Seorang anak kampung Arborek meniup kulit Bia alat musik khas Papua di pantai Kampung Arborek, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (27/10/2021). Kampung Arborek menjadi satu-satunya desa wisata di Papua Barat yang lolos nominasi 50 besar Anugerah Desa | ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Nasional

Kebijakan Keamanan Papua Dinilai Membingungkan

Pemerintah harus menentukan sikap tegas menyikapi kejahatan di Papua, seperti yang dilakukan KKB.

JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, pembuat kebijakan di Jakarta belum sepenuhnya memperhatikan asas kecermatan dalam merumuskan arah kebijakan keamanan untuk Papua.

Akibatnya, kebijakan berimplikasi menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat negara sekaligus mengorbankan masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sudah menetapkan KKB sebagai teroris berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

Sementara, baru-baru ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menyatakan, Satgas TNI AD yang bertugas di Papua tidak boleh menganggap KKB sebagai musuh. “Kesatuan sikap dan kecermatan memilih nomenklatur sangat penting bagi petinggi negara dalam menentukan arah hukum dan kebijakan,” ujarnya, Rabu (5/1).

Ia mengungkapkan, Kementerian Luar Negeri RI (KBRI) di Jerman merupakan pihak pertama yang mengusulkan penetapan Organisasi Papua Merdeka (OPM) ke dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT). Hal ini, jelas dia, disampaikan melalui Berita Rahasia KBRI di Berlin pada 7 Februari 2021 atau jauh sebelum terjadinya insiden penembakan Kabinda Papua.

Usman menuturkan, usulan tersebut berasal dari pemikiran tentang adanya kesamaan elemen tindak pidana terorisme dari Uni Eropa dan Republik Indonesia. “Tindakan OPM dianggap memiliki kemiripan dengan tindakan organisasi terorisme di sana (Uni Eropa). Mereka ingin memutus dukungan internasional, termasuk dukungan dana terhadap OPM dengan cara mengupayakan agar organisasi tersebut masuk ke dalam daftar teroris di UE dan juga PBB,” ujarnya.

Namun, Usman mengatakan, saat secara resmi diumumkan, pemerintah justru menggunakan nomenklatur atau istilah KKB bukan OPM.  OPM dan KKB merupakan dua istilah yang memiliki arti dan implikasi pemberlakuan hukum serta kebijakan yang berbeda.

OPM adalah nama dari organisasi yang menyuarakan tuntutan kemerdekaan Papua. Lalu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah bagian bersenjata dari organisasi ini yang mengeklaim bertanggung jawab atas penembakan Kabinda Papua.

Dia menilai, ketidakselarasan atribusi tersebut menjadi cerminan kurang hati-hatinya pemerintah dalam menentukan arah kebijakan. “Separatisme OPM dan TPNPB bertujuan memisahkan diri dari negara, sedangkan UU Nomor 5 Tahun 2018 adalah tindak pidana yang bertujuan menimbulkan suasana teror meluas di masyarakat,” tutur dia.

“Ketika pemerintah menyematkan status organisasi teroris pada kelompok yang dinamakan oleh pemerintah, sebenarnya sama seperti menyematkan label pada suatu organisasi yang tidak ada.”

Imigrasi Mimika

Jajaran Kantor Imigrasi Kelas II TPI Mimika, Papua terus memantau keberadaan orang asing ilegal yang melakukan pelanggaran keimigrasian berupa menyalahi visa dan izin tinggal di wilayah Indonesia atau tidak mengantongi dokumen izin mempekerjakan orang asing (IMTA).

Kepala Subseksi Penindakan Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Kelas II TPI Mimika Harlo Biantong di Timika, Rabu, menyebutkan bahwa meskipun saat ini warga negara asing (WNA) yang masuk ke Timika sangat terbatas yaitu hanya terbatas karyawan PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan subkontraktornya. Namun tidak tertutup kemungkinan ada juga WNA yang masuk untuk bekerja pada tempat-tempat lainnya.

"Selama masa pandemi Covid-19 sejak 2020, orang asing yang masuk ke Timika jumlahnya agak berkurang sehingga penegakan hukum terhadap orang asing yang melakukan pelanggaran keimigrasian memang agak berkurang. Tapi tidak tertutup kemungkinan ada juga orang asing yang masuk untuk bekerja tapi ternyata dokumen keimigrasiannya bukan untuk bekerja," kata Harlo.

Sehubungan dengan itu, Harlo meminta kerja sama dan dukungan dari semua lapisan masyarakat untuk dapat memberitahukan jika menemukan ada orang asing yang dicurigai melakukan pelanggaran keimigrasian.Pada 2021 lalu, Kantor Imigrasi TPI II Mimika sempat mendeportasi satu WNA berkewarganegaraan Kazakhstan atas nama Izzabenkov Nurcambec. Yang bersangkutan dideportasi kembali ke negara asalnya pada Mei 2021 karena terbukti melakukan pelanggaran dokumen keimigrasian.

"Dia bekerja sebagai mekanik pesawat terbang. Sementara izin tinggalnya bukan diperuntukkan untuk itu sehingga yang bersangkutan dideportasi kembali ke negaranya. Seharusnya dia menggunakan dokumen 211 B, tapi dia gunakan dokumen 211 A," jelas Harlo.

Guna mencegah masuknya orang asing ilegal di Mimika, pihak Imigrasi TPI II Mimika menempatkan petugas di Bandara Mozes Kilangin Timika. "Rata-rata orang asing yang masuk ke Mimika sekarang ini memiliki dokumen yang lengkap terutama ekspatriat yang bekerja di PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan subkontraktornya," jelas Harlo.

Beberapa tahun lalu Kantor Imigrasi Kelas TPI II Mimika banyak mendeportasi WNA ilegal yang berasal dari Tiongkok, Korea, Jepang dan beberapa negara lain. Puluhan WNA terutama asal Tiongkat diamankan dari lokasi pertambangan emas ilegal di wilayah Kabupaten Nabire dan di wilayah pertambangan pasir besi ilegal di Kampung Pronggo, Distrik Mimika Barat Tengah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat