakni decline (kemerosotan), backsliding (menurun), flawed (cacat) atau illiberal (tidak bebas karena semakin banyak pembatasan beraspirasi atau berserikat), yang diberlakukan rezim penguasa dengan oligarki politik dan oligarki bisnisnya.

Berbagai bentuk ketidakadaban politik (political incivility) memenuhi ruang publik, seperti absennya fatsun (etika) politik, penerapan perilaku tidak demokratis, sampai pada arogansi di kalangan elite politik.

 
Berbagai bentuk ketidakadaban politik (political incivility) memenuhi ruang publik, seperti absennya fatsun (etika) politik, penerapan perilaku tidak demokratis, sampai pada arogansi di kalangan elite politik.
 
 

Rendahnya keadaban politik juga terlihat di kalangan warga yang melakukan ketidaksantunan politik sesama warga, dan menerima permisif political incivility yang dilakukan elite politik dari tingkat nasional sampai lokal.

Political incivility semakin meningkat di media sosial. Pada satu pihak, kian banyak ‘pendengung’ (buzzer) dan ‘pemengaruh’ (influencer) yang agresif menyebarkan pesan politik yang lazimnya pro-rezim.

Mereka selain menyebarkan disinformasi atau misinformasi menyesatkan, juga menyerang secara defamatif dan insinuatif pihak yang kritis.

Pada pihak lain, ada warganet independen atau tidak berafiliasi dengan kekuatan politik resmi tertentu, tetapi kritis terhadap rezim. Bukan tidak ada pula mereka yang melanggar keadaban politik. Kritisisme mereka bukan tak sering mencerminkan political incivility.

Meningkatnya ketidakadaban politik dalam demokrasi, baik yang sudah mapan maupun masih baru, menjadi semacam endemik terkait berbagai faktor.

Pertama, kontestasi politik yang terus berlanjut di kalangan elite politik, yang berafiliasi dengan partai politik berbeda. Peningkatan kontestasi politik menjadi eskalatif berbarengan dengan terus meluasnya fragmentasi di kalangan berbagai kelompok warga.

 
Meningkatnya ketidakadaban politik dalam demokrasi, baik yang sudah mapan maupun masih baru, menjadi semacam endemik terkait berbagai faktor.
 
 

Sedangkan di kalangan warga, ketidakadaban politik juga meningkat karena kelumpuhan atau kegagalan elite politik menampilkan keadaban politik.

Juga karena kegagalan penegakan hukum yang adil—breakdown of law and order. Demokrasi hanya menjadi lokus bagi terjadinya berbagai bentuk ketidakadaban politik di kalangan elite politik dan warga.

Ketidakadaban politik di kalangan warga juga bisa meningkat ketika elite politik di berbagai lembaga publik, menerapkan kebijakan atau mengeluarkan pernyataan kontroversial.

Keadaan ini sering membelah warga ke dalam kelompok pro dan kontra, yang masing-masing pihak bukan tidak sering terjerumus ke dalam tindakan political incivility.

Peningkatan disrupsi dan disorientasi politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama juga menjadi faktor penting meluasnya political incivility, baik di kalangan elite politik maupun di antara warga.

 
Kemerosotan keadaban politik dalam skala luas mengakibatkan retardasi atau keterbelakangan dalam kehidupan negara-bangsa.
 
 

Dalam disrupsi dan disorientasi pada berbagai bidang kehidupan figur politik dan warga kehilangan akal sehat dan nurani; tidak lagi memedulikan keadaban, kesantunan, atau kepatutan politik.

Akibatnya, sikap saling percaya, baik di antara elite politik maupun di antara warga dengan elite politik, sangat rendah.

Padahal, trust adalah modal sosial yang sangat diperlukan dalam upaya memajukan negara-bangsa. Tanpa trust, langkah apa pun yang dilakukan pejabat publik tidak dipercayai warga sebagai hal penting bagi mereka dan negara-bangsa secara keseluruhan.

Kemerosotan keadaban politik dalam skala luas mengakibatkan retardasi atau keterbelakangan dalam kehidupan negara-bangsa. Berbagai usaha memajukan negara-bangsa jadinya jalan di tempat seperti menari poco-poco, maju selangkah, mundur bisa dua langkah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat