ILUSTRASI Baghdad yang ratusan tahun menjadi pusat peradaban dunia, porak poranda akibat diserang pasukan Mongol. | DOK WIKIPEDIA

Kitab

Ibrah dari Bencana Silam

Buku ini menyajikan catatan peristiwa yang pernah mengguncang peradaban Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Umat Islam meyakini, segala yang terjadi dalam kehidupan adalah dengan kehendak Allah SWT. Karena itu, kaum Muslimin diimbau untuk selalu memetik ibrah atau pelajaran dari setiap peristiwa. Begitu pula ketika bencana melanda.

Bagaimana Islam memaknai bencana? Agama ini mengajarkan, bencana pada hakikatnya adalah “musibah”, bukan petaka dari Allah. Meskipun demikian, memang boleh jadi terdapat dimensi azab Illahi di dalamnya. Hal itu terutama berkaitan dengan penghukuman terhadap perilaku-perilaku manusia yang merusak alam.

“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum: 41).

Tidak hanya faktor-faktor alamiah, sering kali motif politik juga mendorong terjadinya bencana. Maka dari itu, bencana juga dapat dimaknai sebagai “penggerak” sejarah.

Sebagai contoh, jatuhnya kota-kota besar Islam ke tangan musuh merupakan bencana bagi peradaban kaum Muslimin. Demikian pula dengan tumbangnya kerajaan-kerajaan Islam yang sebelumnya menjadi benteng pertahanan dan persatuan umat.

Salah satu buku yang membicarakan tema bencana secara komprehensif ialah An-Nawazil al-Kubra fii at-Tarikh al-Islami. Karya Dr Fathi Zaghrut itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka al-Kautsar. Hasilnya ialah kitab berjudul Bencana-bencana Besar Dalam Sejarah Islam.

Buku itu menerangkan pelbagai bencana yang memengaruhi jalannya sejarah kaum Muslimin. Kebanyakan peristiwa yang dibicarakan di dalamnya merupakan malaakibat faktor-faktor politik atau sosial, seperti gerak ekspansi musuh atau dinamika internal di daulah.

 
Kebanyakan peristiwa yang dibicarakan di dalamnya merupakan malaakibat faktor-faktor politik atau sosial, seperti gerak ekspansi musuh atau dinamika internal di daulah.
 
 

Bagaimanapun, dampak bencana-bencana itu tidak hanya dirasakan umat Islam, tetapi juga kemanusiaan pada umumnya. Sebab, banyak kota atau negeri yang dibangun peradaban Islam memberi ruang tumbuh bagi komunitas-komunitas non-Muslim. Alhasil, serangan terhadapnya tidak hanya mengorbankan umat Islam, tetapi juga pemeluk agama-agama lain.

Sebagai contoh, jatuhnya Andalusia ke tangan kerajaan Kristen. Proses yang kerap disebut Reconquista itu berlangsung tidak secara seketika, melainkan bertahap. Titik mulanya ialah kemenangan pasukan Kristen di Hispania pada 722 M. Reconquista menjadi sempurna sejak runtuhnya negeri Islam terakhir di Spanyol, yakni Granada, pada 1492 M.

Seluruh Semenanjung Iberia dikuasai oleh rezim Kristen. Setelah itu, muncul dekrit pada 1499 M yang memaksa kaum Muslimin di Spanyol untuk berpindah agama. Kalau tidak mau, atas perintah Raja Philip III, mereka diharuskan pindah dari negeri tersebut.

Nasib yang sama juga dialami komunitas Yahudi. Sekitar 200 ribu orang Yahudi diusir secara paksa. Padahal, sewaktu Andalusia masih dikuasai Islam, mereka bisa mengembangkan kebudayaan. Bahkan, di bawah pemerintahan Islam Andalusia, itulah salah satu masa kebangkitan peradaban Yahudi dalam sejarah.

Bencana-bencana Besar Dalam Sejarah Islam terdiri atas empat bagian. Masing-masing menguraikan bencana akbar yang pernah menerpa umat. Yang pertama ialah, jatuhnya Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada tahun 656 H atau 1258 M.

Kedua, serangan pasukan Salib terhadap Baitul Maqdis pada 492 H/1099 M. Ketiga, runtuhnya Andalusia pada 897. Terakhir, bubarnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada abad ke-20 M.

Beragam faktor

Dalam menganalisis sebab dan akibat bencana yang melanda daulah-daulah Islam, Fathi Zaghrut menyoroti pelbagai faktor. Jadi, tidak hanya satu atau beberapa kejadian yang dipandangnya sebagai pemicu mala. Sang penulis hendak menggambarkan latar belakang setiap peristiwa dengan sekomprehensif mungkin.

Umpamanya, bencana tumbangnya Baghdad, yang selama ratusan tahun menjadi pusat Kekhalifahan Abbasiyah. Pertama-tama, Zaghrut menggarisbawahi adanya kelemahan khalifah dalam mengontrol seluruh wilayah kekuasaannya. Separatisme pun melanda kerajaan Islam tersebut.

Di antara berbagai kawasan yang memisahkan diri dari kendali Baghdad ialah Saljuk di Persia, sisa-sisa kekuatan Umayyah di Andalusia, serta golongan Syiah di Mesir—yang kemudian mendirikan Dinasti Fathimiyyah.

Menurut penulis buku ini, penyebab utama di balik kebangkitan kaum separatis ialah buruknya sistem Kekhalifahan Abbasiyah dalam menjalankan roda pemerintahan. Para khalifah bersikeras memakai sistem sentralistik.

 
Penyebab utama di balik kebangkitan kaum separatis ialah buruknya sistem Kekhalifahan Abbasiyah dalam menjalankan roda pemerintahan
 
 

Tidak mengherankan bila daerah-daerah yang jauh dari Baghdad terus menyusun kekuatan untuk memberontak. “Alangkah baiknya jika Kekhalifahan Abbasiyah ini menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi sehingga memungkinkan masing-masing wilayah untuk mengelola pemerintahannya sendiri di bawah naungan bendera negara Islam pusat,” tulis Zaghrut.

Karena terlalu sibuk pada konflik-konflik dalam negeri, khalifah tidak begitu peka pada perkembangan di luar kerajaannya. Dari arah timur, bangsa Mongol terus memperluas wilayah. Sejak Genghis Khan berhasil mempersatukan suku-suku Mongol yang nomaden, penaklukan terus dilancarkan wangsa dari Asia Timur tersebut.

Mongol tidak langsung menyerang Abbasiyah. Pertama-tama, terjadilah perang antara bangsa tersebut dan Khawarizmi. Letak kerajaan Islam tersebut seolah-olah memisahkan Mongol dari Abbasiyah. Maka, tumbangnya Khawarizmi kian mendekatkan ancaman dari Asia Timur itu ke Baghdad.

Genghis Khan meninggal pada 1227 M. Cucunya, Mankuq Ann, kemudian menjadi penerusnya sejak 1237 M. Di bawah pemerintahannya, Mongol semakin gencar melakukan perluasan wilayah.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Mankuq menugaskan saudaranya yang bernama Kubilay Khan. Adapun dalam menarget kawasan Asia Barat, saudaranya yang lain—Hulagu Khan—diberikan mandat ekspansi. Sementara itu, khalifah Abbasiyah al-Mu'tashim Billah cenderung tidak siap.

 
Jangan berupaya mengadang jalan kami. Sebab, Anda akan mempersulit diri sendiri dan melakukan pekerjaan yang sia-sia.
 
 

Hulagu kemudian mengirimkan surat ancaman kepada raja Abbasiyah. “Jangan berupaya mengadang jalan kami. Sebab, Anda akan mempersulit diri sendiri dan melakukan pekerjaan yang sia-sia,” tulis jenderal Mongol itu. Khalifah al-Mu'tashim bersikap hati-hati dalam menjawab surat tersebut.

Sayangnya, ada segelintir pihak di lingkaran elite Abbasiyah yang berkhianat. Seorang di antaranya ialah Mu’ayyiduddin bin al-Aqlami (atau al-Qalami). Perdana menteri tersebut berasal dari golongan Syiah Rafhidah dan memang telah lama berambisi merebut kursi khalifah.

Seperti dicatat Ibnu Katsir, sang perdana menteri sempat mengadakan pertemuan dengan Hulagu Khan. Tidak hanya membocorkan rahasia negara, al-Aqlami juga menyatakan dukungan terhadap Mongol untuk menyerang Baghdad. Tokoh Syiah itu juga melakukan demobilisasi terhadap pasukan yang sebelumnya telah disiapkan oleh mendiang ayahanda al-Mu'tashim, yakni khalifah al-Muntashir.

Jumlah pasukan yang mencapai 100 ribu orang itu, oleh al-Aqlami dikurangi. Malahan, banyak dari mereka yang tidak lagi digaji. Lebih parah lagi, sang perdana menteri juga memberikan pemikiran positif yang sesungguhnya keliru (toxic positivity) kepada al-Mu'tashim. Sang khalifah diberikan informasi sesat bahwa pasukan Mongol tidak akan menyerang Baghdad.

 
Akhirnya, pada Februari 1258 M Kota Seribu Satu Malam dikepung. Mongol memboyong tidak kurang dari 150 ribu prajurit. Ketika akhirnya al-Mu'tashim menemui Hulagu Khan, semuanya sudah terlambat. Bencana akbar tidak lagi bisa dihindari.
 
 

Akhirnya, pada Februari 1258 M Kota Seribu Satu Malam dikepung. Mongol memboyong tidak kurang dari 150 ribu prajurit. Ketika akhirnya al-Mu'tashim menemui Hulagu Khan, semuanya sudah terlambat. Bencana akbar tidak lagi bisa dihindari.

Beberapa hari kemudian, al-Mu’tashim dimasukkan ke dalam karung. Dalam kondisi demikian, raja terakhir Abbasiyah itu diinjak-injak sampai tewas oleh kuda pasukan Hulagu. Cara eksekusi demikian sesuai dengan kepercayaan bangsa Mongol yang memandang tabu darah seorang bangsawan tumpah ke tanah.

Sasaran kekejaman mereka tidak hanya kalangan istana, tetapi seluruh penduduk setempat. Pasukan Mongol menghancurkan apa pun yang ditemuinya, termasuk Bait al-Hikmah. Semua buku di perpustakaan tersebut dibenamkan ke Sungai Tigris. Aliran airnya menjadi hitam lantaran endapan tinta.

 
Pasukan Mongol menghancurkan apa pun yang ditemuinya, termasuk Bait al-Hikmah. Semua buku di perpustakaan tersebut dibenamkan ke Sungai Tigris. Aliran airnya menjadi hitam lantaran endapan tinta.
 
 

Ratusan tahun lamanya Baghdad menjadi mercusuar peradaban dunia Islam. Hanya dalam waktu beberapa pekan, pasukan Mongol mengubahnya menjadi sebuah kota mati.

Beberapa tokoh Abbasiyah yang berhasil lolos dari maut kemudian tiba di Mesir. Mereka lalu menjadi khalifah “boneka”, dengan kekuasaan eksekutif dipegang Bani Mamluk setempat. Dinasti itulah yang akhirnya sukses menghalau balatentara Mongol dalam Pertempuran Ain Jalut pada 1260.

Dalam bukunya ini, Dr Fathi Zaghrut juga “membaca” adanya pelbagai faktor di pelbagai bencana lain yang menghantam peradaban Islam dalam sejarah. Kelindan antara intrik politik di internal pusat kekuasaan dan ambisi musuh kerap menjadi awan mendung bagi badai yang segera menerpa kaum Muslimin.

Melalui karya sang penulis, kita dapat mengambil pelajaran tentang pahitnya bencana dan bagaimana menghindarinya.

photo
Melalui buku ini, pembaca diingatkan untuk memetik hikmah dari pelbagai nestapa yang pernah menimpa umat Islam. - (DOK WIKIPEDIA)

DATA BUKU

Judul: Bencana-bencana Besar Dalam Sejarah Islam (terjemahan atas An-Nawazil al-Kubra fii at-Tarikh al-Islami)

Penulis: Dr Fathi Zaghrut

Penerjemah: Masturi Irham dan Malik Supar

Penerbit: Pustaka al-Kautsar

Tebal: 950 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat