Salam Musa (9 tahun) membawa kasur saat dia berjalan di antara tenda setelah hujan di kamp sementara di Deir al-Balah, di Jalur Gaza tengah, pada Jumat, 14 November 2025. | AP Photo/Abdel Kareem Hana

Internasional

Pengungsi Gaza Berjuang Lawan Musim Dingin

Hujan deras membanjiri tenda-tenda pengungsi di Gaza.

GAZA – Musim dingin tiba di Gaza diantar hujan lebat yang  memperburuk penderitaan ribuan pengungsi di Jalur Gaza, membanjiri tenda-tenda mereka yang rapuh. Hal ini terjadi di tengah kondisi kemanusiaan yang buruk akibat agresi pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2013. 

Jurnalis Muhammad Rabah dari Gaza melaporkan, Di Deir al-Balah, di Jalur Gaza tengah, hujan mengguyur tenda-tenda, menyebabkan kerusakan parah pada pakaian dan selimut mereka. Pemandangan ini dengan jelas menggambarkan besarnya tragedi dan meningkatnya krisis kemanusiaan yang dihadapi warga Jalur Gaza. 

"Saya tiba di Deir al-Balah dari Rafah setelah tujuh kali mengungsi selama perang." Ia menambahkan, “Hujan tiba-tiba membanjiri tenda kami, dan angin menumbangkan tenda-tenda lain di kamp pengungsi,” kata pengungsi Abdul Rahim Hamid mengatakan.

“Cuaca badai ini memerlukan penyediaan tenda segera bagi para pengungsi untuk melindungi mereka.” Ia menambahkan, “Hidup menjadi sangat sulit, dan hujan telah memperburuk penderitaan para pengungsi.” 

photo
Anak-anak Palestina mengambil air dari truk di tengah hujan badai di lingkungan Sheikh Radwan di Kota Gaza, Jumat, 14 November 2025. - ( AP Photo/Jehad Alshrafi)

Serangan Israel telah menghancurkan seluruh atau sebagian sekitar 92 persen bangunan tempat tinggal di Gaza, memaksa sebagian besar penduduk mengungsi ke tenda-tenda yang tidak memberikan perlindungan, atau kembali ke rumah mereka yang rusak meskipun ada risiko runtuh akibat banjir.

Sementara Aljazirah Arabia melansir,  pengungsi di Jalur Gaza memasuki musim dingin tanpa mendapatkan kebutuhan hidup yang paling mendasar: tempat tinggal yang aman, kehangatan, makanan, dan perawatan medis. Jika tidak ada intervensi yang mendesak dan berskala besar, musim dingin akan menjadi ujian berat yang dapat merenggut banyak nyawa dan menuntut tindakan segera untuk melindungi kemampuan mereka dalam menanggung kesulitan dalam jangka panjang. 

“Setelah air hujan membanjiri tenda kami, saya menemukan diri saya, istri saya, dan anak-anak saya mengambang di genangan air. Saya tidak tahu apa yang harus saya selamatkan terlebih dahulu, tenda atau anak-anak saya. Segala sesuatu di sekitar kami basah: kasur, pakaian, dan sedikit makanan yang kami miliki,” pengungsi Samir Khater mengatakan kepada Aljazirah.

photo
Seorang anak laki-laki menarik troli buatan sendiri yang berisi jerigen plastik berisi air di lingkungan Sheikh Radwan, Kota Gaza, Jumat, 14 November 2025. - (AP Photo/Jehad Alshrafi)

“Kami mencoba membuat saluran air dengan tangan kami, namun hujan berubah menjadi musuh dan tenda tidak cukup kuat untuk melindungi kami. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah melindungi anak-anak kami dari hawa dingin."

Tenda-tenda yang tersebar di seluruh wilayah pengungsian lebih seperti tempat penampungan sementara yang tidak dapat dihuni, terbuat dari kain compang-camping yang tidak melindungi dari fluktuasi cuaca atau hujan musim dingin. Seemntara infrastruktur sama sekali tidak ada; tidak ada listrik, tidak ada air bersih, dan tidak ada fasilitas sanitasi yang memadai, sementara keluarga-keluarga berdesakan di ruang-ruang sempit yang tidak menyediakan privasi dan keamanan. 

Saat hujan pertama turun, lumpur membuat tenda-tenda menjadi tidak bisa dihuni, dan air merembes ke dalam tenda, merendam beberapa kasur dan selimut. Malam yang dingin menjadi cobaan ganda, karena para pengungsi menghabiskan waktu berjam-jam dengan sia-sia untuk mengeringkan apa yang mereka bisa atau mengangkat barang-barang mereka dari tanah basah. 

Setiap kali hujan semakin deras, warga khawatir tenda mereka akan roboh atau terendam banjir, sehingga tidur menjadi sebuah kemewahan yang langka. Tekanan psikologis terhadap keluarga semakin meningkat karena kurangnya alternatif yang aman, karena mereka terus-menerus mengantisipasi perubahan cuaca sambil berusaha mengamankan tiang tenda yang compang-camping dengan potongan kain dan tali sederhana.

photo
Seorang pria Palestina mengeluarkan air dari atap tenda saat hujan, saat gencatan senjata antara Israel dan Hamas, di Kota Gaza, 14 November 2025. - (REUTERS/Dawoud Abu Alkas)

Saat matahari terbit, pertempuran baru dimulai: membersihkan dan mengeringkan tenda, sebuah cobaan yang tidak kalah beratnya dengan sebelumnya.

Seorang perempuan pengungsi Palestina yang berlindung di tenda yang kebanjiran di Gaza mengatakan cuaca yang memburuk telah membuatnya “kelelahan”.

Badan-badan bantuan memperingatkan bahwa Israel terus memblokir tenda-tenda dan perumahan sementara agar tidak memasuki Jalur Gaza. "Saya menangis sejak pagi... Bagaimana saya bisa membuang air di dalam tenda? Bagaimana saya bisa mengatasi masalah saya? Saya masih muda dan saya hanya butuh bantuan," katanya.

"Saya seorang janda. Saya tidak punya ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau siapa pun. Saya tidak punya siapapun untuk berpaling. Saya orang asing di sini. Tidak ada yang membantu saya."

Hujan deras telah membasahi tempat penampungan sementara di seluruh Gaza, dan banyak keluarga yang melaporkan naiknya permukaan air, membasahi tempat tidur, dan runtuhnya bangunan. Kelompok-kelompok bantuan mengatakan banjir memperburuk kondisi kehidupan ribuan warga Palestina yang mengungsi dan meningkatkan kekhawatiran akan penyakit yang ditularkan melalui air.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (republikaonline)

"Kami kelelahan atas semua yang kami lalui selama perang ini. Begini, saya tidak punya kasur atau selimut. Anak-anak saya masih kecil. Mereka membutuhkan pakaian musim dingin," kata wanita itu. "Saya hanya ingin pesan saya sampai ke seluruh dunia. Tubuh saya lelah karena semua ini."

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengungkapkan angka-angka mengkhawatirkan yang mencerminkan krisis medis yang parah di Jalur Gaza. Lebih dari 900 pasien meninggal saat menunggu evakuasi medis akibat pembatasan Israel dalam mengeluarkan izin perjalanan untuk perawatan di luar Gaza.

WHO menjelaskan bahwa sekitar 16.500 pasien masih menunggu persetujuan untuk dievakuasi, termasuk 4.000 anak-anak yang sangat membutuhkan bantuan medis untuk menyelamatkan nyawa. Organisasi tersebut memperingatkan bahwa penundaan lebih lanjut dalam menangani kasus-kasus kritis sama dengan hukuman mati.

WHO juga mencatat bahwa rumah sakit di Gaza beroperasi kurang dari setengah kapasitasnya karena kekurangan bahan bakar, obat-obatan, dan pasokan penting.

Sejak Mei 2024, organisasi tersebut telah melaksanakan 119 misi evakuasi, berhasil memindahkan 8.000 pasien untuk perawatan di luar Gaza, termasuk 5.500 anak-anak. Namun, ribuan pasien masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan, menghadapi masa depan yang tidak pasti di tengah runtuhnya sistem layanan kesehatan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat