NFT Kover Republika yang terbit pada 5 Juni 2016 kini ditawarkan di marketplace OpenSea | Dok Republika

Opini

Mewaspadai Kejahatan dalam NFT

Masyarakat perlu mewaspadai NFT yang berpotensi melahirkan kejahatan.

JUSUF IRIANTO; Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga, Ketua Komisi Kerja Sama Internasional MUI Jawa Timur

Di era digital saat ini, semua kebutuhan dapat dipenuhi dengan mudah. Berbagai format teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk meraup keuntungan dalam sekejap. Namun, dibalik kemudahan dan keuntungan tersebut mengandung sejumlah risiko.

Salah satu risikonya, kerugian materiel maupun imateriel akibat penipuan. Masyarakat tak sadar ditipu menyerahkan data pribadi, lalu disalahgunakan pihak tak bertanggung jawab. Lewat  teknologi digital, masyarakat berpotensi menjadi korban kejahatan siber.

Saat ini, hangat dibicarakan platform non-fungible token (NFT). Masyarakat perlu mewaspadai NFT yang berpotensi melahirkan kejahatan.

NFT merupakan produk digital yang dapat digunakan sebagai sarana jual beli menggunakan teknologi blockchain dan berfungsi sebagai sertifikat digital kepemilikan atau otoritas terhadap suatu karya seni.

Sebagai contoh aktual, transaksi NFT melalui pasar daring, OpenSea yang dimotori Devin Finzer dan Alex Atallah sejak awal 2020. Lewat pasar daring ini dapat dilakukan berbagai transaksi bernilai jutaan dolar AS.

Futuris teknologi, Cathy Hackl dalam tulisannya, Making Money in the Metaverse (2021) menegaskan, konsekuensi berkembangnya teknologi adalah kehidupan sosial yang selalu berubah hampir di luar batas kendali.

 
Hampir mustahil mengendalikan transaksi dalam NFT. Sejumlah besar uang berpindah tangan melalui proses transaksi yang mudah tetapi sangat berisiko.
 
 

Hampir mustahil mengendalikan transaksi dalam NFT. Sejumlah besar uang berpindah tangan melalui proses transaksi yang mudah tetapi sangat berisiko.

Menurut Hackl, transaksi di NFT mencapai nilai lebih dari 400 juta dolar AS dan menjadikannya sebagai salah satu jenis aset digital terpopuler saat ini. NFT mencuri perhatian publik karena nilai transaksi mencapai 40 juta dolar AS/per bulan dan terus meningkat.

Melalui NFT, balai lelang Christie mampu menjual karya seni digital, Beeple, senilai 69 juta dolar AS. Di Indonesia, untung besar diraup seorang warga hanya dengan mengunggah swafoto sambil memegang KTP-el di sebuah laman NFT.

Tak pelak, kesuksesan itu menyedot minat warga lain. Sejumlah pihak mengkhawatirkan unggahan swafoto tersebut.

Melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, pemerintah mengingatkan, unggahan foto dan dokumen kependudukan sangat rentan terhadap tindak penipuan atau kejahatan lain.

Unggahan foto KTP-el secara sembarangan sangat berbahaya karena mengandung konten data pribadi. Data kependudukan dapat dijual melalui pasar gelap atau transaksi daring yang merugikan masyarakat.

 
Fenomena NFT perlu direspons melalui penguatan peran berbagai pihak.
 
 

Waspada

Fenomena NFT perlu direspons melalui penguatan peran berbagai pihak. Masyarakat perlu waspada dan selektif menentukan setiap transaksi yang akan dilakukan. Cara sederhana, memverifikasi dan memvalidasi dulu terhadap permintaan dokumen kependudukan.

Dengan bekerja sama melibatkan perguruan tinggi (PT) atau kelompok masyarakat lain, pemerintah dapat segera menggiatkan edukasi kepada masyarakat. Edukasi bertujuan meningkatkan literasi digital masyarakat.

Sebagai langkah preventif, kewaspadaan melalui edukasi masyarakat fokus pada peningkatan pengetahuan dan kesadaran khususnya dalam menggunakan transaksi secara digital.

Masyarakat menjadi lebih bijaksana bertransaksi melalui platform digital semisal NFT. Platform NFT secara ekonomi sangat potensial memberi keuntungan bagi pengguna tetapi tetap waspada terhadap risiko yang ditimbulkannya.

 
Platform NFT secara ekonomi sangat potensial memberi keuntungan bagi pengguna tetapi tetap waspada terhadap risiko yang ditimbulkannya.
 
 

Kewaspadaan juga dapat ditempuh melalui penguatan kelembagaan pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informasi bisa melibatkan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan dalam mengawasi transaksi di NFT.

Tata kelola perdagangan digital dan aset kripto merupakan otoritas Bappebti. Sebagai tindakan kuratif, pemerintah harus bertindak tegas atau memberi sanksi hukum melibatkan kepolisian atau lembaga penegak hukum lainnya agar ada efek jera.

Dengan melibatkan berbagai ahli berpengalaman, Kemenkominfo memastikan platform NFT tak digunakan sebagai alat penyebaran konten terlarang atau melanggar peraturan.

Dasar hukum bagi regulasi transaksi NFT merujuk UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahan dan peraturan dalam pelaksananya.

Dalam aturan tersebut, pemerintah mewajibkan seluruh penyelenggara sistem elektronik (PSE) memastikan platform yang dikelola tak memiliki celah bagi penyalahgunaan transaksi.

Bagi PSE yang melanggar, pemerintah menjatuhkan sanksi administratif berupa pemutusan akses platform sehingga tak dapat menjangkau pengguna.

Sanksi lebih berat dapat dikenakan terkait penyalahgunaan dokumen kependudukan berdasar Pasal 96 dan Pasal 96a UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Sesuai UU tersebut, jika ada pihak, termasuk diri sendiri, yang melakukan tindak kejahatan mendistribusikan dokumen kependudukan diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat