Mahasiswa anggota Tim Gantari Engineering Research Club dari Universitas Sumatera Utara (USU) menyelesaikan pembuatan bio baterai dari kulit jeruk di Laboratorium Kimia Fisika Departemen Teknik Kimia USU, Medan, Sumatera Utara, Rabu (22/12/2021). | ANTARA FOTO/Fransisco Carolio

Opini

Budaya Inovasi

Budaya inovasi akan membaik jika daya kreativitas masyarakat ditumbuhkan dengan berbagai infrastruktur dan insentif.

Oleh BIMO JOGA SASONGKO

BIMO JOGA SASONGKO, Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Kisruh terkait SDM iptek di lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akibat proses integrasi organisasi riset nasional, sebaiknya segera mendapatkan win-win solution. Semua pihak tentu tak menghendaki brain drain terhadap SDM iptek nasional.

Pemutusan hubungan kerja terhadap peneliti ataupun tenaga administrasi, sedapat mungkin dihindari. Jika terpaksa dilakukan, mesti dalam kondisi golden handshake.

Postur SDM iptek nasional yang diusahakan BJ Habibie sejak menjabat menristek, saat ini sebetulnya sudah banyak yang matang.

Pak Habibie, setelah tak berkecimpung dalam pemerintahan hingga akhir hayatnya, masih tetap berpikir tentang pengembangan SDM terbarukan, khususnya SDM iptek nasional. Untuk itu, beliau sering menekankan perihal budaya.

 
Kebudayaan nasional memerlukan sosok kreator dan inovator, yang memiliki kredibilitas dan pemahaman tentang budaya kosmopolitan.
 
 

Menurut penulis, pandangan Habibie terhadap kebudayaan nasional ibarat zamrud khatulistiwa bisa menjadi daya ungkit kemandirian dan kemajuan bangsa. Masalah kebudayaan menjadi sangat serius bagi perjalanan bangsa ini ke depan.

Kebudayaan nasional memerlukan sosok kreator dan inovator, yang memiliki kredibilitas dan pemahaman tentang budaya kosmopolitan.

Pak Habibie yang telah melahirkan sederet lembaga riset berkelas dunia, seperti Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Puspiptek, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang bertujuan meningkatkan peradaban bangsa.

Di kalangan kadernya yang disebut anak-anak intelektual Habibie, riset itu kegiatan budaya yang menyentuh pribadi-pribadi peneliti dan kelompoknya. Sehingga, membutuhkan ekosistem independen dan menyenangkan.

Contohnya, menurut salah satu anak intelektual Habibie, yakni Ines Atmosukarto, peneliti biologi molekuler terkemuka yang kini berkarya di Australia, menyatakan budaya riset yang ditumbuhkan LBM Eijkman cukup bagus.

 
Dalam kondisi pandemi dan disrupsi, perlu totalitas bangsa melakukan rekayasa budaya guna menumbuhkan karakter dan etos kerja unggul.
 
 

Dia merasa beruntung waktu kembali setelah menamatkan S3, Prof Sangkot memberi akses ke Eijkman dan di situ dia merasakan ekosistem yang ditumbuhkan secara ideal. Ekosistem di Eijkman itu mestinya dipertahankan BRIN sebagai role model bagi yang lain.

Dalam kondisi pandemi dan disrupsi, perlu totalitas bangsa melakukan rekayasa budaya guna menumbuhkan karakter dan etos kerja unggul. Jika rekayasa budaya sinergi dengan riset dan inovasi, niscaya kebangkitan negeri ini terwujud dalam waktu lebih singkat.

Negeri ini butuh banyak inovator. Berbicara tentang inovator, kita prihatin karena negeri ini indeks inovasinya masih rendah. Budaya inovasi di negeri ini akan membaik jika daya kreativitas masyarakat ditumbuhkan dengan berbagai infrastruktur dan insentif.

Pada dasarnya, kreativitas bisa berkembang di semua lini sejauh negeri ini menghargai dan mendorong warga berkreasi.  Menurut Steve Jobs, kreativitas berarti kemampuan mengaitkan bermacam bidang sehingga menjadi produk bernilai tambah ekonomi.

Masih hangat dalam ingatan publik kunjungan Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya ke Silicon Valley, markas besar perusahaan internet global yang disebut dengan istilah over the top (OTT ), seperti Google, Microsoft, Facebook, Twitter, dan lain-lain.

Ini sangat strategis untuk mendorong proses inovasi bangsa dan pengembangan konten keindonesiaan. Konten lokal itu bisa berupa produk budaya, seni, dan industri. Selain itu, bisa menjadi  promosi hebat bagi destinasi wisata.

Sayangnya, selama ini banyak pelaku inovasi terpaksa terjerat perkara hukum. Kondisinya kian kurang kondusif karena otoritas hukum belum sinkron secara komprehensif terkait pengembangan teknologi dan proses inovasi.

 
Pada dasarnya, kreativitas bisa berkembang di semua lini sejauh negeri ini menghargai dan mendorong warga berkreasi. 
 
 

Akibatnya, beberapa teknolog dan inovator mendapatkan hukuman yang semestinya tak mereka alami. Misalnya, kasus bioremediasi Chevron Indonesia dan kasus inovasi mobil listrik. Masalah itu boleh dikatakan, hukum telah memakan anak-anak bangsa yang inovatif.

Pada era industri 4.0  ini, menimbulkan implikasi serius dalam berbagai bidang kehidupan. Antara lain, adanya irisan krusial antara domain hukum dan praktisi industri. Karena itu, irisan di atas membutuhkan telaah hukum yang benar dan bersandar pada rasionalitas.

Domain hukum perlu memahami proses inovasi dan segala macam risikonya. Ada baiknya, kita meneropong keberhasilan Cina, India, dan Israel yang telah menikmati ledakan investasi berkat proses inovasi di segala lini.

Kita perlu merenungkan seruan pemenang hadiah Nobel, Robert Solow, bahwa budaya dan ekosistem inovasi yang baik di suatu bangsa merupakan instrumen paling andal untuk menggenjot produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

AS mampu dengan cepat memulihkan perekonomian yang lesu dengan menekankan inovasi model kewiraswastaan, termasuk kewiraswastaan mikro berbasis rumah dan memiliki daya inovasi.