Nasabah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, Senin (14/2/2022). | ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Tajuk

Komunikasi Beleid yang Meresahkan

Kita mendesak pemerintah menjelaskan soal JHT ini.

Apa yang bisa membuat seratus juta lebih pekerja resah? Banyak hal. Tapi, persoalan penghasilan pastilah jadi yang utama. Inilah yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada akhir pekan lalu, saat merilis aturan baru perihal Jaminan Hari Tua (JHT).

Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT membuat kening para pekerja berkerut. “Kok begitu?” kira-kira pikir mereka.

Dalam lingkup jaminan sosial pekerja, sebenarnya pemerintah memiliki beragam paket jaminan sosial. Dua yang disoroti sepanjang akhir pekan lalu adalah JHT ini dan Jaminan Pensiun. Selain itu, masih ada Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Badan yang mengelola program jaminan itu adalah Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Semua uang iuran dari seluruh pekerja yang dibayarkan pengusaha, akan ditampung di BPJS Ketenagakerjaan. Pada akhir 2021, total dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai Rp 540 triliun.

Sebelum permenaker ini terbit, aturan lama mengatur bahwa pekerja yang mengundurkan diri atau dipecat diperbolehkan mencairkan sejumlah persentase dari JHT-nya saat bekerja di perusahaan itu. Ini kemudian digunakan untuk menyambung hidup, sampai dengan mendapat pekerjaan baru lagi, atau kemudian untuk modal berwirausaha.

Nah, beleid ini menutup pintu peluang pencairan tersebut. JHT hanya bisa dicairkan dengan sejumlah syarat, yakni berusia 56 tahun (usia pensiun), cacat, atau meninggal dunia.

 
Dalam lingkup jaminan sosial pekerja, sebenarnya pemerintah memiliki beragam paket jaminan sosial.
 
 

Pemerintah berdalih, JHT dan Jaminan Pensiun harus sesuai peruntukannya, yakni benar-benar saat hari tua dan ketika pensiun. Tidak lagi bisa digunakan tanpa konteks term tersebut.

Bagaimana bila kehilangan pekerjaan? Pemerintah sebenarnya memiliki program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang intinya berfungsi memberikan jaring pengaman para pekerja, dan ‘mengambil alih’ tugas dari pencairan JHT tersebut. Tentu dengan syarat tertentu pula.

Model komunikasi beleid baru soal JHT oleh Menakertrans Ida Fauziah harusnya bisa lebih baik, memberi angin segar ke pekerja soal JKP. Malah mungkin dari sisi komunikasi publik ataupun momentum, program JKP-lah yang harusnya diangkat lebih banyak.

Kita tahu, sejak awal pagebluk Covid-19 menerjang 2020, pemerintah merilis berbagai bentuk bantuan bagi para pekerja. Mulai dari bantuan tunai, bantuan wirausaha, hingga bantuan meningkatkan keahlian dan keterampilan. Anggaran yang dikucurkan untuk berbagai bantuan ini jumlahnya triliunan rupiah.

Namun, akhir pekan kemarin itu semua seolah lenyap ditelan isu Permenaker JHT. Kelompok buruh jelas menentang aturan baru ini. Penolakan mereka bisa dimengerti. Mengapa pemerintah memilih waktu sekarang ini untuk merilis aturan tersebut?

Argumen ini sejatinya memperlihatkan sikap buruh yang bisa saja mendukung beleid itu, asal diterbitkan pada saat ekonomi benar-benar pulih. Atau dikomunikasikan dengan baik seperti di atas, dengan mengedepankan JKP. Bukan komunikasi asal-asalan. Kemasan komunikasi publik kebijakan dari Kemenaker ini amat perlu diperbaiki.

 
Kita mendesak pemerintah menjelaskan soal JHT ini. 
 
 

Kita mendesak pemerintah menjelaskan soal JHT ini. Manfaatnya kita sudah tahu. Tapi, sepenting itukah harus dilakukan di awal serangan omikron? Mengapa pemerintah harus melakukannya sekarang? Tidak adakah waktu lain yang lebih tepat? Apa untungnya bagi pemerintah memicu pro kontra dan simpang siur dari program yang sebetulnya amat bermanfaat?

Tidak heran kemudian, di media sosial muncul narasi bahwa pemerintah menahan uang pekerja karena kas pemerintah bermasalah, sehingga perlu diputar terlebih dulu. Kemudian, kita meminta pemerintah menunda aturan baru JHT ini. Bukan tidak setuju, melainkan ditunda hingga perekonomian pulih. Caranya dengan membatalkan permenaker tersebut!

Tentu ini bukan satu-satunya kabar yang bikin pekerja resah pada awal tahun. Kita masih dalam titik kritis Covid-19 varian omikron. Kita masih mengalami langkanya minyak goreng di pasar tradisional dan ritel. Sudah langka, harganya melonjak.

Kita juga baru mendengar harga kedelai impor naik, yang berdampak pada produksi tempe dan tahu. Begitu juga, harga gula yang merangkak naik. Kemudian ada kabar dari Pertamina yang menaikkan BBM nonsubsidi. Pemerintah seharusnya hadir bagi rakyatnya, bukan untuk meresahkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat