Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Darurat Kekerasan Seksual

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, menemukan 15 jenis kekerasan seksual.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Indonesia sudah masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Berita seputar kekerasan seksual, menjadi keseharian di media massa sepanjang tahun lalu.

Tercatat pada Januari 2021, anak penyandang disabilitas rungu-wicara diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar, Sulawesi Selatan. Pada bulan yang sama, seorang ibu melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami putri kandungnya.

Remaja berusia 16 tahun itu hamil 4 bulan akibat kejahatan yang dilakukan keluarga dekat. Pelaku tindakan bejat itu adalah kakek korban (64 tahun) sebanyak dua kali, ayah korban (37 tahun) sebanyak empat kali, dan paman korban (35 tahun) tujuh kali.

Selanjutnya terungkap kasus HW, pemilik pesantren yang melakukan kekerasan seksual kepada santriwatinya. Tercatat 21 korban dalam rentang 2016 hingga 2021. Dari aksi pencabulan terhadap 21 gadis tersebut sebagian mengandung dan sembilan bayi kemudian lahir.

Kasus di atas hanya penggalan kecil dari peristiwa yang terlaporkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menghimpun sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi sejak Januari sampai November 2021.

 
Kasus di atas hanya penggalan kecil dari peristiwa yang terlaporkan.
 
 

Angka ini tentu jauh lebih kecil dari kejadian sesungguhnya. Lebih buruk lagi dari yang terlaporkan pun tidak semua lantas bisa diproses secara hukum.

Kantor berita Antara mengungkapkan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat dari 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2016 hingga 2020, kurang dari 30 persen yang diproses secara hukum.

Alasan tidak diproses atau tidak ditindaklanjutinya, beragam. "Kita tahu definisinya di KUHP sangat terbatas," ujar Andy.

Mari kita simak Pasal 285 KUHP yang mengatur kasus perkosaan. “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Lihat pula aturan pencabulan yang tertuang dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Pasal-pasal di atas masih tidak cukup kuat untuk menjerat kekerasan seksual yang bentuknya kian beragam. 

 
Pasal-pasal di atas masih tidak cukup kuat untuk menjerat kekerasan seksual yang bentuknya kian beragam.
 
 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, menemukan 15 jenis kekerasan seksual, yaitu perkosaan; intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; pelecehan seksual; eksploitasi seksual; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; prostitusi paksa; perbudakan seksual; pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung; pemaksaan kehamilan; pemaksaan aborsi; pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; penyiksaan seksual; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif dengan dalih  moralitas dan agama.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengakomodasi berbagai bentuk kekerasan seksual di atas.

Saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur mengenai kekerasan seksual, seperti KUHP, UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga), UU PTPPO (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang), UU Perlindungan Anak.

Namun, peraturan perundang-undangan tersebut belum mengakomodir berbagai bentuk kekerasan seksual secara komprehensif. Sebagai contoh, pengaturan kekerasan seksual dalam KUHP masih sangat terbatas, hanya mengatur mengenai perkosaan dan perbuatan cabul.

Pengaturan mengenai perkosaan dalam KUHP pun dinilai banyak pihak masih bermasalah. Unsur pidana di dalamnya mengharuskan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, padahal kekerasan seksual tidak selalu mengandung unsur kekerasan atau ancaman kekerasan di dalamnya.

 
Pengaturan mengenai perkosaan dalam KUHP pun dinilai banyak pihak masih bermasalah.
 
 

KUHP tidak mengakomodasi modus-modus seperti bujuk rayu, janji nikah, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Dengan kata lain hal-hal tersebut menjadi penyebab sebuah pemerkosaan atau pencabulan tidak dapat dianggap sebagai demikian menurut KUHP.

Karenanya tidak ada cara lain, pemerintah harus secepat mungkin mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar tidak tersisa celah bagi pelaku kekerasan seksual untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

RUU TPKS telah sembilan tahun diupayakan menjadi undang-undang sejak pertama kali masuk sebagai usulan masyarakat ke DPR.

Setiap penundaan berarti kita bertanggung jawab sebab telah membuka ruang bagi pelaku mengulangi kejahatannya hingga menambah penderitaan korban atau menyebabkan jumlah korban yang jatuh terus bertambah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat