Khatib diwajibkan berwawasan wasathiyah sehingga memperkuat persatuan bangsa. | ANTARA FOTO/Ampelsa

Khazanah

MUI: Khatib Harus Berwawasan Wasathiyah

Wasathiyah adalah strategi mewujudkan kehidupan harmoni di tengah keberagaman.

JAKARTA – Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Wadah Silaturohim Indonesia menggelar Pendidikan Khatib Wasathi. Ketua Komisi Dakwah MUI KH Ahmad Zubaidi mengatakan, pendidikan ini diselenggarakan untuk mengader khatib agar berwawasan wasathiyah.

"Berwawasan wasathiyah berarti berwawasan moderat, tidak cenderung ke kanan atau ke kiri, apalagi ekstrem kanan atau ekstrem kiri," ujar dia kepada Republika, Ahad (9/1).

Lebih lanjut Kiai Zubaidi menerangkan, khatib atau dai harus berceramah dengan perkataan yang benar, bukan dengan kasar atau keras. Tidak dibenarkan melawan kemungkaran dengan kemungkaran yang lain.

"Setiap dai harus berkata sesuai fakta dan memiliki bukti sesuai petunjuk Alquran dan sunah," katanya.

Khatib yang berwawasan wasathiyah harus mengedepankan perkataan mulia. Ia mengingatkan, jangan sampai ceramah seorang khatib memicu kegaduhan, misalnya saling ejek, baik di kalangan internal umat Islam maupun kepada umat lain.

"Perkataan seorang khatib harus mengandung hikmah dan pengaruh positif kepada objek dakwah. Momen khutbah harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan agama umat Islam, meningkatkan spiritualitas dan membangun kedekatan dengan Allah SWT," ujar dia.

Dengan pemahaman tersebut, khatib diharapkan menjadi pendakwah yang menenteramkan kondisi umat, mempersatukan bangsa, serta menjaga keutuhan NKRI. Dengan begitu, negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini tetap utuh, damai, adil, dan makmur.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Komisi Dakwah MUI dan Wadah Silaturohim Indonesia menggelar Pendidikan Khatib Wasathi yang secara resmi dibuka pada Sabtu (8/1) di Gedung MUI Pusat, Jakarta.

Peserta kegiatan ini adalah para khatib dan dai yang telah memiliki kemampuan berceramah dan pengalaman berdakwah atau berkhutbah. Juga mampu membaca Alquran secara baik dan benar, serta memiliki pengetahuan mengenai hadis dan pendapat ulama.

Pendidikan ini akan dilaksanakan selama 12 kali pertemuan dengan sistem moving class. Pelaksanaan pendidikan diselenggaarakan di tempat narasumber berada. Misalnya, jika narasumber merupakan ulama di MUI, kelas akan berlangsung di kantor MUI. Begitu juga ketika pemateri merupakan ulama pondok pesantren, maka materi akan diberikan di pondok pesantren tempat ulama tersebut berada.

Hal ini bertujuan agar peserta dapat menambah pengalaman dan kegiatan belajar tidak membosankan. Materi yang diberikan mencakup prinsip Islam wasathiyah, kode etik Islam wasathiyah, dan pendalaman materi keagamaan.

“Peserta juga akan dilatih dalam hal public speaking,’’ kata Kiai Zubaidi.

Setelah selesai melaksanakan pendidikan, lanjut Kiai Zubaidi, peserta diharapkan memiliki wawasan keagamaan yang lebih luas dan kemampuan beretorika yang lebih baik, sehingga ketika berceramah akan semakin menarik jamaah.

“Karena khutbah di setiap Jumat sangat penting dan hanya berlangsung satu kali setiap pekan,’’ ujar dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat