Pegiat UMKM menata produk yang dipamerkan dalam Gelar Produk Dekranasda dan Puncak Peringatan Hari Ibu di Taman Sumenep, Menteng, Jakarta, Rabu (22/12/2021). | Prayogi/Republika.

Opini

Penguatan UMKM

Yang lebih utama UMKM membutuhkan arah yang jelas ke mana mereka akan dibawa.

Oleh PITER ABDULLAH REDJALAN

PITER ABDULLAH REDJALAN, Direktur Riset CORE Indonesia

UMKM memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari kontribusinya terhadap total output atau produk domestik bruto (PDB), juga dari penciptaan lapangan kerja. Merujuk data Asian Development Bank (ADB), pada 2018 jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta usaha (99,99 persen) dan menyerap 117 juta tenaga kerja (97 persen).

Banyak negara maju mengandalkan UMKM untuk memperkokoh perekonomian mereka. Jepang dan Korea Selatan, misalnya. Pada 2016, jumlah UMKM di Jepang sekitar 3,5 juta usaha atau 99,7 persen dari total usaha. Dengan jumlah yang demikian besar, UMKM menyerap sekitar 70 persen dari total penyerapan tenaga kerja.

Sama dengan Jepang, pada 2014 jumlah UMKM di Korea Selatan mencapai 3,5 juta usaha atau 99,9 persen dari total usaha, dan menyerap sekitar 87,9 persen dari total tenaga kerja.

Sekilas peran UMKM di Indonesia mirip dengan Jepang dan Korea Selatan, khususnya bila dilihat dari jumlahnya yang besar dan perannya dalam menciptakan lapangan kerja. Tetapi sangat berbeda ketika kita bandingkan produktivitas dan kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah.

 
Sama dengan Jepang, pada 2014 jumlah UMKM di Korea Selatan mencapai 3,5 juta usaha atau 99,9 persen dari total usaha, dan menyerap sekitar 87,9 persen dari total tenaga kerja.
 
 

UMKM di Jepang dalam setahun menciptakan nilai tambah senilai 135,1 triliun yen (53 persen), yang artinya setiap UMKM di Jepang rata-rata menciptakan nilai tambah senilai 38,6 juta yen, atau 4,8 miliar rupiah setahun. Lebih besar dari UMKM di Jepang, rata-rata nilai tambah yang diciptakan setiap UMKM Korea Selatan adalah sebesar 2,1 miliar won, atau 25 miliar rupiah setahun.

Sementara itu, total nilai tambah yang diciptakan oleh UMKM Indonesia dalam setahun adalah sebesar 4.869 triliun rupiah. Dengan kata lain, setiap UMKM di Indonesia hanya mampu menciptakan nilai tambah rata-rata sebesar 75 juta rupiah setahun. Sangat kecil dibandingkan nilai tambah yang diciptakan oleh UMKM di Jepang dan Korea Selatan.

Dengan penciptaan nilai tambah yang begitu besar dapat dipahami bagaimana UMKM di Jepang dan Korea Selatan memiliki peran yang sangat signifikan dalam perekonomian nasional. UMKM di Jepang dan Korea Selatan di satu sisi mampu menciptakan penghasilan dan daya beli yang tinggi sehingga menjadi pasar potensial bagi tumbuhnya industri besar di dalam negeri. Di sisi lain, UMKM juga mampu menjadi rekanan dengan memasok berbagai kebutuhan dari industri besar. Sinergi terjadi antara UMKM dan industri besar.

Sangat berbeda dengan UMKM di Indonesia. UMKM Indonesia tidak mampu berperan banyak dalam menciptakan penghasilan dan daya beli bagi para pelakunya. Banyak usaha mikro, khususnya ultra mikro yang masih terjebak dalam jurang kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan, UMKM Indonesia juga tidak banyak berperan dalam supply chain industri nasional.

 
Sangat berbeda dengan UMKM di Indonesia. UMKM Indonesia tidak mampu berperan banyak dalam menciptakan penghasilan dan daya beli bagi para pelakunya.
 
 

Program pemberdayaan

Peran besar UMKM di Jepang dan Korea selatan tidak lepas dari program pengembangan dan pemberdayaan, yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Fokus dari program-program pengembangan tersebut adalah bagaimana meningkatkan daya saing UMKM di pasar global.

UMKM senantiasa didorong untuk melihat celah pasar (niche) di pasar domestik dan menjalin kerja sama dengan para pengekspor sehingga bisa melakukan penetrasi di pasar global. Mereka juga diberdayakan untuk bisa memanfaatkan permintaan yang besar dari para usaha besar (konglomerasi).

Pertumbuhan dan produktivitas UMKM di Jepang dan Korea Selatan sangat terbantu oleh permintaan usaha-usaha besar, tetapi di sisi lain usaha-usaha besar tersebut juga mendapatkan manfaat yang tidak kecil dari keberadaan UMKM. Dari UMKM, mereka bisa menurunkan biaya dengan meningkatkan skala ekonomi sekaligus juga mendapatkan keuntungan, baik dari pasar domestik maupun pasar global.

Sinergi pemberdayaan UMKM, seperti di Jepang dan Korea Selatan, sayangnya belum terjadi di Indonesia. UMKM di Indonesia seperti dimanjakan oleh berbagai program, baik dari kementerian dan lembaga maupun dari BUMN dan BUSN. Tetapi, program-program tersebut cenderung bersifat parsial dan jauh dari kata sinergi.

Walaupun sudah ada kementerian yang khusus membidangi koperasi dan UMKM, kementerian dan lembaga lain serta BUMN, seperti tidak ingin ketinggalan membuat kebijakan dan menciptakan program pengembangan dan pemberdayaan UMKM.

 
Walaupun sudah ada kementerian yang khusus membidangi koperasi dan UMKM, kementerian dan lembaga lain serta BUMN, seperti tidak ingin ketinggalan membuat kebijakan dan menciptakan program pengembangan dan pemberdayaan UMKM.
 
 

Terakhir misalnya, Bank Indonesia pada akhir Agustus yang lalu mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) No: 23/13/PBI/2021 Tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Dan Unit Usaha Syariah. Peraturan ini bertujuan untuk mendorong inklusi keuangan/perbankan yang ditandai oleh meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM oleh perbankan.

PBI No 23 Tahun 2021 sesungguhnya memiliki tujuan yang mulia, tetapi sayangnya kebijakan ini seperti berjalan sendiri tanpa koordinasi dan memunculkan dispute kewenangan dengan lembaga lain, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, kebijakan Bank Indonesia tersebut juga dinilai tidak akan cukup efektif membantu pembiayaan UMKM.

PBI No 23 Tahun 2021 lebih ditujukan untuk meningkatkan kredit perbankan kepada UMKM dari sisi supply. Sementara sesungguhnya, permasalahan rendahnya kredit perbankan kepada UMKM lebih disebabkan oleh sisi demand. Rendahnya produktivitas, tingginya biaya dan risiko, adalah permasalahan utama yang menyebabkan sebagian besar UMKM menjadi tidak bankable. Dengan begitu, permintaan kredit juga menjadi rendah.

Sinergi program

Yang kita butuhkan untuk memberdayakan UMKM bukan kebijakan dan program baru. Kebijakan dan program pengembangan dan pemberdayaan UMKM sudah banyak dan bertumpuk. Yang lebih kita butuhkan adalah bagaimana menyinergikan berbagai kebijakan dan program dari semua kementerian, lembaga, BUMN, dan BUSN.

Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM beragam dan kompleks. UMKM tidak hanya butuh pembiayaan berupa kredit perbankan. Tidak juga sekadar butuh bantuan pemasaran. UMKM membutuhkan semuanya. Dan yang lebih utama, UMKM membutuhkan arah yang jelas ke mana mereka akan dibawa.

 
UMKM membutuhkan semuanya. Dan yang lebih utama, UMKM membutuhkan arah yang jelas ke mana mereka akan dibawa.
 
 

Harus ada misi besar yang menjiwai semua kebijakan serta program pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Dengan demikian, berbagai kementerian dan lembaga, juga BUMN dan BUSN bisa mengambil peran yang tepat dalam melaksanakan misi besar tersebut. Misalnya, misi besar meningkatkan daya saing UMKM di level global. Kementerian koperasi dan UMKM bisa mengambil peran sebagai koordinator, yang mengorkestra kebijakan dan program dari semua kementerian, lembaga, BUMN, dan BUSN. Sedangkan kementerian dan lembaga, BUMN, dan BUSN bisa fokus pada kebijakan dan program sesuai bidangnya yang saling melengkapi satu sama lainnya.

Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian seharusnya fokus memberikan konsultasi kepada UMKM agar bisa melakukan penetrasi ke pasar global. Bank Indonesia bisa fokus kepada kebijakan yang bisa menurunkan suku bunga kredit bagi UMKM, dan OJK bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih memudahkan bank untuk menyalurkan kredit kepada UMKM. BUMN dan BUSN seperti halnya para konglomerat di Jepang dan Korsel, bisa mengembangkan pola kemitraan yang akan membantu UMKM dari sisi produksi dan pemasaran.

Selama sinergi hanya dijadikan sebuah slogan sementara kebijakan ataupun program pengembangan dan pemberdayaan UMKM masih terus berjalan sendiri-sendiri, selama itu pula UMKM kita hanya besar dari sisi jumlah, tetapi lemah dari sisi produktivitas. Selama itu juga UMKM tidak akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Sinergi menjadi kata kunci.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat