Ibnu Rusyd merupakan seorang sarjana Muslim yang terkemuka pada era keemasan Islam. Bangsa-bangsa Barat menggelarinya sebagai Aristoteles II. | DOK PIXABAY

Tema Utama

Jejak Intelektual Ibnu Rusyd

Besarnya jasa Ibnu Rusyd bagi kebangkitan intelektual Eropa tak berarti dirinya sekuler-liberal.

OLEH HASANUL RIZQA

 

 

Pada akhir abad ketujuh, Dinasti Umayyah sedang menikmati puncak kejayaan. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Jazirah Arab, bekas Imperium Persia, Mesir, serta sebagian besar Syam—yang sebelumnya dikendalikan Imperium Romawi Timur (Bizantium).

Berbeda dengan era Khulafaur Rasyidin, para khalifah Umayyah menjadikan Damaskus, bukan Madinah, sebagai pusat kekuasaan. Alhasil, pusat dinamika dunia Islam kian meluas. Tidak lagi Hijaz, melainkan juga pesisir Mediterania Timur. Kawasan itu sejak masa pra-Islam sudah sangat dinamis karena mempertemukan antara banyak kebudayaan, semisal Yunani, Latin, dan Semit (Yahudi).

Iskandariah atau Alexandria merupakan salah satu pusat gravitasi multikultural itu. Kota di pantai utara Mesir tersebut dibangun oleh sang penakluk dari Makedonia-Yunani, Aleksander yang Agung, pada tahun 331 sebelum Masehi. Sejak dikuasai Islam pada era Khalifah Umar bin Khattab, perkembangan dunia ilmu dan niaga di sana terus hidup.

Khususnya sejak zaman Umayyah, kajian intelektual di Iskandariah semakin marak. Para cendekiawan Muslim mulai mengenal sekaligus memanfaatkan cakrawala pengetahuan yang dirintis bangsa Yunani Kuno, sebagaimana tersimpan dalam banyak koleksi Perpustakaan Iskandariah. Salah satu legasi dari bangsa Eropa itu ialah filsafat.

Sokrates, Plato, dan Aristoteles merupakan tiga nama besar filsafat Yunani Kuno yang dipelajari para sarjana Muslim di Iskandariah. Para khalifah Umayyah, walaupun kerap mengagung-agungkan budaya Arab, tertarik pula pada bidang warisan bangsa asing (mawali) itu. Mereka kemudian menyokong penerjemahan pelbagai manuskrip filsafat dari Iskandariah.

Pada medio abad kedelapan, rezim Umayyah tumbang dan digantikan oleh Abbasiyah. Pusat intelektual Islam lalu bergeser, kali ini lebih mendekati daerah budaya Persia.

Baghdad menjadi kota baru untuk mewujudkan ambisi besar para khalifah Abbasiyah: mengumpulkan berbagai ilmu dari seluruh penjuru dunia. Bait al-Hikmah menjadi lokus kegiatan-kegiatan penerjemahan yang bahkan lebih dinamis dibandingkan dengan Damaskus atau Iskandariah pada era sebelumnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Bagaimanapun, tidak semua kekuatan Umayyah dapat dilumat. Beberapa tokoh penting dinasti keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan itu berhasil melarikan diri ke Semenanjung Iberia—daerah paling barat di Eropa daratan. Di sana, berdirilah keamiran Umayyah yang akhirnya lebih populer dengan sebutan Andalusia.

Dengan niatan menyaingi Baghdad, para amir setempat juga mengupayakan tumbuhnya pusat-pusat intelektual di Andalusia. Salah satu kota yang dipusatkan untuk itu ialah Kordoba.

Berbagai ilmu dikaji di sana, termasuk filsafat Yunani Kuno. Banyak manuskrip penting yang berhasil diselamatkan dari Perpustakaan Iskandariah, untuk kemudian menjadi bahan pembahasano oleh para cerdik cendekia di Kordoba.

Dalam suasana intelek itulah, Ibnu Rusyd atau Averroes lahir pada awal abad ke-12 di Andalusia. Ia tidak hanya beruntung karena lahir di Kordoba. Keluarganya tergolong kaum terpelajar yang memiliki reputasi tinggi. Bahkan, ayah dan kakeknya mendapatkan posisi penting di pemerintahan.

Telaah filsafat

Pemilik nama lengkap Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad itu sesungguhnya tidak hanya menekuni kajian filsafat. Beberapa buku karyanya tidak hanya membicarakan perihal disiplin tersebut, tetapi juga beragam ilmu, seperti fikih dan kedokteran. Bagaimanapun, popularitas Ibnu Rusyd sebagai pemikir rasional agaknya terpengaruh oleh betapa besar pengaruhnya pada dunia Barat.

Masyarakat Eropa, khususnya pada zaman menjelang Renaisans, mengenalnya sebagai pemberi komentar-komentar kritis atas Aristoteles. Bahkan, Averroes—demikian mereka memanggilnya—digelari sebagai “Aristoteles II". Dan, banyak manuskrip karya Aristoteles yang pada abad pertengahan dinyatakan hilang, masih dapat dikaji berkat pembicaraan yang dilakukan Ibnu Rusyd tentangnya.

Adapun bagi masyarakat Muslimin—khususnya pada abad pertengahan— sosok Ibnu Sina lebih dikenang sebagai komentator Aristoteles. Dan, “rival” debatnya dalam hal ini ialah Imam al-Ghazali.

Ulama yang pernah memimpin Universitas Nizamiyah Baghdad itu bahkan menulis sebuah kitab yang khusus “menyerang” kaum filsafat semisal Avicenna, yakni Tahafut al-Falasifah, ‘Tidak Koherennya Kaum Filsuf'.

 
Sekitar 90 tahun sejak terbitnya Tahafut al-Falasifah, Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut.
 
 

Sekitar 90 tahun sejak terbitnya Tahafut al-Falasifah, Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut. Dalam karyanya itu, sang cendekia dari Andalusia itu sesungguhnya tidak hanya mengkritik al-Ghazali. Dirinya juga mengajukan keberatan terhadap gagasan-gagasan dari al-Farabi hingga Ibnu Sina.

Keduanya dinilai telah menyimpang dari pemikiran Aristoteles “yang sebenarnya". Bagaimanapun, seperti terbaca dari judul risalah tersebut, sasaran utama kritiknya ialah sang Hujjatul Islam.

Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim. Bila alam sampai dianggap qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam akan membawa kepada kesimpulan bahwa alam ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan.

 
Bagi para filsuf, termasuk Ibnu Rusyd, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami bahwa alam ada dengan sendirinya.
 
 

Ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran, yang jelas menyatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan segenap alam semesta —termasuk langit, bumi, beserta segala isinya. Alam tidak qadim, maka ini berarti bahwa pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada. Tuhan kemudian menciptakan alam.

Bagi para filsuf, termasuk Ibnu Rusyd, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami bahwa alam ada dengan sendirinya. Menurutnya, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali—qadim.

Mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Tokoh kelahiran Kordoba itu menyimpulkan, tuduhan kekufuran terhadap para filsuf, dengan demikian, tidak memiliki basis agama.

photo
Kajian yang dilakukan Ibnu Rusyd atas filsafat Yunani Kuno, terutama gagasan-gagasan dari Aristoteles, kemudian dibaca para sarjana Eropa. Itulah yang menghantarkan Benua Biru pada Renaisans. - (DOK WIKIPEDIA)

Jembatan pengetahuan

Akademisi Unida Gontor Dr Syamsuddin Arif dalam artikelnya, “Ibnu Rusyd dan Kemajuan Barat”, mengatakan, para intelektual Barat kerap menyanjung tokoh dari Andalusia ini. Ibnu Rusyd dianggap sebagai jembatan pengetahuan yang menghubungkan antara Timur dan Barat—antara Islam dan Kristen. Sukar membayangkan para sarjana Kristen Barat bisa mencerna legasi Aristoteles tanpa kontribusi dan jasa besar Averroes.

Ernest Renan merupakan penulis yang pertama kali mengungkit ketokohan Ibnu Rusyd. Dalam karyanya, Averroèsetl’Averroïsme, cendekiawan Prancis itu bahkan memuji sang polymath Muslim sebagai “peletak batu pertama rasionalisme Eropa".

Lebih lanjut, kemunculan ghirah intelektual Eropa pada dekade-dekade sebelum Renaisans dikaitkan dengan pembacaan mereka terhadap karya-karya Averroes.

Sesudah jatuhnya Imperium Romawi Barat, Benua Biru mengalami masa kegelapan. Begitu para bangsawan Eropa memiliki akses pada dunia intelek kaum Muslimin, utamanya di Andalusia, keadaan mulai berubah. Mereka menyadari, umat Islam sangat maju pada masa itu. Dan, banyak sarjana Muslim yang dengan teliti menelaah karya-karya para pendahulu Barat, yakni kaum filsuf Yunani Kuno.

 
Begitu para bangsawan Eropa memiliki akses pada dunia intelek kaum Muslimin, utamanya di Andalusia, keadaan mulai berubah. Mereka menyadari, umat Islam sangat maju pada masa itu.
 
 

Bagaimanapun, Syamsuddin mengetengahkan catatan kritis. Sebab, banyak orang pada masa kini, utamanya yang awam terhadap sejarah ilmu dan pemikiran Barat, dengan mudah terpancing pada anggapan berikut. Bahwa Barat maju karena mengikuti pemikiran Ibnu Rusyd, sedangkan Islam mundur sejak mengekor pada al-Ghazali. Syamsuddin menegaskan, kesimpulan seperti itu terlalu simplistis.

Sebab, pelbagai kajian historis justru menunjukkan, kemajuan Barat dalam bidang sains dan teknologi tidak berkaitan dengan Ibnu Rusyd-isme atau Averroisme. Akademisi yang pernah berguru pada filsuf Melayu Syed Muhammad Naquib al-Attas itu menerangkan sekurang-kurangnya tiga persoalan. Ketiganya, setelah dikritik, mengungkapkan, tuduhan bahwa Ibnu Rusyd sebagai ilmuwan liberal sangat tidak beralasan.

Pertama, soal bahwa bangsa-bangsa Eropa maju sains dan teknologinya karena menganut Averroisme. Berkaca pada sejarah, laju ghirah intelektual Eropa sering dikaitkan pada revolusi sains yang dimotori, antara lain, teori Copernicus atau perjuangan Galileo Galilei.

photo
Ibnu Rusyd dalam sebuah lukisan abad ke-14 karya Andrea di Bonaiuto. - (DOK Wikipedia)

Teori tersebut menyanggah geosentrisme dan mendukung heliosentrisme atau “matahari sebagai pusat semesta (tata surya)". Adapun sang ilmuwan Italia telah melakukan eksperimen monumentalnya di Menara Pisa.

Dalam percobaan itu, Galileo berhasil membuktikan bahwa teori gerak Aristoteles adalah salah. Sementara, Ibnu Rusyd dalam pelbagai tulisannya kerap mendukung pemikiran Aristoteles, termasuk dalam bidang fisika. Bahkan, Renan sendiri mengakui, kesetiaan Averroes pada paradigma sains Aristotelian—yang cenderung (sangat) deduktif dan deterministik—justru bisa dipandang menghambat kemajuan sains modern.

Kedua, soal bahwa Ibnu Rusyd mengajarkan “kebenaran ganda” (veritas duplex). Syamsuddin mengatakan, tidak jelas siapa yang pertama kali melontarkan tudingan itu.

Kuat dugaan, para cendekiawan Eropa pada abad pertengahan salah dalam memahami tulisan-tulisan Ibnu Rusyd. “Kesalahan” itu didorong oleh semangat mereka yang memperhadapkan sains dengan otoritas agama (gereja).

 
Kuat dugaan, para cendekiawan Eropa pada abad pertengahan salah dalam memahami tulisan-tulisan Ibnu Rusyd.
 
 

Padahal, Ibnu Rusyd selalu menekankan bahwa kebenaran adalah tunggal. Memang, cara manusia dalam mencapai kebenaran bisa berbeda-beda, sesuai dengan taraf intelek masing-masing.

Pada akhirnya, sambung Syamsuddin, soal bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan sekuler-liberal. Ia menegaskan, tudingan adalah imbas dari pencemaran nama baik yang sempat menerpa sang alim.

Sebelum wafatnya, Ibnu Rusyd pernah diasingkan ke sebuah perkampungan Yahudi. “Kedengkian lawan-lawannya telah mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon mereka temukan dalam tulisannya sebuah kalimat yang menyatakan ‘Venus adalah tuhan’. Mereka lalu menunjukkan itu kepada Amir al-Manshur seraya mendakwanya (Ibnu Rusyd) sebagai musyrik dan zindik,” tulis alumnus ISTAC Kuala Lumpur ini.

photo
Ibnu Rusyd (tengah) sebagaimana digambarkan oleh pelukis dari abad ke-14, Andrea di Bonaiuto - (DOK WIKIPEDIA)

Apresiasi dan Kekaguman Barat

 

Masyarakat Barat, bahkan hingga saat ini, mengagumi besarnya pengaruh Ibnu Rusyd dalam sejarah intelektual mereka. Pemikiran dan karya-karya sosok yang namanya dilafalkan sebagai Averroes itu sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan. Sarjana Prancis keturunan Yahudi itu menulis biografi berjudul Averroes et j'averroisme.

Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam Warisan Islam, menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa daripada milik Timur. "Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.

"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak menundukkan segala sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia bukanlah free thinker atau seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.

Selain Tahaafutut Tahaafut, beberapa karya besar Rusyd lain adalah Kitab fil Kulliyat fi at Tibb (Kaidah-kaidah Umum dalam Ilmu Kedokteran) yang telah diterjemahkan ke bahasa Latin dan menjadi rujukan penting kedokteran; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Kitab Permulaan bagi Mujtahid dan Akhir Makna/maksud); Kitab Fashl al Maqal fii ma Baina Syariah wa al Hilmah min al Ittisal (Menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan); Al Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqaid al Millah (Menyingkap masalah metodologi dan dalil-dalil kaum filsuf dalam keyakinan beragama).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat