Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Runtuhnya Kesombongan Orang Belanda di Hindia Belanda

Pada akhirnya kesombongan orang Belanda di Hindia-Belanda runtuh.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Hingga menjelang kebangkrutan VOC, penguasa Hindia Belanda adalah sekelompok kecil orang Belanda kelas atas yang dikenal tinggi hati. Mereka tak pernah terlihat berjalan-jalan di Batavia, hanya karena tak mau kehidupan mereka turun derajatnya.

Sekretaris Departemen Angkatan Laut Inggris Sir John Barrow pada 1792 mencatat, hanya orang Inggris dengan anjingnya yang berjalan-jalan di jalanan Batavia. Seabad kemudian, kesombongan orang Belanda itu masih ada.

Pada 1899, pengelana dari Amerika Eliza Ruhamah Scidmore mencatat, betapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda lebih senang menghabiskan waktunya di Istana Bogor. Dengan gaji 100 ribu dolar yang besarannya dua kali lipat lebih tinggi dari gaji Presiden Amerika Serikat dan tunjangan hiburan 60 ribu dolar per tahun, gubernur jenderal itu baru akan ada di istananya di Batavia jika ada acara kenegaraan.

Mungkin karena Belanda dikenal sebagai bangsa yang paling beradab di Eropa --setingkat dengan bangsa Skandinavia— yang membuat mereka selalu tinggi hati ketika ada di Hindia Belanda.

Scidmore mencatat, kelakuan buruk mereka di Hindia Belanda 10 kali lipat lebih tinggi daripada kelakukan orang-orang Belanda di negerinya sendiri. Orang Belanda yang tinggal di Jawa disebut Scidmore berpikiran sempit, kolot, dan licik.

 
Kalaupun ada kasus orang Belanda pergi berjalan-jalan di Batavia, mereka membawa pengiring banyak dari kalangan pribumi.
 
 

Kalaupun ada kasus orang Belanda pergi berjalan-jalan di Batavia, mereka membawa pengiring banyak dari kalangan pribumi. Orang Belandanya mengenakan jas beludru. Mereka benar-benar harus bisa menampakkan penampilan yang mengesankan.

Lantas mereka menempatkan orang Indonesia sebagai bangsa yang rendah derajatnya, rendah peradabannya. Intinya tak setara dengan Belanda, sehingga orang Indonesia saat itu untuk urusan bahasa pun tak diperbolehkan mengenal bahasa Belanda.

RA Kartini memiliki cerita soal bahasa ini. Di masa Kartini hidup, bangsawan Jawa yang belajar bahasa Melayu lebih menguasai bahasa Melayu tinggi selain menguasai bahasa Belanda. Namun, orang Belanda tak mau berbicara menggunakan bahasa Belanda, tetapi dengan bahasa Melayu pasar.

Ada seorang Raden Ayu yang menolak diajak berbicara dengan bahasa Melayu pasar, karena ia tak menguasainya. Sementara itu, orang Belanda itu tak menguasai bahasa Melayu tinggi. Ketika Raden Ayu itu meminta berkomunikasi dalam bahasa Belanda, orang Belanda itu menolaknya.

Tirto Adi Soerjo pernah mengalami hal serupa. Ia merupakan lulusan terbaik Hoogere Burgerschool (HBS) se-Jawa. Hanya gara-gara berbicara dalam bahasa Belanda dengan pejabat Belanda, ia diasingkan ke pedalaman. Ia menjadi juru tulis di perkebunan. Atasannya, orang Belada temannya di HBS yang kecerdasannya di bawah kecerdasan Tirto.

Ia juga tak bisa menggunakan bahasa Belanda, tetapi harus dengan bahasa Jawa tinggi, sedangkan atasannya menggunakan bahasa Melayu kasar kepadanya. Ia pun kemudian mengajukan keberatan kepada Gubernur Jenderal di Batavia atas penghinaan kepada dirinya itu.

Setelah Belanda menjalankan politik etis, orang-orang Indonesia bisa berbicara dalam bahasa Belanda dengan orang-orang Belanda. Namun, perlakuan yang merendahkan masih dialami orang Indonesia.

 
Sukarno pernah mengalami di masa remajanya. Ia tak bisa masuk ke kolam renang.
 
 

Sukarno pernah mengalami di masa remajanya. Ia tak bisa masuk ke kolam renang karena di area kolam renang --seperti yang ia ceritakan kepada Cindy Adams-- diberi pengumuman: Terlarang bagi anjing dan bumiputra. Anjing didahulukan penyebutannya.

Orang Jawa yang dikenal sebagai orang Timur yang berperasan halus, lembut, selain orang Jepang, mendadak tak ada harganya di mata orang-orang Belanda yang tinggal di Jawa itu. Residen mengeklaim diri sebagai kakak dari sultan-sultan di Jawa, yang selalu memberi nasihat. Menghadapi perilaku orang Belanda seperti itu, orang Indonesia yang sudah terpelajar memanfaatkannya untuk meloloskan keinginan-keinginan untuk mencapai Indonesia merdeka.

Dokter Wahidin Soedirohoesodo, misalnya, pada pertengahan 1907 harus rela menghadap Asisten Residen, berdiri dan berdiam diri sampai Asisten Residen menegurnya terlebih dulu. Ini gara-garanya, dr Wahidin sedang ke suatu daerah untuk bertemu dengan bangsawan-bangsawan di daerah itu.

Tujuannya adalah menggalang dana untuk biaya sekolah kaum pribumi. Begitu tiba di daerah itu, demikian cerita dr Soetomo, Wahidin mendapat kabar para bangsawan tak ada yang berani menghadiri pertemuan. Usut punya usut, ternyata mereka dilarang oleh Asisten Residen.

Maka, untuk mengatasi kendala itu, Wahidin menghadap ‘sang kakak’ itu, berdiri berdiam diri di ruangan kerja Asisten Residen. Itu sengaja ia lakukan biar dianggap sebagai ‘adik yang baik’.

Akhirnya, Asisten Residen tersenyum dan langsung mengatakan bahwa ia juga akan mengerahkan bawahannya untuk mendengarkan pidato Wahidin di hadapan para bangsawan. Hanya dengan memperhatikan Wahidin berdiri berdiam diri di hadapannya, Asisten Residen sudah mengetahui maksud kedatangan Wahidin.

 
Pada akhirnya kesombongan orang Belanda di Hindia-Belanda runtuh. Bahasa Belanda pun lenyap secara perlahan.
 
 

Ayah Kartini juga melakukan hal itu, seperti diceritakan Kartini kepada sahabatnya, gadis Belanda, Stella, pada Januari 1900. Ayah Kartini tak mengizinkan anak-anaknya berbahasa Belanda ketika bertemu dengan orang-orang Belanda yang sudah akrab.

Ini gara-gara siatu hari, ada Raden Ayu yang ditolak menggunakan bahasa Belanda ketika berbicara dengan orang Belanda. Orang Belanda itu menggunakan bahasa Melayu pasar, tetapi Raden Ayu tak memahaminya karena ia hanya menguasai bahasa Melayu tinggi. Raden Ayu mengusulkan agar menggunakan bahasa Belanda saja, tetapi orang Belanda menolaknya.

Pada akhirnya kesombongan orang Belanda di Hindia-Belanda runtuh. Bahasa Belanda pun lenyap secara perlahan. “Umumnya para pemuda yang kini berusia 21 tahun tidaklah mengerti dan sama sekali tak cakap mempergunakan bahasa Belanda lagi,” ujar Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Muh Yamin saat membuka Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada 28 Oktober 1954.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat