Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kazakhstan: Krisis Politik

Ternyata kedamaian Kazakhstan terlihat semu dan rapuh yang runtuh dengan krisis politik sejak awal 2022.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Tak banyak berita tentang Kazakhstan di Indonesia. Jika ada beritanya, apakah di media cetak atau elektronik, itu hanya selintas, khususnya menyangkut krisis politik yang tengah terjadi di negara itu dalam beberapa waktu terakhir.

Namun, hampir tidak ada berita atau penjelasan relatif memadai tentang Kazakhstan yang patut diketahui kaum Muslim Indonesia. Apa pentingnya Kazakhstan bagi Indonesia? Sama-sama besar.

Jika Indonesia negara maritim terbesar di dunia dengan penduduk Muslim terbanyak di jagat, Kazakhstan negara daratan terbesar di dunia Muslim, walau  tanpa akses sungai atau pantai ke laut alias daratan terkunci (landlocked). Sedangkan luas daratan negara kepulauan Indonesia menduduki peringkat empat di dunia Muslim.

Meski wilayah daratannya sangat luas, jumlah penduduk Kazakhstan hanya sekitar 18.985.000 jiwa—berbanding Indonesia sekitar 270 juta yang 87,2 persen menganut Islam, Protestan 2,9 persen, dan Katolik 2,9 persen. Penduduk Kazakhstan, sekitar 70,2 persen menganut Islam, 26,2 persen mengikuti gereja Ortodok Rusia, dan sekitar 2,8 persen ateis.

Meski tak sekaya Indonesia dalam keragaman sumber daya alam, Kazakshtan kaya sumber daya mineral.

 
Kazakhstan negara daratan terbesar di dunia Muslim, walau  tanpa akses sungai atau pantai ke laut alias daratan terkunci
 
 

Negara ini tak hanya memiliki kekayaan energi fosil melimpah juga bermacam mineral mulai dari uranium, fosfor, emas, nikel, sampai intan. Hasilnya, Kazakhstan banjir investasi asing untuk menggarap penambangan berbagai sumber daya alam tersebut.  

Tak kurang pentingnya dalam konteks perbandingan dengan Indonesia, Kazakhstan mengalami transisi menuju demokrasi sejak awal 1990-an —setelah melepaskan diri dari Uni Soviet yang bubar pada 26 Desember 1991.

Sedangkan Indonesia, menganut beberapa corak demokrasi sejak merdeka pada 1945; mulai demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, dan demokrasi liberal sejak 1998-1999.

Berbeda dengan Indonesia yang relatif sukses dengan transisi ke dalam demokrasi liberal dalam satu setengah dasawarsa awal, sebaliknya Kazakhstan ditandai penggunaan (atau penyalahgunaan) demokrasi untuk pemapanan otoritarianisme dan oligarki politik.

 
Kazakhstan ditandai penggunaan (atau penyalahgunaan) demokrasi untuk pemapanan otoritarianisme dan oligarki politik.
 
 

Meski pemilu dilaksanakan di Kazakhstan dari waktu ke waktu sejak 1991, hasilnya hanya memperkuat oligarki politik yang terus memaksakan kemauannya pada rakyat. Otoritarianisme oligarki politik Kazakhstan menyalakan kemarahan terpendam.

Akhirnya, ini menggerakkan warga melakukan aksi kekacauan dan kekerasan yang terjadi belakangan. Padahal penulis Resonansi ini pernah menemukan Kazakhstan yang cukup menjanjikan.

Dalam kunjungan singkat menjelang akhir 2017 terkait ‘Science-Technology Expo’ spektakuler yang diklaim terbesar di dunia, penulis melihat lanskap ibu kota baru Nur-Sultan, misalnya, ditandai banyak gedung baru dan pencakar langit megah dan indah—memberikan harapan bagi kemajuan negara ini sejak merdeka dari Uni Soviet pada 1991.

Ternyata kedamaian Kazakhstan terlihat semu dan rapuh yang runtuh dengan krisis politik sejak awal 2022. Krisis politik Kazakhstan diawali unjuk rasa besar-besaran sejak 2 Januari 2022 di berbagai kota dan kampung Kazakhstan.

Unjuk rasa yang disebut terbesar sejak negara ini melepaskan diri sebagai republik otonomi dalam Federasi Uni Soviet marak, untuk memprotes kenaikan harga elpiji dan bahan bakar minyak (BBM) dua kali lipat.

 
Krisis politik Kazakhstan diawali unjuk rasa besar-besaran sejak 2 Januari 2022 di berbagai kota dan kampung Kazakhstan.
 
 

Kenaikan harga elpiji dan BBM kemudian memicu peningkatan harga kebutuhan hidup. Kenaikan harga disebabkan pencabutan subsidi gas dan BBM oleh pemerintah dan membiarkan harganya ditentukan pasar.

Unjuk rasa bermula di kota kecil Zanaozhen, pusat industri minyak dan tempat terjadinya demo besar pada 2010 yang mengorbankan sejumlah pengunjuk rasa karena aksi brutalitas polisi.

Dari Zanaozehn, unjuk rasa menyebar ke Almaty, kota terbesar di Kazakhstan berpenduduk sekitar 2 juta pada 2021. Demonstrasi juga cepat menyebar ke banyak kota lain sampai ke kampung-kampung.

Unjuk massa masif dihadapi pemerintah dengan mengerahkan polisi, tentara, dan bantuan militer Rusia. Akibatnya, sampai akhir pekan pertama Januari 2022, tewas sedikitnya 164 warga dan sekitar 18 aparat keamanan.

Kenaikan harga elpiji terbukti hanya menjadi pemicu pengungkapan ketidakpuasaan terpendam selama bertahun-tahun terhadap Pemerintah Kazakhstan. Otoritarisme oligarki politik menjadi fitur utama politik Kazakhstan sejak merdeka pada 1991.

 
Kenaikan harga elpiji terbukti hanya menjadi pemicu pengungkapan ketidakpuasaan terpendam selama bertahun-tahun terhadap Pemerintah Kazakhstan.
 
 

Secara resmi, Kazakhstan adalah republik berdasarkan sekulerisme. Nursultan Nazarbayev, mantan politbiro Partai Komunis Soviet menjadi presiden sejak 1991 sampai 2019.

Nazarbayev, teman dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, sekaligus Ketua Partai Otan, yang berkoalisi dengan beberapa partai lain menciptakan oligarki politik yang tak tertandingi.  Beberapa pemilu hanya menghasilkan penguatan kekuasaan Presiden Nursultan dengan koalisi oligarki politiknya.

Pada Maret 2019, Nursultan mendadak mengundurkan diri; digantikan kader utamanya yang juga Ketua Senat, Kassym-Jomart Tokayev. Menjadi presiden, otoritas dan kharisma Tokayev tampak tak sekuat Nazarbayev (pendiri republik), membuat warga berani membangkang massal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat