Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Ketika Niat Baik Diuji

Di satu sisi, kita harus peduli sesama, di sisi lain kita tak boleh memberi ruang menjadi korban.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA 

Seorang tukang cilok terbaring pingsan dengan helm tersemat di kepala. Dagangannya berserakan, motornya tergeletak di aspal. Beberapa orang yang menyaksikan serta merta bergegas menolong. Siapa pun pasti terenyuh pada si pedagang kecil itu.

Akibat kejadian itu tak tersisa barang dagangan yang bisa dijual. Modal hilang, penghasilan nihil ditambah tuntutan biaya kesembuhan. Tak terbayang bagaimana dia menghidupi keluarga selama beberapa hari ke depan.

Wajar jika akhirnya warga bertambah simpati. Usai membantu korban yang pingsan mereka lalu urunan uang untuk meringankan bebannya. Membantu, menolong tanpa pamrih, pastinya sebuah kebajikan.

 
Dalam sehari, satu pengemis di Jakarta sanggup mengantongi hingga Rp 1 juta.
 
 

Tapi tunggu dulu. Adegan pembuka di atas merupakan cuplikan satu video yang baru-baru ini viral. Banyak pihak yang kemudian terkejut setelah rekaman  kamera CCTV yang merekam awal mula kejadian secara detail- beredar.

Lewat video itu terungkap, sang penjual sengaja menjatuhkan diri dari motor hingga barang dagangannya tumpah. Ia bahkan terlihat sempat membenahi  posisi ember agar lebih meyakinkan, sebelum kembali berpura-pura pingsan.

Adegan berikutnya seperti diduga. Beberapa warga datang. Mungkin awalnya ingin tahu, lalu panik melihat pedagang cilok terkapar. Si pedagang kecil ternyata merekayasa kecelakaan demi mendapat sumbangan dari masyarakat.

Berpura-pura menderita untuk memancing rasa iba dan belas kasih --dengan berbagai cara-- sebenarnya bukan perkara baru.

Pengemis di perempatan lampu merah muncul dengan baju compang-camping, padahal punya baju lebih baik, bahkan ada yang dikenal kaya di kampung halaman dan mempunyai rumah mewah.

 
Berpura-pura menderita untuk memancing rasa iba dan belas kasih --dengan berbagai cara-- sebenarnya bukan perkara baru.
 
 

Seorang petugas suku dinas sosial menemukan fakta menakjubkan. Dalam sehari, satu pengemis di Jakarta sanggup mengantongi hingga Rp 1 juta. Bagaimana mungkin? Mari kita lihat hitungannya.

Anggap saja, seorang pengemis pemula berhasil memperdaya satu orang untuk menyumbang Rp 2.000. Jika dalam satu jam, lampu merah menyala 20 kali, ia mendapatkan Rp 40 ribu per jam. Jika sepuluh jam, ia memperoleh Rp 400 ribu. Ini baru hitungan minimal.

Saya pernah bertemu pengemis yang mangkal di depan sebuah minimarket di Depok. Saat itu ia menukar uang ke kasir. Setiap hari, rupanya ia membawa  uang receh Rp 300 ribu-Rp 500 ribu.

Dengan kemudahan dan peluang sebesar itu, lumrah pengemis sulit dialihprofesikan karena penghasilannya sudah di atas manajer dan pengusaha kecil. Satu-satunya cara menghentikan pengemis profesional dengan tidak memberikan mereka uang.

Sikap ini juga akan menyelamatkan anak-anak yang kadang menjadi objek sewa dalam membangun simpati. Namun apakah mengabaikan pengemis merupakan tindakan tak manusiawi?

Sebenarnya saat memberi uang ke pengemis yang menjadikan aktivitasnya sebagai profesi, kita membiarkan diri menjadi korban manipulasi. Di sinilah rasa kemanusiaan lalu diuji.

 
Di satu sisi, kita harus peduli terhadap sesama, di sisi lain kita tak boleh memberi ruang menjadi korban.
 
 

Di satu sisi, kita harus peduli terhadap sesama, di sisi lain kita tak boleh memberi ruang menjadi korban. Lebih parah lagi, kadang niat baik seolah menjadikan kita korban kebaikan itu sendiri. Ketika rasa kemanusiaan menjadi alat para penjahat menjebak korban.

Misal, menyengajakan diri jatuh di depan kendaraan agar si pengemudi turun sebab merasa bertanggung jawab dan terusik secara moral. Begitu dekat, korban mendadak bangun seraya menodongkan senjata tajam.

Atau kejadian ketika seseorang diteriaki maling, lalu massa ramai mengejar dan berusaha menangkapnya sebagai bentuk kepedulian sosial. Kenyataannya, ia  bukan kriminal. Maling teriak maling masih bisa menjadi modus mengelabui massa.

Bahkan baru-baru ini seorang lansia tewas hanya karena diteriaki maling, padahal dia bukan pelaku kejahatan. Niat baik seharusnya tak membawa pada perangkap keburukan apalagi menjadikan pelaku kebaikan tersebut korban.

Namun dunia berubah. Terlalu banyak wajah mengusik kemanusiaan tetapi sebagian menjadikannya kedok. Kita terpaksa selektif memilih siapa yang harus dibantu dan menyertakan kehati-hatian ketika berbuat baik. Sebab, niat baik saja tidak cukup.

 
Mereka pekerja keras, yang tetap berusaha sekalipun renta dan tak mengambil jalan pintas.
 
 

Sering, saat ini justru niat baik, kebaikan, dan kemanusiaan menjadi titik lemah yang menjerumuskan kita. Mau tidak mau --lebih baik jika niat berbagi diagendakan, menjadin tindakan terencana, bukan spontan, sporadis, atau impulsif.

Jika ingin menolong dhuafa, tak perlu menunggu bertemu pengemis tetapi arahkan pandangan ke sosok-sosok yang membutuhkan bantuan. Saat ingin menjangkau lembaga sosial atau keagamaan, pelajari lingkungan dekat atau tepercaya. Sehingga, tak menunggu berdonasi ketika ada orang datang membawa map sumbangan.

Daripada spontan memberi pada pengemis, lebih baik menyisihkan uang pada kakek tua yang masih mendorong gerobak, mengayuh sepeda sambil berjualan-saat berpapasan. Mereka pekerja keras, yang tetap berusaha sekalipun renta dan tak mengambil jalan pintas.

Kemanusiaan kita diuji, tetapi insya Allah selalu ada cara tetap berbuat baik, menyalurkan rasa peduli dan kemanusiaan, tanpa berkontribusi pada kian suburnya tindak manipulasi, penipuan, dan kejahatan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat