Hamid Fahmy Zarkasyi menerima piagam dari Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Akrim Mariyat. Hamid dikukuhkan sebagai guru besar filsafat Islam | Erdy Nasrul

Opini

Hamid Fahmy Zarkasyi dkk di Tengah Liberalisasi Islam

Belum lama ini Hamid Fahmy Zarkasyi dikukuhkan sebagai guru besar Filsafat Islam Unida Gontor.

ERDY NASRUL

Wartawan Republika

Tulisan ini adalah apresiasi penulis kepada gurunda Hamid Fahmy Zarkasyi. Goresan pena ini sudah dimuat dalam buku kumpulan tulisan pakar tingkat dunia dan nasional mengenai putra kesembilan pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Kiai Imam Zarkasyi tersebut. Buku itu berjudul Hamid Fahmy Zarkasyi: Di Mata Guru, Sahabat, dan Murid.

***

Pada permulaan abad ke-21, liberalisasi Islam menggema di Indonesia. Bermula dari tulisan Ulil Abshar Abdalla berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam di Harian Kompas pada 18 September 2002, Islam liberal menjadi bahan diskusi berbagai kalangan.

Salah satu buku rujukan Ulil berjudul Liberal Islam. Ini adalah kumpulan tulisan 32 akademisi yang disunting intelektual Barat Charles Kurzman. Buku tersebut menjadi bacaan akademisi Muslim di berbagai perguruan tinggi Islam. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, buku ini diterbitkan Penerbit Paramadina pada 2001 dengan judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta, Indonesia: Paramadina, 2001).

Melalui buku tersebut, mereka menunjukkan bahwa Islam sama seperti Barat yang liberal dan sekuler. Bahwa di dalam Islam ada gender, pluralisme agama, dan demokrasi. Mereka memaksakan Islam untuk sesuai, bahkan sama dengan Barat. Anggapan mereka, Islam adalah organisme yang hidup, yang tidak mapan, dan selalu berubah.

Salah satu pintu masuk Islam Liberal adalah tafsir. Mereka menilai tafsir Alquran selalu berubah menyesuaikan kondisi zaman. Tafsir dan takwil mereka samakan dengan hermeneutika Barat, yang pada mulanya merupakan metodologi penafsiran injil. Tugas akhir yang mengusung wacana Islam liberal di sejumlah perguruan tinggi Islam menggeliat. Ada yang mengangkat isu gender dengan menafsirkan kembali ayat-ayat Alquran tentang wanita. Di antara rujukan mereka adalah Amina Wadood dan Irshad Manji. 

Mereka berupaya mengganti pemahaman masyarakat luas tentang ayat arrijal qawwamuna alan nisa (An Nisa: 34). Dari yang semula bermakna lelaki lebih tinggi dari perempuan, menjadi sifat kelaki-lakian lebih tinggi dari sifat perempuan. Dengan wacana dan tafsir pro-gender, mereka mengobrak-abrik ketentuan waris antara ahli waris lelaki dan perempuan. Mereka menilai keduanya harus mendapatkan porsi yang sama.

Pemahaman seperti ini memberikan angin segar kepada gerakan feminisme, sehingga semakin mendapatkan tempat. Dari sini sekelompok orang membela kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bahkan ada dari mereka yang berkedok pendakwah membenarkan adanya LGBT dan menebar fitnah, adanya ulama salaf yang LGBT.

Islam Liberal ditelan ‘mentah-mentah’, bahkan berlebihan oleh sebagian kalangan. KH Abdullah Syukri Zarkasyi (1942-2020) dalam sejumlah pidatonya di Gontor pada era 2002-2003 menyayangkan adanya peristiwa sekelompok mahasiswa perguruan tinggi Islam yang main musik pada waktu shalat Jumat.

Harian Republika pada 2004  memberitakan adanya sekelompok mahasiswa IAIN Bandung yang melecehkan tauhid dengan kalimat yang sangat menghina Allah SWT. Ada juga sekelompok orang yang memelintir kutipan ulama atau mengambilnya setengah-setengah dengan maksud memenuhi syahwat intelektual membenarkan pandangan liberal. Ini merupakan pelecehan dan kemunduran yang sangat memalukan sejarah intelektual Islam.

Belum lagi munculnya beberapa akademisi menyuarakan pluralisme teologis yang berujung pada kesimpulan semua agama adalah sama. Maksudnya adalah sama-sama menuju satu Tuhan, seperti yang disuarakan melalui diskursus teologi global John Hick (1922-2012) dan Wilfred Cantwell Smith (1916-2000), serta filsafat perennial Frithjof Schuon (1907-1998) dan Seyyed Hossein Nasr.

Kajian Islam liberal yang berasal dari Amerika dan Eropa memancing akademisi melakukan riset keislaman dengan pisau bedah Barat. Karya orientalis dan Muslim liberal yang bias terhadap Islam (islamofobik) menjadi bacaan mereka. Ketika meneliti politik Islam, Bernard Lewis (1916-2018) menjadi salah satu rujukan. Ketika meneliti Filsafat Islam, mereka merujuk Madjid Fakhry yang menjelaskan tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Saat membicarakan Islam dan sekularisme, mereka merujuk kepada Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan Nurcholish Madjid (1939-2005) dan The Secular City karangan Harvey Cox .

Ujung kajian Islam Liberal ini adalah upaya menghancurkan tradisi kajian Islam yang menjadi legasi ulama kita sejak ratusan tahun lalu. Kalau boleh saya katakan, ciri khas kajian keislaman di Nusantara adalah masyai, berputar mengelilingi rujukan utama Alquran, hadis, dan ulama otoritatif, seperti halnya jamaah haji berputar mengelilingi Ka’bah, dan para malaikat mengelilingi Baitul Makmur di langit nun jauh di sana. Objek penelitian berupa fenomena keagamaan atau permasalahan umat dikaji dengan merujuk kepada Kalam Ilahi, sunah Rasulullah, dan ijtihad ulama. Tak sekadar itu, bahkan dalam menghasilkan karya, ulama kita juga melakukan riyadhah batiniyah, sehingga menghasilkan pemikiran dan sikap yang jernih berdasarkan hidayah.

Namun tradisi luhur ini hendak diganti dengan kajian keislaman yang bermuara kepada Barat yang sekuler. Barat yang oleh Syed Naquib al-Attas  dalam Risalah untuk Kaum Muslimin dijelaskan mengambil filsafat, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kesenian, dari Yunani (melalui Islam). Hukum, termasuk  perundang-undangan, dan ketatanegaraan, dari Romawi kuno. Agama Kristen dari Asia Barat dicampuradukkan dengan tradisi (pagan) Yunani, Romawi, Mesir, dan Persia, dan kepercayaan orang-orang biadab. 

Tradisi Islam yang luhur, yang dibawa dengan perjuangan ilahiyah oleh Rasulullah 14 abad silam, dinistakan dan dicerabut dari akarnya. Kemudian diganti dengan Islam liberal khas Barat yang jauh gersang dan hambar.

Dukungan finansial untuk pengembangan Islam liberal berdatangan. Pintu masuknya melalui pendanaan yang bersumber dari kaki tangan konglomerat Barat.

Gerakan dan khazanah penyeimbang

Di tengah situasi demikian, Syed Naquib al-Attas (cucu al-Habib al-Qutb Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang Bogor) banyak mengkritik Barat. Dia mengkaji turos Islam legasi ulama Nusantara dan mengkritisi kajian Islam para akademisi (orientalis) Barat. Di antara murid dan koleganya adalah Prof Wan Moh Noor Wan Daud dari Malaysia, Prof Alparslan Acikgence dari Turki, dan banyak cendekiawan Muslim dari berbagai benua. Semuanya berkumpul di International Institute of Islamic Thought and Civilization (Istac) Malaysia.

Inilah persemaian cendekiawan Muslim. Mahasiswa di sana diajarkan berbagai bahasa asing yang menjadi bahasa asal para orientalis. Di antaranya adalah Aram, Prancis, Yunani, Jerman, Prancis, Arab, Persia, dan banyak lagi. Mereka membaca Islam langsung dari sumber asli, seperti membedah al-Kindi (801-873), langsung dari Risalah al-Kindi fil Falsafah al-Ula. Mengkaji Abu Nasr al-Farabi (872-950) langsung dari kitab al-Jam’u Bayna Ra’yay al-Hakimain dan karya lainnya, Ibnu Sina (980-1037) langsung dari karyanya: asy-Syifa, Danish Namai Alai, al-Isyarat wat Tanbihat, ar-Risalah fi Mahiyatil Isyqi, dan lainnya. Juga Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (1058-1111) dari puluhan karyanya, seperti Maqashidul Falasifah, Tahafut, Ihya Ulumiddin, Ma’arijul Quds, Minhajul Abidin, dan puluhan lagi.

Pengantar kajian filsafat Islam adalah dua jilid kumpulan tulisan cendekiawan Muslim dunia suntingan MM Sharif: History of Muslim Philosophy. Dari buku ini, kita mengetahui, bahwa Tahafut al-Ghazali sama sekali bukan penyebab kemunduran intelektual Islam seperti yang disimpulkan para pengkaji Islam. Kritik tajam al-Ghazali justru menjadi pembangkit dinamika keilmuan yang lebih sufistik, sehingga melahirkan tradisi keilmuan tasawuf, yang banyak dimotori Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1078-1166), Ibnu Arabi (1165-1240), dan banyak lagi ulama di berbagai wilayah.

Setelah mengkaji karya ulama, mereka melihat kajian orientalisme yang bias. Terlebih ketika menyangkut Islam. Fobia para orientalis menghasilkan kajian Islam yang tidak proporsional dan tendensius.

Hasil kajian keislaman mahasiswa Istac pada permulaan abad ke-21 itu ditata dan didesain menjadi buletin Islamia yang diterbitkan secara sederhana. Dalam sebuah momentum seminar, saya ingat Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Dr Adian Husaini menceritakan Prof Hamid Fahmy Zarkasyi ketika kuliah doktoral di Istac Malaysia adalah orang yang menyetaples lembaran buletin Islamia, untuk kemudian didistribusikan secara terbatas. Selain Adian, koleganya adalah Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Anis Malik Toha, Ugi Suharto, dan Nirwan Syafrin. Kini semuanya sudah bergelar doktor dan mewarnai dinamika pemikiran Islam dunia.

Ketika sampai di Indonesia, mereka mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists) di Jakarta. Islamia yang semula sebatas buletin berkembang menjadi majalah jurnal. Penataannya lebih bagus. Tulisan ditambahkan ilustrasi gambar. Ini merupakan majalah berisikan karya ilmiah berstandar jurnal yang berpengaruh pada abad ke-21. Tulisan di dalamnya menjadi bacaan penyeimbang, bahkan obat penyembuh (penyakit) Islam liberal yang merusak pemikiran Islam di Nusantara. Kini Islamia rutin diterbitkan di Republika, sehingga cakupan pembacanya menjadi lebih luas ke berbagai kalangan Muslim dan non-Muslim.

Tak berhenti dalam tulisan. Mereka menggelar seminar dan diskusi di seluruh Indonesia, bahkan sejumlah negara. Mereka membedah hermeneutika, alat tafsir injil  yang diagungkan akademisi liberal. Dalam sebuah tulisannya, Prof Hamid memberi catatan, bahwa presuposisi hermeneutika adalah antimetafisika, yang tidak kompatibel, bahkan berbahaya jika digunakan sebagai alat menafsirkan Alquran. Mereka membedah sekularisme yang jauh dari tradisi Islam. Begitu juga pluralisme agama yang menjadi ancaman tauhid dan keimanan masyarakat di Nusantara.

Setelah itu mereka menjelaskan tentang Islam sebagai pandangan hidup. Prof Hamid Fahmy menyusun tulisan khusus tentang hal ini. Apa itu pandangan hidup Islam? Dengan mengutip al-Attas yang merupakan gurunya, Prof Hamid menjelaskan istilah tersebut sebagai ru’yatul Islam lil wujud. Artinya adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran. Pandangan hidup Islam adalah alat utama menganalisis realitas dan kebenaran. 

Islam memiliki pandangan hidup yang khas. Di dalamnya terdapat banyak konsep, seperti agama, realita, kebenaran, manusia, kehidupan, intuisi, dan banyak lagi. Konsep dasar tersebut dijelaskan dalam karya al-Attas yang berisikan kumpulan tulisan pemikiran Islam, berjudul Prolegomena to The Metaphysic of Islam.

Pandangan hidup inilah yang menjadi alat utama membedah berbagai tradisi keilmuan dan kebudayaan peradaban lain. Ketika Abbasiyah (abad ke-8 hingga 13) menggerakkan pusat peradaban Baitul Hikmah, ulama membedah banyak ilmu dan budaya. Ada filsafat Yunani, tata Negara Romawi, ilmu-ilmu dari Persia, dan peradaban sebelumnya. Dengan pandangan hidup, para ulama memilah-milah. 

Ketika mengambil filsafat, mereka membuang konsep dewa dewi dan berbagai mitologi Yunani, menolak konsep keabadian alam, karena yang abadi hanya Allah. Lainnya pasti musnah. Konsep emanasi mereka modifikasi dan disesuaikan dengan tauhid, sehingga jadilah nazhariyatul faydh yang khas. Bahwa Allah dengan segala kekuatannya menciptakan planet-planet, bintang-bintang, dan segala isinya.

Ketika masuk ke Persia dan budaya pagan, mereka membuang ilmu sihir, karena tidak sesuai dengan Islam. Mereka mengambil ilmu berhitung (hisab) yang kemudian dikembangkan menjadi Al-Jabar, Khawarizmi (780-850), kaca dan teori optik, yang kemudian dikaji dan disebarluaskan oleh Al-Biruni (973-1048).

Ada juga ilmu fisiognomi atau firasah, yang diteliti oleh Fakhruddin Razi (1149-1210) dalam bukunya Ilmul Firasah. Tata Negara atau pembahasan tentang masyarakat madani, seperti karya al-Farabi Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah, dan logika (mantiq) yang dibahas hampir semua ulama pegiat filsafat.

Peradaban Barat pun demikian. Dengan kekhasan teologi dan berbagai konsep-konsep di dalamnya, Barat, mengambil filsafat Yunani melalui Islam. Juga ilmu-ilmu dari peradaban lain melalui Islam. Mereka membuang syair-syair bernuansa tauhid para sufi, dan menggantinya dengan syair cinta lelaki dan wanita seperti yang dilakukan penyair Dante Alighieri (abad ke-14). 

Mereka merombak pembahasan tentang falsafah ketuhanan dalam Islam, dan menggantinya dengan teologi Kristen. Kemudian saking rumitnya pembahasan teologi, mereka menyerang agama dan membangun modernisme dengan rasionalisme Descartes dan berbagai tradisi filsafat Barat modern abad ke-15.

Jadi masing-masing peradaban mempunyai kekhasannya sendiri. Islam mempunyai tauhid sebagai kekhasannya, yang menyinari berbagai konsep – konsep, yang terkumpul dan tertata dengan apik (arsitektonik dalam bahasa Alparslan). Barat pun demikian. Ada sistematika konsep-konsepnya yang berbeda dengan Islam. 

Dan kini, sebagaimana dijelaskan Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization (2002), Barat berbenturan dengan Islam. Sebab Islam dianggap sebagai kekuatan yang mengancam keberlangsungan Barat. Kesimpulan ini semakin kuat setelah Turki Usmani hancur dan bubar pada abad ke-20. Sedangkan kekuatan Barat tampil sebagai pemenang perang dunia pada September 1945. Kemudian memanfaatkan kekuatan Islam menghadapi komunisme, seperti di Afganistan dan negara Timur Tengah lainnya pada 1967, tapi gagal menancapkan kakinya di Iran lewat rezim Shah Iran, sehingga meletuslah revolusi Iran 1978. 

Dari kegagalan itu Barat memandang Islam sebagai ancaman sehingga membuat istilah baru, seperti Islam radikal yang dianggap berbahaya. Istilah ini digunakan untuk memojokkan kekuatan Islam yang anti-Barat dan berseberangan dengan Barat secara politik. Sebagai tandingan Islam radikal, Barat menciptakan Islam liberal sebagai gaya beragama yang sekuler dan ‘bebas’.

Kembali ke gerakan Prof Hamid Fahmy dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Insists. Dari satu forum, mereka beralih ke forum lainnya. Amal strategis mereka mengembalikan proporsionalitas kajian Islam disambut kalangan Nahdlatul Ulama. Para kiai mengundang mereka untuk diskusi di berbagai pesantren, universitas, dan ormas. Muhammadiyah dan ormas lainnya juga ikut menyambut mereka. Dari sinilah vaksin anti-Islam liberal berkembang dan tumbuh menjadi imunitas keimanan masyarakat Indonesia.

Dari tahun 2000-an hingga detik ini (2021), Prof Hamid dan kawan-kawannya terus menggemakan upaya melawan Islam liberal. Berbagai tulisan renyah hasil riyadhah-nya yang biasa tampil di rubrik Epilog Islamia, dikumpulkan dalam buku Misykat.

Misykat bermakna ceruk. Diksi ini digunakan al-Ghazali sebagai judul kitabnya: Misykatul Anwar (ceruk cahaya). Merujuk kepada ayat Allahu nurus samawati wal ardhi (an-Nur ayat 35) Hujjatul Islam menjelaskan bahwa Allah adalah cahaya yang menerangi langit dan bumi. Sinarnya menerangi segala yang ada di alam, menerobos segala ceruk yang ada, sehingga semuanya menjadi terang dan tak luput dari cahaya Allah.

Terkait dengan Misykat karangan Prof Hamid Fahmy, saya melihat ini adalah refleksi pemikiran yang menginspirasi banyak orang dari berbagai kalangan. Melalui Misykat, beliau menggugah kesadaran intelektual jutaan orang untuk memahami Barat secara kritis. Ada tulisan tentang bagaimana orang Barat begitu mendiskreditkan Tuhan dalam kehidupan. Tuhan menjadi bahan guyonan, cemoohan, bahkan hinaan. Makna Tuhan menjadi kabur, seperti yang dijelaskan seorang akademisi Peter Abelard (Petrus Abelardus/1079-1142) . Begitu potongan dalam Misykat.

Pembahasan lain yang menarik adalah tentang desakralisasi segala sesuatu. Maksudnya adalah menjadikan realitas apa pun dapat dikomentari, dijelaskan, atau bahkan dilecehkan. Ada desakralisasi politik, bahwa politik harus terpisah dari agama. Ada desakralisasi ilmu. Jangan membawa Tuhan dalam ilmu, karena (alasan Barat) ilmu adalah murni karya manusia. Ada pula desakralisasi kitab suci, termasuk di dalamnya Alquran. Melalui proses ini, orang bebas menafsirkan Alquran. Syarat menjadi penafsir (mufassir), yang harus menguasai Bahasa Arab, hafal Alquran, khatam kitab tafsir mu’tabar, dan lainnya, dimentahkan. Bagi orang liberal, siapa saja boleh menafsirkan Alquran, otoritas keilmuan tak lagi mereka akui. Subjektifitas dan kesewenang-wenangan melakukan tafsir menjadi kebiasaan mereka.

Desakralisasi dijalankan dengan menanamkan keraguan (rayb), membuat Muslim bertanya tentang tafsir dan pemaknaan yang sudah ada. Kemudian mereka dipancing untuk mengkritisi dan melahirkan pemaknaan baru yang tidak merujuk kepada pandangan ulama otoritatif. Dari situ mereka mendapatkan pemahaman yang tidak jelas. 

Saat buku ini diluncurkan pertama kali dalam Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan pada 2012, saya berkesempatan mengomentari buku ini. Ketika itu Indonesia sedang ramai dengan isu politik menjatuhkan politisi Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Anas kemudian berkelakar terkait kasus yang dialaminya, “Ini halaman satu dari sebuah buku.”

Saya menilai buku Misykat adalah karya awal pemikiran Islam. Singkat kata, ini adalah kumpulan tulisan yang enak dibaca sambil ditemani secangkir kopi dan makanan ringan. Mengikuti gaya Anas, saya katakan bahwa Misykat baru sebatas halaman pertama dari buku berseri tentang pemikiran Islam yang sangat dalam.

Ternyata benar saja. Setelah itu, terbitlah Minhaj: Ber-Islam dari Ritual hingga IntelektualMinhaj berarti pedoman. Mirip dengan judul buku terakhir al-Ghazali: Minhajul Abidin (pedoman hamba). Setelah memahami Barat dan segala permasalahannya, Minhaj mengarahkan pembacanya untuk ber-Islam yang sebenarnya. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang makna Islam, iman, takwa, ihsan, dan bagaimana menjalankannya dalam aktivitas ritual dan intelektual sehari-hari.

Karya monumental beliau adalah desertasinya  yang dibukukan tentang Kausalitas al-Ghazali. Ini merupakan penelitian yang komprehensif tentang filsafat ilmu dalam Islam. Di dalam karya ini terdapat pembahasan mengenai kausalitas yang tidak niscaya. Beliau mencontohkan Nabi Ibrahim alaihis salam tidak terbakar di atas api yang dinyalakan Raja Namrudz pada 2000-an tahun sebelum masehi. “Karena di sini ada intevensi Tuhan,” kata Prof Hamid dalam sebuah diskusi ringan, semasa saya kuliah di ISID (Institut Studi Islam Darussalam/sekarang Unida).

Unida Gontor dan poros keilmuan Islam

Selain melalui karya tulis dan berbagai seminar, pandangan hidup Islam serta gerakan islamisasi ilmu pengetahuan kini digerakkan berbagai lembaga pendidikan. Universitas Darussalam (Unida) Gontor merupakan poros pengembangan hal ini. Di sinilah keilmuan Islam dikaji dan direalisasikan dalam kehidupan.

Jika merujuk kepada tradisi keilmuan yang dilakukan Syed Naquib al-Attas dan Prof Hamid Fahmy, ada beberapa hal yang dilakukan terkait kajian keislaman. 

Pertama adalah mengkaji turos: kitab klasik atau manuskrip legasi ulama kita. Syed Naquib al-Attas mengkaji Kitab Aqaid Abu Hafs Umar an-Nasafi dalam penelitiannya berjudul The Oldest Known Malay Manuscript. Ini adalah kitab akidah ahlus sunnah wal jamaah yang tertua di Nusantara. 

Salah satu ungkapan menarik dalam kitab ini adalah, haqaiqul asyya tsabitah, wal ilmu biha mutahaqqiqah, khilafan lis sufasthaiyah. Artinya, bahwa hakikat itu adalah tetap, ilmu tentangnya itu adalah benar, tidak seperti pandangan kaum sofis. Maksudnya, hakikat atau intisari segala hal adalah permanen (tsabitah). Setiap orang dapat memahami dan merasakannya. Karena permanen, maka hakikat itu tidak berubah. Yang berubah adalah sifatnya, atau ‘arad, lawahiq atau lawazin.

Kaum sofis adalah mereka yang berpendapat hakikat itu tidak permanen. Ada yang mengeklaim kebenaran tidak dapat dicapai manusia. Mereka meragukan segala hal. Bahkan dirinya sendiri pun diragukan (alla adriyah). Mereka menolak pengetahuan. Disebut juga agnostik. Berikutnya adalah mereka yang menggemakan kebenaran adalah relatif, sesuai masing-masing individu (al-‘indiyah). Misalkan, kebenaran itu adalah menurut ‘saya’ atau menurut pendapat saya. Terakhir adalah mereka yang menolak pengetahuan objektif. Bahwa pengetahuan itu subjektif. Kebenaran tentang segala hal hanyalah pendapat seseorang. Mereka ini subjektivistik. 

Kitab lain yang dikaji al-Attas adalah karangan ulama abad ke-17: Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fanshuri. Dari karya inilah al-Attas kemudian menemukan pandangan tentang pandangan hidup Islam (ru’yatul Islam lil wujud).

Prof Hamid pun mengkaji turos. Selain membedah kitab Aqaid, beliau mengkaji puluhan kitab Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, yang menjadi referensi utama desertasinya. 

Kajian turos saat ini harus dilakukan dengan menjelaskan sejarah kitab tersebut, konteksnya, dan siapa pengarangnya dalam bab tersendiri. Kemudian bab lainnya menjelaskan isi kitab dan terjemahan isi kitab.

Kedua, setelah mengkaji turos, barulah mengkaji pemikiran masa kini, termasuk di dalamnya keilmuan Barat dan peradaban lain. Modal kajian turos menjadi bekal untuk memilah elemen yang sesuai dengan Islam dan tidak. Kajian kritis ini akan berlanjut pada islamisasi ilmu.

Modal kajian turos juga akan menjadi dasar pisau analisis membedah perkembangan liberalisme dan sekularisme. Barat akan terus menggelorakan paham ini dan memaksakannya masuk ke dalam Islam. Sebab dengan dua alat inilah, mereka akan menjadikan Islam sama seperti Barat dan nantinya tidak ada lagi kekuatan intelektual yang menjadi tandingannya. 

Ketiga adalah membangun lembaga yang menggemakan islamisasi ilmu. Tidak harus perguruan tinggi, sekadar pengajian atau majelis taklim juga diperlukan. Dari sinilah nantinya masyarakat mendalami kajian Islam dan memiliki pemahaman keislaman yang tidak tercerabut dari akarnya.

Keempat, membangun jaringan intelektual pemikiran Islam. Di dalamnya melibatkan ilmuwan, pengusaha, politisi, negarawan, dan masyarakat luas. Semuanya memiliki pandangan sama untuk membangun masyarakat dengan pondasi akidah Islam. Paham keislaman yang sesuai tradisi harus diperkuat dan mewarnai peraturan perundang-undangan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintah.

Kelima, mengemas pandangan hidup Islam dan islamisasi ilmu dalam konten kreatif. Media sosial dan media arus utama menjadi wadah untuk menyebarluaskan narasi tersebut. Bisa berbentuk video podcast, resensi buku, kajian keislaman, dan lain sebagainya. Konten digital ini nantinya akan dikonsumsi generasi muda yang kini berusia belasan tahun, sehingga mereka cinta Islam dan imun dari serangan liberalisme dan sekularisme.

Pengusaha harus memahami islamisasi ilmu dan mendukung jalannya proses ini, di antaranya dengan menjalankan usaha ekonomi yang berdasarkan Islam. Mereka mengimani Allah, menjaga kelestarian alam, memberdayakan masyarakat sekitar, dan membangun ekonomi nasional. Pengusaha semacam ini jauh dari riba, tamak, dan segala sifat tercela. Kemudian menerapkan prinsip keadilan dalam kegiatan ekonominya: adil kepada manusia dan lingkungan sekitarnya. 

Output dari jaringan ini adalah riset, dakwah, dan karya otoritatif yang mengkaji keislaman dan menggerakkan khalayak membangun negeri. Masyarakat luas nantinya membaca karya tersebut. Berbagai pihak nantinya memiliki pandangan hidup Islam dan mampu memilah mana yang islami dan tidak, mana yang sekuler dan tidak, mana yang liberal dan tidak. 

Ketika orang liberal masuk dalam pemerintahan, mereka akan menyisipkan paham liberal dalam kebijakan. Islam yang berasal dari Arab kemudian mereka kemas menjadi Islam anti-Arab. Kemudian membangun narasi sendiri yang diklaim sebagai kekhasan. Tapi sejatinya adalah eksklusif, karena Islam menjadi sebatas kawasan. Sempit.

Pada masa yang akan datang, harus ada politisi yang melihat, bergerak, dan mengabdi untuk negara, dengan pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran, yang memperbaiki kehidupan masyarakat menjadi cinta lmu, berakhlak, dan sejahtera, dan mendukung kebijakan yang pro umat Islam.

Kita berkewajiban meneruskan amal strategis ini: mengkaji turos, mewaspadai liberalisme dan sekularisme, membangun lembaga, dan memperkuat jaringan intelektual. 

Prof Hamid kini menjadi Rektor Unida bersama Dr Hafidz Zaid, Dr Setiawan Lahore, dan Dr Khairul Umam. Lembaga pendidikan ini merupakan bagian dari Pondok Modern Darussalam Gontor, yang dipimpin oleh KH Hasan Abdullah Sahal, Prof Dr KH Amal Fathullah Zarkasyi, dan KH Akrim Mariyat.

Dari sinilah ribuan kader umat menggemakan pandangan hidup Islam, islamisasi ilmu, dan bahaya Islam liberal. Selesai menjalani pendidikan di Unida, mereka kembali ke daerah asalnya. Ada yang dari Indonesia. Ada pula yang dari negara tetangga, bahkan Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Mereka membawa pesan penting Prof Hamid Fahmy, “la takun libraliyan, alias jangan jadi orang liberal,” dan dengan segala upaya, melestarikan pandangan hidup Islam. Mereka menjadi teladan dalam ber-Islam: muslim yang tidak terbaratkan: Muslim yang rahmatan lil alamin.

Pesan Pak Sahal dan Pak Zar

Pada tahun 2021 negara mengukuhkan beliau sebagai guru besar Filsafat Islam. Banyak pihak mengucapkan selamat. 

Saya teringat pesan pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor KH Ahmad Sahal (1901-1977): pak de Prof Hamid dan KH Imam Zarkasyi (1910-1985): ayah beliau.

Waktu duduk di kelas enam KMI Gontor, Prof Hamid datang dengan dorongan sendiri menjenguk dan sungkem ke Pak Sahal. Masuk ke dalam rumah samping Masjid Jami’, Pak Sahal terbaring. Pak Zar duduk di sebelahnya. Ketika melihat Hamid datang, Pak Zar memberitahukan masnya, “Pak Sahal, ini Hamid anakku.” 

Pak Sahal kemudian mengulurkan tangannya. Prof Hamid yang kala itu masih muda belum berbicara apa-apa, hanya diam melihat pak de terbaring. Ketika itu Pak Sahal berbicara layaknya orang sehat, “Kowe kudu iso dadi imam, kudu iso dadi imam, yo alim, shaleh, alim shaleh.” Setelah itu putera kesembilan Pak Zar ini keluar ruangan dan masuk kelas.

Pesan kedua adalah dari Pak Zar yang juga disampaikan pada masa akhir hayatnya. Ketika itu Hamid sudah sarjana dan hendak melanjutkan studi master di Pakistan. Setelah mentari terbenam bakda maghrib, Pak Zar memanggil puteranya itu duduk saling berhadapan. Biasanya kalau Pak Zar memanggil anak atau santrinya setelah Maghrib, beliau akan memberikan tugas terkait Pondok. Tapi kali ini tidak. Sang ayah menyampaikan pesan khusus kepada anaknya yang hendak belajar ke Pakistan.

“Dengarkan! Kamu masih muda, kamu harus melanjutkan belajarmu sampai doktor, tapi saya tidak mau kamu (jadi) doktor yang tidak shalat. Ingat ini baik-baik.”

Saya melihat nasihat dua pendiri Gontor ini adalah doa untuk Prof Hamid. Doa Pak Sahal tadi, kini dikabulkan Allah. Prof Hamid menjadi orang alim sekaligus shaleh yang menguasai tradisi Filsafat Islam dan shalih baik secara ritual maupun intelektual. Juga menjadi imam yang mengajak masyarakat luas melawan liberalisme dan sekularisme dan kembali ber-Islam yang benar.

Doa Pak Zar juga dikabulkan Allah, bahkan melebihi harapan beliau. Tak sebatas doktor, Prof Hamid kini menjadi profesor yang membanggakan dunia Islam. Alhamdulillah. Sehat dan berkah selalu untuk guruku, Prof Hamid Fahmy Zarkasyi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat