Sejumlah jemaah saat dzikir dalam rangka muhasabah akhir tahun pada gelaran Festival Republik dan Dzikir Nasional 2019 di Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (1/1). Kegiatan Dzikir Nasional Republika yang digelar dari tah | Thoudy Badai_Republika

Hikmah

Zikir Menuju Kebahagiaan

Zikir merupakan sunnah yang menenangkan hati dan mendekatkan kita dengan Allah.

Oleh NANANG SUMANANG

NANANG SUMANANG, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Hirup teh aya tilu: cicing, nyaring, jeung eling”. 

Hidup itu ada tiga; diam, bangun, dan ingat kepada Allah.

  

Pepatah lama itu dulu sering saya dengarkan dari alm bapak saya, terutama ketika kami sama-sama mendengarkan wayang golek setiap malam minggu di radio swasta. Dalang Cecep Supriyadi dari Karawang adalah dalang favorit alm bapak saya, sehingga kami banyak belajar ajaran hidup dari dalang Cecep Supriyadi. Pepatah itu sering diucapkan untuk mengingatkan kami agar selalu sadar diri, sadar waktu dan sadar ruang untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Ungkapan di atas, mungkin sama seringnya dengan ungkapan “ulah hardolin wae” ketika alm bapak saya mengingatkan kami, anak-anaknya agar hidup jangan cuma sekedar makan, buang air besar dan bermain saja.

Setiap orang pasti berharap hidupnya akan berbahagia di dunia dan di akherat kelas. Hampir di setiap habis sholat, seorang mukmin berdoa dengan doa “Robbanaa aatinaa fid dunya hasanah, wa fil aakhiroti hasanah wa qina ‘adazabannaar”. Ya Allah, berikanlah bagi kami kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan juga kebaikan dan kebaikan di akherat, dan jauhkanlah kami dari api neraka. Dari doa tersebut jelas sekali bahwa seorang mukmin pasti mendambakan kebahagiaan di dunia dan di akherat kelask. Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang sudah memberikan manusia banyak kelebihan di antara makhluk lainnya. Diberikannya bentuk fisik yang sangat indah dan lentur, akal budi yang bisa mencerna dan berpikir untuk bisa membedakan yang baik dan buruk. Perasaan yang bisa merasakan keindahan, hati yang sudah diberikan cahaya ilahi, rasul yang diutus dari bangsanya, serta kitab-kitab suci yang berisi ajaran-ajaran hidup untuk menggapai tujuan hidup manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat kelak.

Sebagai makhluk yang unik, manusia tidak akan pernah bisa hidup seorang diri, dia butuh orang lain, dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Ketika manusia butuh kehadiran orang lain, dan menyatu dengan alam sekitarnya, kemudian manusia disebut sebagai makhluk sosial. Interaksi internal dalam dirinya, serta interaksi dan dialog dengan manusia dan alam di luar dirinya melahirkan kebudayaan,  nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Perenungan –perenungan tersebut ditambah dengan pemahaman keagamaan melahirkan kebudayaan yang bertujuan untuk menggapai manusia dengan cita-citanya menggapai kebahagiaan di dunia dan di akherat nanti. 

Suku Sunda sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi, yang merupakan hasil dialogis spiritual, intelektual, mental dan moral manusianya terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya yang terjelma menjadi kebudayaan benda dan tak benda.

Pepatah di atas yang merupakan hasil kebudayaan orang tua Sunda dulu ternyata masih sangat relevan dengan situasi sekarang ini, kekinian dan kedisinian, apalagi dalam situasi ekonomi, politik dan moral sulit sekarang ini, kita hanya mempunyai tiga kehidupan saja, yang harus digunakan secara tepat yaitu; diam, bangun dan ingat.

Dulu, “cicing” atau diam selalu digunakan ketika orang tua melihat anaknya hanya berdiam saja, tidak mau bergerak untuk bekerja. “Nu sok cicing mah tatangkalan” yang suka diam saja adalah pepohonan. Artinya bahwa seseorang apabila mau meraih kebahagiaan, dia tidak boleh diam saja, berdoa saja di masjid, atau sholat saja tanpa melakukan gerak dan kerja, maka sesungguhnya orang yang demikian bukan manusia, tetapi pepohonan. Sikap diam saja tentunya sangat bertentangan dengan semangat Islam yang selalu bergerak, yang menamakan dirinya dengan nama jalan; “shirot”, “thoriiq”, “sabil/ subul”, “suluk”, “mansak”, “manhaj” dan sebagainya, dimana korelasi dari jalan itu sendiri adalah gerak. Islam menginginkan umatnya untuk selalu bergerak menuju kemajuan dan kebahagiaan, bukan hanya berdiam diri, berpartisipasi aktif dalam membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan kemanusiaan pada umumnya.

Secara bahasa “nyaring” berarti bangun, terbangun dari tidur, sadar atau bergerak. Orang tua dulu menggunakan kata “nyaring” dalam pepatah di atas adalah untuk menggambarkan  seseorang yang orientasi hidupnya hanya kerja untuk kepantingan dunia saja, sehingga dia melupakan kesehatan, keluarga dan akheratnya. “Nu sok nyaring wae eta mah sajenis sasatoan”Yang suka bergerak saja, kerja saja, tanpa mengindahkan kesehatan, tanpa mengindahkan ibadah, dan tidak memikirkan kebahagiaan akherat, serta hanya berorientasi pada harta kekayaan dan keduniawian saja adalah binatang.

Islam sangat menghargai proses, prestasi, dan hasil kerja dan sangat tidak menghargai prestige. Kamu anak siapa, kamu berasal darimana, kamu keturunan siapa menjadi tidak penting dalam agama Islam. Selama dia selalu bekerja , selalu berproses dan berprestasi pasti Allah SWT angkat mencata segala perbuatannya dan akibat-akibatnya selama itu berdasarkan iman kepada Allah SWT. Inna nahnu nuhyil mauta wa naktubu maa qoddamuu wa aatsarohum wa kulla syaiin ahshainaahu fii imaamim mubiin. Sungguh Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati, dan Kamilah yang mencatata apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas (dampak Dario perbuatan tersebut) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam kitab yang jelas.(Yaasin :12)

Dalam Islam ada beberapa kata yang menunjukkan kata untuk kerja; “amal’, “kasb”, “sakhkhoro”, ‘ajr”, atau “ibtighaa’a fadl Allah”semuanya berarti bekerja, bergerak, berusaha dengan sekuat tenaga guna mencapai keridloaan Allah SWT. Sebaliknya orang yang hanya bekerja dengan orientasi keduniawian itu disebut sebagai binatang, karena memang persis binatang, yang tidak pernah diam, sapi biarpun sudah malam mulutnya masih mengunyah, ikan masih tetap bergerak dan binatang lainnya. Gerak yang demikian bagi manusia tidak akan pernah mendatang kemajuan dan kebahagiaan bagi manusia.

Tentunya gerak, kerja, terbangun dan sebagainya yang diinginkan oleh Islam bukan hanya bergerak, atau bekerja fisiknya saja, tetapi juga keseluruhan aspek psikologis yang ada dalam diri manusia yang meliputi spiritual, intelektual, mental dan moral juga harus terlibat dalam bekerja maupun bergerak, sehingga bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat kelak. “Barangsiapa behijrah di jalan Allah SWT, niscaya mereka mendapati di muka bumi in tempat hijrah yang luas dan rezeki (kemudahan) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah SWT dan RasulNya, kemudian kematian menimpaynya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah SWT, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (an-Nisaa :100).

Adapun “eling” berarti ingat. Ingat kepada esensi diri, kehidupan yang dijalani dan Allah SWT sebagai pencipta dan tempat kembali. Hakekat manusia akhirnya berhenti pada eling. Manusia harus ingat dari mana dia berasal, dari apa dia diciptakan, apa yang harus dikerjakan di dunia ini ketika masih hidup, dan kemana tujuan hidup kita diarahkan dan akan berakhir.

Karena manusia itu bukan pepohonan, dan juga bukan binatang, maka manusia harus bisa menempatkan diam, dan gerak pada kesempatan yang tepat dibawah naungan dan sinaran cahaya “eling” yaitu selalu ingat kepada Allah SWT (dzikir). “Cicing” adalah masa perenungan, masa introspkesi, dan masa perhitungan (hisab) manusia. Dialog dalam diam, dialog dengan  diri sendiri, mencoba mendengarkan suara hati nurani, suara yang terbebaskan dari kepentingan duniawi dan kesombongan, suara yang akan menjadikan dasar untuk kemudian melangkah bergerak maju dengan penuh perhitungan. Sementara “nyaring” merupakan aksi dari hasil “cicing” dimana semuanya harus dilakukan dibawah naungan “eling”. “alladdziina yadzkuruunallaah qiyaaman waqu’uudan wa ‘alaa junuubihim wayatafakkaruuna fii kholqis samaawaati wal ardli. Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathilan subhaanaka faqinaa ‘adzaaban naari”. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi beserta isinya dan seraya berkata: “Ya Allah, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka

Dalam situasi seperti sekarang ini, maka tidak ada cara yang lebih baik selain kita bisa menempatkan dan menyeimbangkan antara “cicing, dan nyaring” dan selalu dalam naungan “eling” kepada Allah SWT., dan eling kepada Allah SWT pasti akan mendatangkan ketenangan hati dan kebahagiaan hidup. (ar-Ra’du : 28).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat