Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis memberikan Tausiyah pada acara Muhasabah dan Istighotsah Kubra Akhir Tahun 2021 di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (30/12). Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengelar acara Muhasabah dan | Prayogi/Republika.

Khazanah

Berdakwahlah Secara Santun

Dakwah dimaksudkan untuk merangkul, bukan memukul pihak lain.

JAKARTA – Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi, mengimbau para dai agar berdakwah sesuai dengan pedoman dakwah Islam wasathiyah.

Imbauan ini disampaikan untuk merespons insiden perusakan pesantren di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diduga akibat seorang penceramah menghina kearifan lokal masyarakat setempat.

Kiai Zubaidi mengaku prihatin dengan kondisi perdakwahan saat ini. Sebab, masih saja ada dai yang menyampaikan pesan dakwahnya dengan bahasa yang tidak santun dan tidak menghormati kearifan lokal. Akibatnya, timbul masalah dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum atau masyarakat.

Dalam hal dakwah, lanjut Kiai Zubaidi, MUI memiliki sebuah program, yakni stadardisasi dai. Dalam program ini, para dai diarahkan untuk berdakwah dengan pedoman dakwah Islam wasathiyah. Pedoman ini sudah diterbitkan oleh Komisi Dakwah MUI pada 2017. Inti dari pedoman itu adalah dalam berdakwah para dai harus memperhatikan Ahlussunah waljamaah, berdakwah dengan kalimat yang santun, sopan, dan etis.

"Tidak kalah pentingnya lagi para dai kita harus berdakwah dengan akhlakul karimah dan menghormati local wisdom atau apa yang menjadi nilai-nilai lokal yang dihormati," ujarnya.

Kiai Zubaidi juga menjelaskan, dai harus pandai menyampaikan sesuatu, artinya kalau sesuatu itu dipandang bertentangan dengan Islam maka sampaikan dengan pelan-pelan. Kalau sesuatu itu masuk wilayah khilafiyah, harus saling menghormati.

"Kalau sesuatu itu dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, penyimpangan itu yang bisa menentukan adalah lembaga keagamaan seperti MUI, tidak boleh memutuskan (sendiri) sesuatu itu menyimpang atau kafir dan lain sebagainya," ujar dia.

Selain itu, ia menegaskan, dai juga harus berdakwah dengan senantiasa memperhatikan konteks kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kemudian, kepada masyarakat, Kiai Zubaidi mengimbau agar jangan main hakim sendiri. Kalaupun ada dai yang dinilai melanggar etika dakwah dan kearifan lokal, pendekatannya tentu dengan pendekatan dialogis. Bisa juga dengan cara diserahkan ke aparat hukum kalau dipandang perbuatan itu melanggar hukum.

"Jangan main hakim sendiri, kalau main hakim sendiri yang main hakim sendiri juga melanggar hukum," katanya.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan prihatin atas kasus perusakan Pondok Pesantren as-Sunnah, Aikmel, Lombok Timur, NTB oleh sekelompok orang tidak dikenal pada Ahad (2/1) dini hari.

Kemenag menjelaskan, peristiwa perusakan pesantren itu diduga dipicu oleh viralnya ceramah ustaz dari pesantren tersebut yang mengatakan, “Makam Selaparang, Sukarbela, Alibatu tain basong (kotoran anjing).”

Sementara, Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Kusyairi Suhail mengatakan, setiap juru dakwah, guru atau ustaz merupakan du’at (juru dakwah) bukan qudhat (hakim). Dia juga mengingatkan bahwa pada hakikatnya berdakwah merupakan ajakan untuk berbuat kebaikan, bukan justru mengejek, menyudutkan, atau menghina suatu kelompok atau golongan tertentu.

“Berdakwah itu mengajak bukan mengejek, membina bukan menghina, merangkul bukan memukul,” ujar dia.  

Menurut dia, setiap pendakwah harus mempertimbangkan dan memperhatikan adab, adat, kultur masyarakat dan metode berdakwah yang tepat untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman atau perpecahan. Jika pembahasan yang diangkat berkaitan dengan persoalan perbedaan pendapat, pandangan dan sikap (khilafiyah), setiap pendakwah sepatutnya tidak memaksakan pendapat.

Dia juga menegaskan bahwa segala tindakan anarkis, dengan dalih apa pun, tidak bisa dibenarkan. Perlu kesadaran bersama, bahwa ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam harus ditempatkan sebagai prioritas di atas segalanya.

“Karenanya, tuan guru, para ulama, para tokoh masyarakat setempat perlu menginisiasi untuk duduk bersama dan melakukan silaturahim dan dialog dengan kepala dingin.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat