Ilustrasi rumah joglo tua | YUSUF NUGROHO/ANTARA FOTO

Jakarta

Saat Anies Baswedan Berjodoh dengan Joglonya 

Joglo di rumah Anies Baswedan dahulu merupakan tempat para ulama dan pejuang negeri menimba ilmu dan mengagungkan asma Allah

 

MUHAMMAD HUSNIL

Pengkaji Sejarah Pesantren

Banyak orang ingin dikunjungi Habib Syaikhon bin Bahar. Kewaliannya, membuat ribuan orang bersimpuh di hadapannya demi memohon dzuriyat Rasulullah saw satu ini memanjatkan doa untuk banyak kebaikan. 

pada Sabtu 18 Desember 2021, keturunan Nabi Muhammad SAW ini mendadak datang ke sebuah joglo tua. Di sana dia merebahkan diri, terlelap di kasur yang digelar di ruangan bagian tengah joglo. Memeluk bantal guling. Anies Baswedan yang berada di samping kanannya beberapa kali melihat gestur Habib Syaikhon, memastikan dia bisa istirahat dengan nyaman dan nyenyak. Dendangan pepujian untuk Nabi Muhammad saw. yang diiringi sitar dan alat musik lainnya terus mengalun. 

Malam itu, Sabtu 18 Desember 2021, Habib yang masyhur dengan kewaliannya itu silaturahim dan menginap di joglo Anies; joglo yang berusia hampir 500 tahun. Itulah joglo yang pernah ditempati dan dijadikan tempat tinggal keluarga besar Ki Ageng Muhammad Besari, pendiri dan pengasuh pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo. Anies sendiri berjodoh dengan joglo itu berkat sahabatnya sejak remaja bernama Danang. 

Danang merupakan seorang pengusaha rumah jawa sekaligus kolektor kayu jati kuno. Pada 2009, dia mendapatkan kabar dari koleganya sesama kolektor jati kuno bahwa ada sebuah joglo yang sudah tak terpakai di Tegalsari, Ponorogo. Merasa tertarik, Danang pun mendatangi Tegalsari. Saat pertama kali melihatnya, Danang merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia memeriksa semua komponennya. Satu per satu. Setelah menyimak dengan saksama semua komponennya, dia semakin yakin bahwa ini bukan joglo biasa. Ukirannya khas keraton Surakarta. Apalagi dia memeriksa sejarah Tegalsari ke warga sekitar. Juga melihat beberapa pohon sawo besar yang ada di sana. Sejarah Tegalsari yang panjang dan sawo. Ini pasti berkaitan dengan Pangeran Diponegoro. 

Dan dalam perjalanan dari Ponorogo ke Jogjakarta, Danang hanya mengingat satu nama yang pas untuk joglo ini: Anies Baswedan. Sebagai kawan sejak remaja, Danang tahu betul kesukaan Anies terkait rumah dan kebudayaan Jawa. Apalagi mengingat saat mereka remaja, Pangeran Diponegoro adalah idola dan pahlawan mereka berdua. “Anies pasti seneng,” pikir Danang. 

Tetapi, Danang membutuhkan waktu satu tahun untuk memugar joglo itu sampai sesuai dengan aslinya. Joglo itu disebut dengan Satriyo Pinayungan Blandar Nggantung. Kisah mengenai joglo itu sendiri merujuk kepada salah satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa ini. 

***     

Pada kurun 1740-an terjadi huru-hara di Jawa. Kesultanan Mataram Islam terkena imbasnya. Pakubuwono II yang sedang bertakhta dijungkalkan. Karena terdesak, Pakubuwono II menghindari kejaran dan sampai ke Ponorogo. Dia mendengar bahwa di Ponorogo ada seorang ulama besar yang alim dan memiliki karomah bernama Ki Ageng Muhammad Besari. Bersama beberapa punggawa setianya, Pakubuwono II meminta bantuan dan perlindungan di Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari yang diasuh Ki Ageng Muhammad Besari. Itulah masa di mana Pakubuwono II menimba ilmu agama sekaligus mempersiapkan strategi merebut kembali haknya. 

Setelah dirasa cukup Ki Ageng Muhammad Besari melepas Pakubuwono II. Ki Ageng juga memerintahkan santri-santrinya yang sudah dewasa untuk membantu menyelesaikan krisis yang dialami Pakubuwono II. Mendapatkan bantuan yang cukup dari Tegalsari, Pakubuwono II berhasil merebut haknya di Surakarta. Sebagai tanda terima kasih, Pakubuwono II memberikan dua hadiah besar kepada Ki Ageng Muhammad Besari. Pertama, mengubah status Tegalsari menjadi perdikan. Ini berarti membebaskan warga Tegalsari dari kewajiban membayar pajak. Kedua, sebuah joglo bernama Satriyo Pinayungan Lambang Gantung. Sebagai pengingat sikap kesatria para santri Tegalsari yang telah menjadi pengayom dan penolong pada masa-masa krisis. Karena dibuat atas permintaan Pakubuwono II, joglo itu terbuat dari jati yang berasal dari perkebunan jati milik keraton dan ukirannya berciri khas keraton Surakarta.  

Joglo itu digunakan secara turun-temurun oleh keluarga besar Ki Ageng Muhammad Besari. Selain dimanfaatkan untuk tempat tinggal, diyakini juga sebagai tempat untuk ngangsu kaweruh santri-santri yang mondok di Gebang Tinatar. 

Berdasarkan sejarah itulah Anies Baswedan menggunakan joglo itu sebagai ruang publik. Selain menerima tamu-tamu seperti Habib Syaikhon, di joglo itu juga Anies memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk kegiatan keagamaan, seperti pengajian majelis taklim untuk ibu-ibu sampai pengajian al-Quran untuk anak-anak dan remaja. Mereka nyaman berkegiatan di sana. Selain Anies sebagai tuan rumah membolehkan, suasana joglo itu memang rindang. Hijau.  Tanaman dan banyak pohon yang tumbuh di sana. Salah satunya yang cukup besar adalah pohon sawo kecik.  

*** 

Sawo kecik dijadikan sebagai lambang dan identitas bagi pendukung Pangeran Diponegoro saat Java Oorlog atau Perang Jawa (1825-1830). Nama pohon ini diambil dari bunyi hadis Nabi Muhammad Saw. dan biasa diucapkan imam menjelang takbiratul ihram kepada makmumnya. Sawwu shufufakum fainna taswiyata shufufi min tamami ashhalat (Rapihkan barisan kalian, karena kerapian barisan menjadi bagian dari kesempurnaan shalat). Redaksi ini diubah sedikit menjadi sawwu shufufakum fainna taswiyata shufufi min tamami al-harakah (rapikan barisan kalian karena kerapian barisan menjadi bagian dari kesempurnaan gerakan). 

Sawwu berarti rapikan. Diadopsi dalam Bahasa Jawa menjadi sawo. Dan memang, berkat kerapihan strategi Pangeran Diponegoro dan santri-santrinya mereka bisa mengungguli pasukan Belanda yang disokong peralatan militer dan taktik perang modern. Perang itu membutuhkan waktu lima tahun dan menguras hampir seluruh kas Pemerintah Belanda. Mereka nyaris bangkrut. Itu karena Belanda tidak bisa mengenali siapa saja pendukung Pangeran Diponegoro. Mereka kesulitan mengidentifikasi musuh. Sementara itu, santri atau laskar Pangeran Diponegoro yang masuk ke sebuah daerah dan mendapati rumah yang menanam pohon sawo maka ia bisa masuk dan menginap di tempat itu tanpa diketahui pihak Belanda. 

Meski kemudian Perang Jawa diakhiri pada 1830, dukungan terhadap Pangeran Diponegoro tak pernah surut. Santri dan laskarnya menyebar dan terus berkomunikasi. Merawat gerakan. Sawo menjadi identitas penting mereka. Bahwa siapa pun yang menanam pohon sawo, itulah dia pendukung dan penerus perjuangan Pangeran Diponegoro.       

Anies mendapatkan pohon sawo itu dari seorang kyai. Anies mendapatkan pesan untuk menanam sawo itu di depan rumah. Dan kini, pohon itu menjulang tinggi. Terawat dengan baik. Membuat rimbun joglo Ki Ageng Muhammad Besari.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat