Pekerja yang mendapatkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari program Jaminan Hari Tua (JHT) menyelesaikan proses administrasi saat proses akad kredit massal di Serpong, Tangerang, Selasa (30/11/2021). (ilustrasi) | Tahta Aidilla/Republika

Kabar Utama

Aturan Baru JHT Meresahkan Pekerja

Pemerintah diminta membuka diskusi dengan pekerja terkait polemik aturan baru pencairan dana JHT.

JAKARTA – Aturan baru tentang syarat pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menuai polemik di kalangan pekerja dan buruh. Mereka resah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang menetapkan pencairan dana JHT baru bisa dilakukan penerima manfaat ketika berusia 56 tahun.

Hingga Ahad (13/2), lebih dari 287 ribu orang telah menandatangani petisi daring yang menuntut Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT tersebut dibatalkan. Ketentuan terbaru itu dinilai merugikan. Sebab, buruh yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) baru bisa mengambil dana JHT-nya saat berusia 56 tahun sebagaimana tertulis dalam Pasal 5.

“Padahal kita sebagai pekerja sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha setelah di-PHK. Di aturan sebelumnya pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah satu bulan resmi tidak bekerja,” tulis narasi dalam petisi tersebut.

JHT merupakan salah satu program dari BPJS Ketenagakerjaan. Selain JHT, ada beberapa program perlindungan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Pensiun. Secara filosofis ada perbedaan mendasar antara JHT dan Jaminan Pensiun.

photo
Direktur Pengembangan Investasi BPJamsostek, Edwin Ridwan (kedua kanan), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (kedua kiri), dan Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo (kiri) meninjau peserta akad massal kredit rumah pekerja Manfaat Layanan Tambahan (MLT) program Jaminan Hari Tua, di Tangerang, Banten, Selasa (30/11/2021). - (Tahta Aidilla/Republika)

Manfaat JHT berupa uang tunai yang besarnya merupakan akumulasi seluruh iuran yang telah dibayarkan dan ditambah dengan hasil pengembangannya. Uang tunai dari manfaat JHT dapat dibayarkan sekaligus dan sebagian. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), JHT diselenggarakan untuk menjamin peserta menerima uang tunai jika memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Di Permenaker 19/2015, pencairan dana JHT boleh dilakukan peserta saat di-PHK atau mengundurkan diri dari pekerjaan. Permenaker itu kemudian diganti dengan Permenaker 2/2022 yang saat ini menuai polemik karena menyebut JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun.

Sementara itu, Jaminan Pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Manfaat Jaminan Pensiun yakni berupa uang tunai yang dibayarkan setiap bulan dan atau sekaligus apabila peserta memasuki usia pensiun, cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Permenaker 2/2022. Presiden KSPI Said Iqbal menilai kebijakan itu menindas buruh dan tidak memperhatikan kondisi di tengah pandemi saat ini.

Said menganggap Menaker tidak memperhatikan soal PHK yang terus terjadi. Apalagi, ketika ter-PHK, kata dia, andalan para buruh adalah tabungan buruh itu sendiri, yakni JHT.

“JHT adalah pertahanan terakhir buruh, pekerja, karyawan, yang mereka ter-PHK akibat pandemi Covid-19 yang sampai hari ini meningkat kembali. PHK itu juga masih tinggi angkanya. Kemudian JHT-nya tidak bisa diambil karena harus menunggu usia pensiun 56 tahun, terus makan apa buruhnya?” ujar dia.

Said mempertanyakan alasan permenaker itu diputuskan di tengah kondisi pandemi yang meningkat dan PHK yang masih terus terjadi. Padahal, harapan buruh ketika ter-PHK adalah dalam bentuk JHT yang sejatinya tabungan para buruh.

“Apa urgensi dikeluarkannya Permenaker 2 Tahun 2022 di tengah kondisi saat ini? Apa jangan-jangan anggaran negara sudah habis, mau ngambil dana dari rakyat dengan hanya bisa diambil di usia 56 tahun untuk JHT,” kata dia.

Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap menjelaskan, manfaat JHT itu berasal dari akumulasi iuran wajib peserta BPJS Ketenagakerjaan setiap bulannya dan ditambah hasil pengembangan. Program JHT, kata dia, merupakan perlindungan untuk jangka panjang.

Karena itu, ujar Chairul, JHT baru bisa dicairkan pada saat pekerja berusia 56 tahun. Jika dananya diambil sebelum masa pensiun, tentu dananya akan terus berkurang. Alhasil, jumlah dana yang diterima saat pensiun menjadi kecil.

“Skema ini untuk memberikan perlindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu maka tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai,” ujar dia.

photo
Petugas BPJS Ketenagakerjaan melayani warga di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Menara Jamsostek, Jakarta, Senin (6/9/2021). - (Prayogi/Republika.)

Chairul melanjutkan, meskipun tujuan JHT untuk perlindungan hari tua, dananya dapat dicairkan sebelum masa pensiun dengan sejumlah ketentuan. Pertama, pekerja yang masa kepesertaannya minimal 10 tahun dapat mencairkan dana manfaat JHT-nya sebesar 30 persen untuk membeli rumah.

Kedua, pekerja yang masa kepesertaannya minimal 10 tahun dapat mencairkan dana manfaat JHT-nya sebesar 10 persen untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari ikut memaparkan, Permenaker 2/2022 dibuat karena ada program baru bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). JHT, kata dia, pada dasarnya bertujuan untuk menjamin masa tua para pekerja.

Keluhan pekerja yang tak bisa lagi mencairkan JHT-nya ketika menjadi korban PHK diklaim bisa diatasi dengan adanya program baru, yaitu JKP. “Dulu JKP tidak ada, maka wajar jika dulu teman-teman yang ter-PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ujar Dita.

Dita mengatakan, manfaat program JKP itu berupa uang tunai, pelatihan kerja gratis, dan akses lowongan kerja. Di sisi lain, korban PHK tentu akan menerima pesangon dari pihak perusahaan. Keberadaan JKP dan pesangon itulah, kata Dita, yang jadi pertimbangan Kemenaker menunda pencairan JHT hingga usia 56 tahun.

Menanggapi pernyataan soal JKP, Said Iqbal mengatakan, tidak semua buruh akan mendapatkan JKP karena belum ada peraturan pemerintah dan keputusan menteri mengenai hal itu sehingga aturan tersebut belum bisa berjalan. Artinya, JKP saat ini tidak bisa direalisasikan dan belum jelas dasar hukumnya serta mekanismenya.

photo
Petugas BPJS Ketenagakerjaan melayani warga di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Menara Jamsostek, Jakarta, Senin (6/9/2021). - (Prayogi/Republika.)

Buka Ruang Diskusi

Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, meminta pemerintah membuka ruang diskusi dengan para pekerja terkait polemik aturan baru pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Polemik yang terjadi di publik terkait JHT saat ini dinilai karena minimnya pemerintah dalam melibatkan para pemangku kepentingan sebelum membuat kebijakan.

“Ini harus ada jalan tengah atau solusi. Pemerintah harus mendiskusikan dengan pekerja. Lalu, ada opsi pencairan kalau berhenti kerja, meninggal dunia, kalau di-PHK, kalau sudah tidak bekerja di tempat pekerja itu, tentu uang itu tidak harus menunggu 56 tahun. Itu kan hak milik pekerja,” kata dia saat dihubungi Republika, Sabtu (12/2).

Menurut dia, JHT memang tidak bisa diambil setiap saat karena tujuannya menjamin kesejahteraan pekerja pada hari tua. Tetapi, Handoyo menilai, pekerja seharusnya memiliki kesempatan untuk mencairkan JHT sebelum usia 56 tahun jika ia sudah tidak bekerja lagi. “Itu hak mereka, para pekerja harus dimudahkan, jangan dipersulit,” kata dia.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan, sebenarnya program JHT bagus karena negara menjamin warganya yang bekerja walaupun mengundurkan diri, dipecat, bekerja sampai pensiun, kecelakaan, atau meninggal. Namun, terkait aturan baru, Tauhid menyoroti dua hal.

Pertama, sekitar 50 persen pekerja yang mencairkan JHT adalah mereka yang mengundurkan diri. Mereka mengeklaim, dana JHT digunakan untuk memenuhi kebutuhan karena sebagian besar dari mereka merupakan kelompok penghasilan menengah ke bawah.

“Kendala lain adalah uang pesangon atau kompensasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Itu yang menjadi masalah sehingga banyak buruh yang protes karena mereka butuh hari ini dan sumbernya hanya dari JHT. Meskipun sudah ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) itu dirasakan kurang,” kata Tauhid.

Di sisi lain, Tauhid menyoroti kerugian BPJS Ketenagakerjaan yang sangat besar senilai Rp 31 triliun, sehingga untuk menutupi atau meningkatkan pendapatan termasuk mengurangi kerugian harus mempunyai modal tinggi. “Itu cut loss Rp 31 triliun, besar sekali karena persoalan tata kelola investasinya. Sebagian besar itu berada pada investasi saham yang saat pandemi rontok,” ujarnya. 

Masalah tersebut harus diperbaiki dengan pengelolaaan BPJS yang menambal cut loss, seperti secara profesional dikembalikan atau paling tidak nilainya sama saat sebelum terjadi cut loss.

"Menurut saya, masalahnya di satu sisi secara substansi, JHT didapatkan ketika memang sudah mendekati pensiun, tetapi ada yang kurang, bagaimana kompensasi, JKP itu yang diberikan perusahaan cukup untuk kebutuhan dia. Selain itu, penting juga bertanggung jawab terhadap kehilangan pengelolaan BPJS sebesar Rp 31 triliun tetap harus dilakukan,” ujar dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat