Tokoh Muhammadiyah dari Padang Pariaman Buya Oedin. | DOK REPRO Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Me

Mujadid

Buya Oedin, Penggerak Muhammadiyah Sumbar

Buya Oedin memperotes keras tindakan kasar prajurit Jepang itu di rumah ibadah Islam.

OLEH MUHYIDDIN

 

 

Ranah Minang memunculkan banyak pejuang nasional. Sejak masa kolonial, ada banyak tokoh pergerakan yang lahir dari Sumatra Barat (Sumbar).

Sebut saja, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, dan lain-lain. Di samping itu, ada seorang sosok lainnya yang juga berasal dari daerah tersebut. Dialah Buya Oedin.

Mungkin, namanya kurang begitu populer dibandingkan para pahlawan nasional yang berdarah Minangkabau. Akan tetapi, heroismenya dapat disejajarkan dengan tokoh besar, semisal Buya Hamka. Sebab, peran dan kontribusinya terutama berkaitan dengan dunia dakwah dan pendidikan, khususnya melalui Persyarikatan Muhammadiyah.

Mengutip penjelasan dari buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014), Buya Oedin lahir pada Agustus 1907 di Kurai Taji. Distrik itu kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar. Ibundanya bernama Raalin, yang juga pernah menjadi seorang pengurus ‘Aisyiyah setempat. Adapun ayahandanya, Hatta, merupakan seorang kepala dusun.

Oedin menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampung kelahirannya. Sejak masih belia, dia sudah dididik untuk hidup mandiri dan bersahaja. Keluarganya bermata pencaharian sebagai pedagang kecil. Pada tiap waktu luang, anak lelaki ini selalu membantu kedua orang tuanya berjualan di pasar. Ia tidak segan-segan untuk memikul barang-barang dagangan.

 
Bakat kepemimpinannya semakin tampak. Keahliannya dalam berorasi dan menyampaikan pikiran di depan umum juga muncul.
 
 

 

Lingkungan pasar sedikit-banyak turut memengaruhi wataknya kala itu. Oedin muda pun termasuk remaja yang sukar diatur dan nakal. Malahan, pendidikan formalnya terhenti sampai kelas dua sekolah rakyat (SR).

Akan tetapi, kenakalannya tidak melunjak. Berkat didikan Buya AR Sutan Mansur, remaja Minang itu mulai kembali serius belajar. Tidak lagi dirinya larut dalam bersenang-senang atau menyia-nyiakan waktu. Sang buya merupakan seorang ulama yang cukup berpengaruh pada masa itu.

Bagi Oedin muda, mubaligh yang berjulukan Imam Muhammadiyah Sumatra itu sudah seperti bapak kandungnya sendiri. Buya Sutan Mansur pun menyayanginya dengan sepenuh hati. Tokoh Muhammadiyah itu percaya, kelak pemuda Muslim ini dapat tumbuh menjadi seorang ahli agama, asalkan tekun belajar.

Dengan bimbingan dari Buya Mansur, watak islami Oedin pun kian terarah dan terasah. Akhlaknya kian membaik dan terus berbudi luhur. Bahkan, bakat kepemimpinannya pun semakin tampak. Keahliannya dalam berorasi dan menyampaikan pikiran di depan umum juga muncul.

 
Sejak muda, dia sudah sering berurusan dengan polisi kolonial. Walaupun begitu, tak sedikit pun rasa takut terbit dalam pribadinya.
 
 

Pada masa itu, Tanah Air masih dilanda penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda sangat mencurigai setiap upaya untuk membangkitkan nasionalisme di kalangan penduduk lokal. Apalagi, anak-anak muda yang berusaha untuk memprotes rust en orde atau tatanan Hindia Belanda.

Seperti banyak kaum muda di Minangkabau kala itu, Oedin pun sangat membenci kolonialisme. Sejak muda, dia sudah sering berurusan dengan polisi kolonial. Walaupun begitu, tak sedikit pun rasa takut terbit dalam pribadinya. Ia tetap saja rajin mengadakan rapat atau pertemuan dengan kawan-kawan sebayanya, membicarakan langkah perjuangan dalam melawan Belanda.

Saat masih berusia 19 tahun, Oedin ditangkap oleh polisi Belanda di Kurai Taji. Bersama dengan kawan-kawannya, ia dituduh sedang melakukan permufakatan untuk memusuhi pemerintah. Hingga senja tiba, mereka digiring ke sebuah rumah tahanan. Beruntung, pada malam harinya Oedin dan rekan-rekan dapat melarikan diri setelah menjebol jendela sel yang tidak terkunci.

photo
Tokoh Muhammadiyah dari Padang Pariaman Buya Oedin. - (DOK REPRO Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Me)

Ber-Muhammadiyah

Sebagai pemuda berumur 22 tahun, Oedin sudah dianggap layaknya tokoh oleh masyarakat setempat. Terlebih lagi, dia cukup lama menjadi anak didik Buya Sutan Mansur. Maka, aktivitas sosialnya di tengah umum banyak tersalurkan melalui Muhammadiyah.

Pada 25 Oktober 1929, ia bersama dengan sejumlah kawan memelopori berdirinya Muhammadiyah cabang Kurai Taji. Ini merupakan rintisan cabang Muhammadiyah yang ketiga di seluruh Sumatra Tengah. Adapun dua filial sebelumnya berdiri di Bukittinggi dan Padangpanjang.

Tentunya, Muhammadiyah tidak tiba-tiba masuk ke Kurai Aji. Pengaruh persyarikatan itu mulai terasa di tengah penduduk lokal sejak diperkenalkan oleh seorang putra daerah setempat, yakni Haji Sd Muhammad Ilyas. Mubaligh tersebut mula-mula merantau ke Yogyakarta. Di wilayah keraton itu, adik ipar Oedin tersebut mempelajari ideologi dan pergerakan organisasi yang dirintis KH Ahmad Dahlan ini.

Pendirian cabang Muhammadiyah di Kurai Taji berlangsung secara lancar. Kaum Muslimin setempat sangat mendukung. Persyarikatan pun turut menggerakkan aktivitas dakwah dan pendidikan Islam di sana.

 
Oedin tidak selamanya menetap di Kurai Taji. Sejak menikah, ia mulai merantau ke luar ranah Minang.
 
 

Oedin tidak selamanya menetap di Kurai Taji. Sejak menikah, ia mulai merantau ke luar ranah Minang. Istri pertamanya adalah seorang gadis bernama Mayang Sani. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai seorang putri, Nur’aini. Akan tetapi, bahtera rumah tangga itu tidak bertahan lama. Karena suatu alasan, pasangan itu lantas bercerai.

Merantaulah Oedin ke Jambi, sambil membantu ibundanya berdagang. Kehidupan sulit dirasakannya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Untuk mendukung penghasilan, ia pernah bekerja pada seorang India, mengemudi kapal dagang antarpulau. Dalam rihlah niaga ini, dia sempat menjejakkan kaki di Temasek, pulau yang kini bernama Singapura.

Ketika tinggal di Jambi, Oedin mendengar kabar bahwa Kongres ke-19 Muhammadiyah diusulkan bertempat di Sumbar. Ternyata, usulan itu diterima Pengurus Pusat Muhammadiyah. Maka pada 1930 seluruh petinggi ormas tersebut bertemu di Bukittinggi. Waktu itu, ketua umum persyarikatan ini ialah KH Ibrahim.

Oedin lantas dipanggil pulang oleh Muhammadiyah cabang Sumbar. Dari Jambi, dia bertolak ke Bukittinggi. Sesampainya di sana, ia aktif dalam kepanitiaan Kongres Muhammadiyah.

 
Ketika tinggal di Jambi, Oedin mendengar kabar bahwa Kongres ke-19 Muhammadiyah diusulkan bertempat di Sumbar.
 
 

Usai acara tersebut, Konferensi Muhammadiyah V dihelat di Payakumbuh pada 13-16 Juni 1930. Hasil dari kegiatan tersebut adalah peleburan entitas Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau ke cabang di Sumatra Tengah. Ditetapkan pula struktur kepengurusan baru untuk Muhammadiyah Sumatra Tengah. Di dalamnya, Oedin duduk sebagai salah seorang pengurus.

Kesibukannya pun kian bertambah. Ia kerap menyambangi daerah-daerah untuk merintis cabang Muhammadiyah. Sewaktu mengelola Panti Asuhan Muhammadiyah Kurai Taji, Oedin berjumpa dengan seorang perempuan, Rafiah Jaafar. Keduanya lantas menikah. Pasangan bahagia ini dikaruniai tujuh anak, yakni Saadah, Safinah, Fakhrudin, Asdie, Hizbullah, Hasnah dan Sumarman.

Melalui Muhammadiyah, mubaligh tersebut tumbuh menjadi tokoh daerah Sumbar. Bahkan, reputasinya juga dikenal hingga ke Jakarta. Lingkar persahabatannya kian luas, mencakup sejumlah figur nasional, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, dan lain-lain.

Tatkala presiden pertama RI itu berada dalam pengasingan Belanda di Bengkulu, Oedin pernah menunjuknya sebagai sekretaris sewaktu rapat internal Muhammadiyah.

Tak Gentar

Pada 1942, situasi berubah drastis. Belanda tunggang-langgang. Pasukan Jepang masuk dan menguasai Nusantara. Di Sumbar, dengan cepat Dai Nippon mengukuhkan tatanan pemerintahan yang baru.

Daerah Padang Pariaman, termasuk Kurai Taji, tidak imun dari dominasi Jepang. Bagaimanapun, sikap pemerintahan pendudukan Nippon kala itu merangkul tokoh-tokoh lokal. Buya Oedin dan para kader Muhammadiyah setempat juga didekati oleh mereka.

Taktik strategi penjajah saat itu adalah mengangkat para tokoh agama Islam untuk membantu kepentingan Jepang. Buya Oedin, yang termasuk salah seorang figur lokal, diharapkan bisa memberikan nasihat bagi pasukan Nippon.

Akan tetapi, sikap riil Jepang tidak semanis propaganda. Banyak tentara Nippon yang bertindak kasar. Bahkan, ada dari gerombolan mereka yang tidak sopan di sebuah masjid. Buya Oedin amat geram begitu mendengar kabar tersebut.

Ia segera menemui seorang komandan Jepang di Kurai Taji. Kepadanya, Buya Oedin memperotes keras tindakan kasar prajurit Jepang itu di rumah ibadah Islam. Mendapatkan bentakan itu, si komandan naik pitam dan sampai-sampai menghunuskan pedangnya.

 
Buya Oedin lantas mengeluarkan surat yang didapatkannya beberapa pekan lalu dari seorang perwakilan Nippon di Pariaman. Surat itu beraksara kanji.
 
 

Buya Oedin tidak gentar sedikit pun. Ia lantas mengeluarkan surat yang didapatkannya beberapa pekan lalu dari seorang perwakilan Nippon di Pariaman. Surat itu beraksara kanji sehingga dirinya tidak mengerti apa isi dokumen tersebut.

Namun, si komandan melihat adanya surat itu pada tangan Buya Oedin. Setelah melihat isinya, opsir Jepang yang semula marah-marah itu menjadi lebih kalem dan bahkan membungkukkan badannya berkali-kali. Tandanya meminta maaf kepada dai tersebut.

Belakangan, Buya Oedin baru menyadari bahwa isi surat itu ialah keterangan bahwa dia telah diangkat sebagai penasihat bagi pemerintah pendudukan Jepang di Sumatra.

photo
ILUSTRASI Adagium yakni Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, bermakna sikap adil dan bijaksana terhadap organisasi - (DOK MUHAMMADIYAH)

 

Menyatukan Masyumi

Sejak 17 Agustus 1945, perjuangan nasional menapaki babak baru. Mulai saat itu, seluruh bangsa Indonesia tidak lagi merebut, tetapi sudah sampai taraf mempertahankan kemerdekaan. Turut serta dalam upaya akbar ini ialah kalangan tokoh Islam.

Di Sumatra Barat, seorang di antaranya ialah Buya Oedin. Pada November 1945, ia ikut dalam rombongan yang menghadiri Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta.

Dalam kesempatan itu, untuk pertama kalinya ia berjumpa dengan Sudirman. Sosok yang kelak menjadi jenderal besar TNI tersebut kala itu sebagai representasi Pemuda Muhammadiyah Purwokerto.

Kembali ke Sumbar, dia mulai tertarik pada Masyumi. Sejak gelaran Muktamar Umar Islam pada 7-8 November 1945 di Gedung Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, terbentuklah Partai Masyumi. Itu disepakati sebagai satu-satunya wadah politik bagi umat Islam di Tanah Air.

Struktur Partai Masyumi menempatkan kalangan kiai dan ulama tradisional pada posisi majelis syura, sedangkan kaum cendekiawan Muslim yang berpendidikan Barat duduk pada posisi pimpinan harian.

Pada Mei 1946, Buya Oedin dilantik Residen Sumbar sebagai ketua dewan polisi setempat. Bagaimanapun, perhatiannya tidak kurang pada Masyumi. Apalagi, hingga 1947 partai itu khususnya di Sumbar sempat retak.

 
Masyumi tempat kita berpolitik dan berjuang. Sedangkan Muhammadiyah tempat kita beramal.
 
 

Penyebabnya, Masyumi terkotak-kotak menjadi dua kelompok, yakni unsur Muhammadiyah (Masyumi-Mhd) dan unsur Majelis Islam Tinggi (Masyumi-MIT). MIT didirikan Syekh M Jamil Jambek pada masa pendudukan Jepang. Begitu Indonesia merdeka, banyak kader organisasi itu yang ikut dalam Masyumi.

Buya Oedin berupaya menjembatani perbedaan di antara kedua kelompok. Dalam hal ini, dia dibersamai oleh Buya Hamka, yang juga seorang Minang tokoh Muhammadiyah. Saat diberi kesempatan orasi, putra daerah Padang Pariaman itu menyatakan, dialah yang membawa Masyumi dari Jawa ke Sumbar. Khalayak diingatkannya pada petuah M Natsir, seorang petinggi Masyumi: “Jaga selalu kekompakan umat Islam!”

“Masyumi tempat kita berpolitik dan berjuang. Sedangkan Muhammadiyah tempat kita beramal,” kata Buya Oedin merumuskan.

Karena itu, ditegaskannya, tak ada yang namanya Masyumi-Mhd. Tak ada pula Masyumi-MIT. Seluruh anggota Masyumi harus bisa bersatu untuk melawan musuh bersama saat itu, yakni Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

“Masyumi adalah satu. Musuh bersama adalah Belanda, NICA, dan tentara sekutu Inggris. Hizbullah dan Sabilillah pergi mencari syahid ke medan perang,” serunya.

Akhirnya, Buya Oedin dan Hamka mampu menyatukan dua kubu di tubuh Masyumi tersebut.

 
Masyumi adalah satu. Musuh bersama adalah Belanda, NICA, dan tentara sekutu Inggris. Hizbullah dan Sabilillah pergi mencari syahid ke medan perang.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat