Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Pencabulan Itu Sebuah Gunung Es

Ibarat gunung es, besar kemungkinan pencabulan ini berlangsung lama di berbagai daerah

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF 

Peristiwa mahabiadab itu terjadi beruntun. Titik-titik hitamnya tersebar di beberapa kota: Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, dan teranyar di Depok.

Ada pula perbuatan oknum polisi yang merenggut perawan seorang gadis dengan janji membantu sang ayah yang sedang terjerat hukum. Semua kejadian ini, panorama kelam dan busuk yang mengotori bumi Pancasila ini.

Ibarat gunung es, besar kemungkinan kebiadaban ini berlangsung lama di berbagai daerah, tetapi belum ketahuan saja. Ada pula pencabulan terjadi sporadis dalam bentuk lain, yang masih hangat, di Padang dan Tamparungo, Kecamatan Sumpur Kudus, Sumatra Barat.

Di Kota Padang, pencabulan dilakukan pada dua bocah perempuan usia lima dan tujuh tahun. Bukan oleh orang lain, melainkan oleh kakek, kakak, bahkan tetangga ikut dalam pesta kemesuman ini. Setan hitam seperti apa yang telah membunuh rasa kasihan manusia gelap mata ini?

Di Tamparungo, kasusnya tak kurang tragisnya. Seorang ayah tiri memperkosa anak tirinya dalam usia kelas satu SD dengan ancaman dibunuh jika ibunya diberi tahu.

 
Setan hitam seperti apa yang telah membunuh rasa kasihan manusia gelap mata ini?
 
 

Ayah tiri ini selalu siap dengan pisau agar si anak tak berkutik dan berlangsung sejak 2020. Bahkan, menurut pihak kepolisian Sijunjung, ayah tiri jahanam ini pernah memelintir tangan kanan gadis malang ini hingga menjerit kesakitan.

Pelaku baru ditangkap pada Selasa, 7 Desember 2021, di rumahnya. Sebagai seorang yang juga berasal dari kecamatan itu, saya sungguh marah dan memprotes kejadian yang menimpa perempuan ingusan bernasib malang ini.

Apa artinya ini? Pengawasan aparat, orang tua, dan masyarakat terhadap perbuatan mesum itu terasa lemah dan kurang peduli.

Di Bandung, pencabulan dilakukan si hidung belang bertopeng kiai atas 12 santriwati, sebagian sudah hamil. Di Tasikmalaya, dikerjakan si hidung belang lain dalam topeng guru pesantren terhadap sembilan santriwati.

Saya kutip pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, tentang kebiadaban yang mencoreng di wilayahnya pada 10 Desember  2021, “Kami menghendaki pelaku dapat ditindak tegas oleh para aparat penegak hukum agar dijerat hukuman yang berlaku. Kepada petugas kepolisian, jangan ragu dan terus usut tuntas. Kami komunitas pondok pesantren akan ikut mengawal dan mendukung para penegak hukum. Saya merasa prihatin sebagai komunitas pondok pesantren [atas] kejadian semacam ini.”

Di Cilacap, pelakunya seorang guru agama terhadap 15 siswi SD, yang tak lain anak asuhannya sendiri. Iming-imingnya, diberi nilai agama yang bagus. Dalam ungkapan Melayu kuno, ini namanya ‘pagar makan tanaman’.

 
Jika di atas saya sebut setan hitam, di Cilacap tampaknya yang bermain setan merah melalui guru agama. Jika agama dijadikan mainan semacam ini, lama-lama agama bisa jadi musuh manusia.
 
 

Jika di atas saya sebut setan hitam, di Cilacap tampaknya yang bermain setan merah melalui guru agama. Jika agama dijadikan mainan semacam ini, lama-lama agama bisa jadi musuh manusia.

Terbaru, di Depok (Tangerang), guru ngaji (55) mencabuli 10 muridnya yang berusia antara 10-15 tahun. Modusnya, menurut keterangan polisi, tersangka membujuk atau mengancam korbannya agar mau melayani nafsunya. Lalu para korban diberi Rp 10 ribu.

Korban diancam agar perbuatan bejatnya tak dilaporkan kepada orang tuanya. Lalu, bagaimana hukumannya? Menurut keterangan polisi, hukumannya paling sedikit lima tahun, paling tinggi 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 15 miliar.

Pesan saya, jangan hanya diserahkan kepada tanggung jawab polisi, tetapi yayasan, masyarakat, dan orang tua santriwati harus disadarkan tentang kelakuan si hidung belang ini yang berkeliaran di pesantren, sekolah, dan tempat mengaji.

Bagi saya, kejadian ini sudah pada tingkat SOS (save our soul/selamatkan jiwa kami). Dengan peristiwa itu, pesantren atau majelis taklim menjadi tidak aman lagi oleh ulah guru dan kiai gadungan, yang bibirnya komat-kamit melafazkan tasbih.

Manusia tipe ini harus ditebas pada kuncupnya. Tindakannya tipuan atas nama Tuhan. Alangkah kejinya, alangkah nistanya. Dunia ini ternyata sarat kejadian yang menegakkan bulu roma kita. Di negara lain, tragedi yang mirip juga tidak kurang.

 
Manusia tipe ini harus ditebas pada kuncupnya. Tindakannya tipuan atas nama Tuhan. Alangkah kejinya, alangkah nistanya.
 
 

Pertanyaannya: jika binatang saja tidak akan memerkosa anak-anaknya yang kecil, mengapa manusia yang dianugerahi akal dan budi luhur bisa mengalahkan binatang dalam pesta kemesuman ini?

Ratusan tahun lalu, Alquran mengingatkan manusia atas kemungkinan ini, “Dan sungguh Kami telah sediakan untuk neraka jahanam berapa banyak dari jenis jin dan manusia. Mereka punya hati, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mengerti, mereka punya mata, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk melihat, mereka punya telinga, [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi. Merekalah orang yang lalai (surah al-A’râf ayat 179).”

Seramnya lagi, di Indonesia, perbuatan kumuh itu dilakukan guru agama, guru ngaji, dan kiai. Namun, masyarakat jangan sampai tiarap, enyahkan manusia tipe ini dari muka bumi. Mereka ini mengotori alam kemanusiaan atas nama Tuhan.

Hukuman dunia untuk mereka harus diperberat. Sebagai puncak gunung es, kita mungkin masih akan dikejutkan lagi oleh kejadian yang mirip dalam tempo dekat ini. Sungguh kelam. Sungguh tragis penderitaan gadis cilik!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat