Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat dengan beragam faktor. | Republika/Prayogi

Bodetabek

Melongok Tingginya Angka Perceraian di Tangerang

Faktor ekonomi menjadi pemicu tingginya angka perceraian di Tangerang

OLEH EVA RIANTI 

Suasana hening tampak kentara di lorong antara ruang sidang yang berseberangan dan ruang layanan pos bantuan hukum (posbakum) di lantai dasar gedung Pengadilan Agama Tangerang, Kamis (6/1) siang. Puluhan orang terlihat sedang antre untuk memasuki ruang layanan posbakum untuk mengurusi masalah perceraian.  

Kursi-kursi yang berjejeran di lorong tersebut diisi oleh sejumlah orang, baik perempuan maupun laki-laki dengan rata-rata berusia sekitar 30 hingga 50 tahun. Tujuan kedatangan mereka ke Pengadilan Agama karena beragam perkara, tapi dominan perihal perceraian.

Rina (32 tahun), salah satu warga Kota Tangerang mengaku, hendak mengurus masalah perceraian. Dia menyebut, akan mendaftarkan diri ke bagian posbakum, ditemani oleh ayah kandungnya. Tak banyak kata yang terucap darinya, hanya tatapan mata yang kosong beradu dengan tatapan mata ayahnya yang sendu.

“Iya ini mau daftar perceraian ke posbakum,” ujar Rina lemas, saat ditemui Republika di Pengadilan Agama Tangerang, Kamis (6/1).

Sama dengan Rina, warga lainnya yang mendatangi Pengadilan Agama Tangerang, Dita (37) juga tengah mengurus masalah perceraian dengan suaminya berinisial R (34). Dita bercerita, dirinya telah menjalani biduk rumah tangga bersama R sejak 11 tahun yang lalu.

Namun, dia memutuskan untuk berpisah dengan sejumlah alasan, terutama masalah ekonomi. “Ya faktor ekonomi. Dia kerja buka praktik gigi, tapi tidak ada perkembangan,” ujar Dita.

Dita tidak memungkiri, kondisi ekonomi keluarganya makin tertekan akibat pandemi Covid-19. Hal itu memicu perselisihan di dalam rumah tangganya. Dia mengaku, bahkan nafkah yang diberi oleh sang suami hanya berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per pekan untuknya serta dua anak mereka.

“Memang ekonomi menurun saat pandemi, apalagi kita enggak dapat bantuan (sosial) sama sekali, jadi bertahan sendiri,” kata dia.

 
Memang ekonomi menurun saat pandemi, apalagi kita enggak dapat bantuan (sosial) sama sekali, jadi bertahan sendiri
 
 

Rina dan Dita merupakan dua orang di antara banyaknya warga Tangerang yang memilih untuk menyelesaikan rumah tangganya karena didominasi faktor ekonomi. Tak dimungkiri, kondisi pandemi Covid-19 berperan menyebabkan kondisi ekonomi makin tertekan, hingga membikin tingkat perceraian di Tangerang mengalami peningkatan.

Berdasarkan data laporan perkara Pengadilan Agama Tangerang, jumlah perkara perceraian yang ditangani sepanjang 2021 sebanyak 3.545 perkara. Angka tersebut mengalami peningkatan sekitar 14 persen dari tahun 2020 dengan jumlah perkara sebanyak 3.041.

“Rata-rata setiap tahun angka perceraian meningkat sekitar 10 persen. Pada 2021, jumlahnya mencapai 3.545 perkara dari total perkara yang ditangani 4.564 perkara,” kata Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Tangerang Irvan Yunan kepada Republika.

Irvan menuturkan, faktor penyebab perceraian yang paling tinggi adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dengan sebanyak 2.026 perkara. Lalu, faktor ekonomi dengan jumlah kasus 808 perkara, dan faktor yang disebabkan karena meninggalkan salah satu pihak 278 perkara.

Selebihnya, adalah faktor KDRT, poligami, hingga murtad. “Namun, kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan tekanan ekonomi masyarakat semakin kentara, sehingga sebagian memilih untuk bercerai,” kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat