Petugas memantau tayangan sejumlah televisi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO

Opini

Dakwah di Televisi Versus Media Sosial

Bagaimana jika dakwah itu disiarkan di televisi yang berbasis internet di media sosial?

ASWAR HASAN; Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat

Jika seorang pendakwah tampil di televisi, itu sudah merupakan prestasi sekaligus prestise tersendiri dalam penilaian publik. Namun, penilaian publik tersebut tidak selalu sejalan dengan parameter Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sebab, KPI memiliki standar penilaian tersendiri yang bersifat ketat membingkai kepentingan publik dalam bentuk Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) yang berlaku bagi semua stasiun televisi yang bersiaran di Indonesia.

Bagi lembaga penyiaran TV yang program siarannya berbasis internet dan bersiaran di media sosial, tidak melalui siaran berbasis pada spektrum frekuensi radio yang disiarkan secara free to air, KPI tidak atau belum mengaturnya. Akibatnya, banyak siaran TV yang berbasis media sosial dianggap lebih bebas dan berani memengaruhi pemirsanya, di luar bingkai kenegaraan.

Siaran mereka lebih leluasa membangun konten kritis yang rentan menimbulkan ketersinggungan sosial ataupun kenegaraan hingga potensial memicu konflik kepentingan dalam ranah sosial ataupun dalam tatanan kenegaraan. Tidak jelas siapa yang seharusnya mengawasi dan membingkai siaran TV di media sosial tersebut, demi kemaslahatan bangsa dalam bernegara.

Kerap mencuat keluhan dan protes para pekerja media televisi yang berbasis pada spektrum frekuensi radio yang disiarkan secara free to air karena merasakan ketidakadilan perlakuan kontrol yang begitu ketat dari KPI.

 
Banyak siaran TV yang berbasis media sosial dianggap lebih bebas dan berani memengaruhi pemirsanya, di luar bingkai kenegaraan.
 
 

KPI memang dibentuk oleh UU untuk mengawasi dan mengontrol siaran di lembaga penyiaran (TV dan radio) yang menggunakan frekuensi yang menjadi milik publik.

Frekuensi tersebut, harus dipergunakan untuk peruntukan kepentingan publik dan di situlah KPI diberi peran oleh UU sebagaimana diatur pada Pasal 8 UU No 32 Tahun 2002.

Salah satu aspek konten siaran TV yang dianggap rentan dan sensitif dalam kehidupan kebangsaan dalam bernegara adalah konten siaran keagamaan atau dakwah Islamiyah, terutama jika konten siarannya bersentuhan dengan politik dan SARA. Untuk siaran dakwah di televisi yang menggunakan spektrum frekuensi radio, relatif masih bisa dikontrol dan diawasi serta dievaluasi oleh KPI, sehingga kualitas siarannya bisa menjamin kemaslahatan hayat hidup orang banyak.

Dari hasil riset indeks kualitas program religi (dakwah) oleh KPI di 14 stasiun TV Indonesia, ditemukan bahwa program religi atau dakwah di TV semakin membaik. Rata-rata indeks kualitas program religi pada 2020 adalah 3,46. Indeks tersebut telah mencapai standar program berkualitas yang ditetapkan KPI yaitu 3.00 atau mengalami peningkatan dari indeks kualitas pada 2019 (3,09).

 
Dari hasil riset indeks kualitas program religi (dakwah) oleh KPI di 14 stasiun TV Indonesia, ditemukan bahwa program religi atau dakwah di TV semakin membaik.
 
 

Untuk 2021, tetap masih tinggi meski mengalami penurunan sedikit (3,40) karena adanya penambahan kategori. Indeks kualitas tersebut, sejalan dengan hasil penilaian Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin.

Meskipun menurutnya masih perlu ditingkatkan agar lebih variatif dan inovatif sehingga menarik minat pemirsa (Republika, 29/12-2021).

Dengan demikian, indeks kualitas siaran televisi yang dikontrol KPI lebih menjamin kepentingan publik dibandingkan konten siaran di media sosial yang tidak atau belum jelas siapa yang bertugas mengontrolnya 1 kali 24 jam sebagaimana di KPI.

Formula 5+7

Menurut Kemenag, sebuah dakwah yang baik di di media siaran televisi, setidaknya memenuhi lima prinsip yaitu, pertama, kualitas dainya harus berwawasan kebangsaan dan keislaman yang baik. Kedua, menjunjung tinggi etika hubungan antaragama.

Ketiga, tidak memberi muatan politik praktis serta tidak menjelek- jelekkan keyakinan umat lain. Keempat, menghormati suku, ras dan agama. Kelima, berorientasi pada pembangunan akhlak dan jati diri bangsa.

Sejalan dengan prinsip dakwah yang baik tersebut, Ketua Komisi Dakwah MUI KH Ahmad Zubaidi mengedepankan tujuh hal yang harus diperhatikan setiap dai ketika melaksanakan dakwah tentunya termasuk di media siaran televisi.

Pertama, senantiasa melestarikan penyebaran akidah Islamiyah ala manhaj Ahlusunnah wal jamaah. Kedua, melindungi umat dari ajaran sesat serta menyimpang. Ketiga, berdakwah berdasarkan pijakan ilmu dan akhlak karimah.

 
Berdakwah berdasarkan pijakan ilmu dan akhlak karimah.
 
 

Keempat, menjaga dan memupuk ukhuwah Islamiyah. Kelima, saling menghargai, menghormati, dan bersinergi dengan seluruh aktivis dakwah. Keenam, berdakwah dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Sedangkan ketujuh, mengikuti pedoman dakwah Islam Wasathiyah dan memenuhi arahan dan bimbingan MUI.

Kelima dan ketujuh pirinsip dakwah tersebut, bisa menjadi bingkai dakwah di 14 stasiun televisi bersiaran secara nasional yang menggunakan spektrum frekuensi radio, di bawah kontrol dan pengawasan KPI.

Permasalahannya, bagaimana jika dakwah itu disiarkan di televisi yang berbasis internet di media sosial? Siapa yang mengontrol dan mengawasinya?

Di sinilah terjadinya kekosongan aturan yang berfungsi melindungi kemaslahatan publik dari siaran dakwah yang bisa mencederai nurani dan nalar berkeagamaan bangsa kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat