Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Literatur Islam Indonesia: Relevansi

khazanah pemikiran Islam meninggalkan banyak legacy yang tetap kontekstual dan relevan.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA 

Apa relevansi literatur Islam Kepulauan Nusantara di abad-abad silam bagi umat Muslimin Indonesia pada masa kini dan datang? Jawabannya, khazanah pemikiran atau intelektualisme Islam (turats) meninggalkan banyak legacy yang tetap kontekstual dan relevan hari ini dan ke depan.

Pertama-tama yang paling relevan adalah ortodoksi wasathiyah Islam representasi Islam tengahan. Sejak abad ke-16 dan lebih-lebih abad ke-17 dan seterusnya mengaktualisasikan rekonsiliasi atau rapprochement, saling mendekat dan menyesuaikan satu sama lain di antara fiqh dengan tasawuf. Keduanya sering disebut sebagai ‘dua sisi’ dari ‘koin mata uang’ yang sama.

Dengan rekonsiliasi, tasawuf yang telah sesuai dengan ketentuan fiqh bergeser dari doktrin dan praktik antinomian atau filosofis-teoretis yang menimbulkan pasivisme menjadi aktivisme. Tasawuf beserta tarekat yang aktivis itu disebut kalangan ahli pengkajinya sebagai ‘neo-Sufisme’.

Juga dengan rekonsilisasi fiqh dan tasawuf, ulama menjadi sosok mengintegrasikan keduanya dalam keilmuan, keahlian, pemahaman, dan praksis Islam sehari-hari. Kenyataan ini berbeda dengan asumsi dan argumen sebagian ahli dan pengkaji Islam masa kontemporer yang memisahkan—atau bahkan mempertentangkan—di antara keilmuan, keahlian, dan praksis ulama dalam kedua bidang itu.

 
Pertama-tama yang paling relevan adalah ortodoksi wasathiyah Islam representasi Islam tengahan.
 
 

Para ulama mencerminkan keterpaduan. Kenyataan ini bisa dilihat dari sosok ulama sejak abad ke-16, Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani; abad ke-17, Abdurrauf al-Singkili, Nuruddin al-Raniri, Muhammad Yusuf al-Makassari; abad ke-18, Abdusshamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis al-Banjari; abad ke-19, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifa’i, Mahfudz al-Termasi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Khatib al-Sambasi, Saleh Darat al-Samarani, Hasan Mustafa, dan banyak lagi.

Khazanah literatur yang diproduksi dan direproduksi dalam abad-abad panjang ini masih belum dikaji sepenuhnya. Kajian-kajian yang sudah ada—baik yang dilakukan sarjana Indonesia sendiri maupun sarjana asing masih belum memadai dan belum komprehensif. Ini benar dari segi sejarah pemikiran dan intelektualisme Islam ataupun sejarah sosial, yang dapat mengungkapkan dinamika Islam dan kaum Muslimin dalam fase-fase sejarah berkesinambungan dengan tantangan yang juga berbeda.

Namun, satu hal bisa dipastikan: neo-Sufisme aktivis seperti tecermin dalam khazanah literatur Islam Kepulauan Nusantara sejak abad ke-17 memperlihatkan terjadinya peningkatan kolonialisme Belanda. Gerakan perlawanan tokoh ulama-Sufi sejak abad ke-17 juga menemukan momentum khususnya seperti terlihat dalam sosok Yusuf al-Makasari.

Pada abad ke-18, ‘Abdusshamad al-Palimbani menyerukan jihad melawan Belanda lewat karyanya Fadha’il al-Jihad wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabil Allah wa al-Karamat al-Mujahidin fi Sabil Allah. Dia juga mengirim surat-surat kepada Sultan Mataram untuk bangkit menjadi panglima jihad melawan kolonialis Belanda; sayang surat-surat itu berhasil dicegat Belanda sehingga tak pernah sampai ke Sultan.

 
Dari segi literatur, ajaran dan semangat jihad itu disebarkan sosok ulama yang menampilkan kesatuan kepakaran fiqh-tasawuf, seperti Ahmad Rifa’i Kali Salak atau Ahmad Khatib Sambas.
 
 

Jihad melawan kolonialisme Belanda terus berlanjut pada abad ke-19. Dari segi literatur, ajaran dan semangat jihad itu disebarkan sosok ulama yang menampilkan kesatuan kepakaran fiqh-tasawuf, seperti Ahmad Rifa’i Kali Salak atau Ahmad Khatib Sambas.

Sedangkan jihad perlawanan fisik dengan semangat neo-Sufisme diperlihatkan tokoh pejuang melawan Belanda, seperti Pangeran Diponegoro, penganut Tarekat Syatariyah yang mengobarkan dan memimpin Perang Jawa (1825-1830).

Fenomena yang sama juga diperlihatkan Tuanku Nan Tuo, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah dengan murid-muridnya yang terkenal, seperti Jalaluddin Faqih Saghir, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol (Perang Padri 1803-1837).

Semangat dan praksis neo-Sufisme juga terlihat jelas dalam Peristiwa Geger Cilegon (1888). Bergerak dengan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) warisan Ahmad Khatib Sambas, pimpinan peristiwa ini, seperti Haji Abdulkarim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid mengegerkan pemerintah kolonial Belanda di Batavia.

Semangat jihad jelas masih relevan dan kontekstual dengan tantangan umat-bangsa Indonesia hari ini dan masa depan. Jelas jihad bukan dalam pengertian perang fisik, melainkan jihad—berusaha keras dan sungguh-sungguh—memajukan Islam dan umat dalam banyak bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, dakwah, politik, sosial-budaya, dan seterusnya.

 
Aktivisme neo-Sufisme jelas juga masih sangat relevan dalam kehidupan kini dan datang yang penuh berbagai disrupsi dan disorientasi. 
 
 

Aktivisme neo-Sufisme jelas juga masih sangat relevan dalam kehidupan kini dan datang yang penuh berbagai disrupsi dan disorientasi. Spiritualitas neo-Sufisme dapat mendorong terwujudnya kehidupan lebih bermakna dalam berbagai aspek di tengah banyak disrupsi dan disorientasi.

Tak kurang pentingnya adalah integrasi antara fiqh dengan tasawuf. Fiqh merupakan yurisprudensi yang membimbing umat Muslim untuk dapat mengamalkan Islam sesuai dengan ortodoksi. Tetapi, berkat keterpaduan dengan tasawuf, kepengikutan kepada fiqh tidak membuat umat terperangkap dalam legalisme yang kaku dan membelenggu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat