Bagi Iha Arvina, pengaruh ibunya yang terus berjuang dalam iman dan Islam sangat memengaruhi hidupnya. | DOK IST

Oase

Iha Arvina, Jalan Berliku Menuju Islam

Pertahankan iman dan Islam, itulah pesan ibunda yang selalu terpatri dalam hatinya.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

Nikmat terbesar bagi seorang insan ialah iman dan Islam. Tanpa keduanya, kehidupan hanyalah sia-sia. Allah SWT berfirman, yang artinya, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS Ali Imran: 102).

Karunia iman dan Islam juga dirasakan seorang mualaf, Iha Arvina. Perempuan yang memilih nama Syavina sejak berislam itu menuturkan kisahnya via akun YouTube “Ngaji Cerdas". Menurutnya, berbagai macam peristiwa telah dilaluinya sebelum menerima hidayah Illahi.

Ceritanya bermula dari pernikahan kedua orang tuanya. Sejak masih lajang, ayahnya berprofesi sebagai pelaut. Lelaki itu berasal dari Jakarta. Adapun ibundanya merupakan seorang Muslimah sejak lahir.

Keduanya kemudian memutuskan untuk menikah. Padahal, saat itu ibu kandung Syavina belum benar-benar mengenal latar belakang keluarga kekasihnya itu. Pernikahan yang berlangsung di Deli Serdang, Sumatra Utara, itu sepenuhnya mengikuti aturan Islam.

Beberapa tahun mengarungi kehidupan berumah tangga, pasangan suami-istri itu dikaruniai tiga anak. Selanjutnya, sang kepala rumah tangga mengajak mereka semua untuk pindah dari Sumatra ke Jakarta. Sesampainya di Ibu Kota, betapa terkejutnya ibu Syavina.

Bagaikan tersambar petir, perempuan itu tidak menyangka bahwa keluarga suaminya merupakan non-Muslim. Begitu tiba di rumah mertua, terdapat beberapa anjing yang menyalak menyambut mereka. Diperhatikannya pula, pada dinding ruang utama di rumah tersebut ada gambar-gambar sosok yang dianggap “anak tuhan” dalam ajaran agama mereka.

Mama Syavina sempat marah kepada suaminya. Demi menjaga keharmonisan rumah tangga, perbedaan iman itu sempat diabaikannya. Akan tetapi, lama kelamaan sang kepala keluarga meminta istri dan anak-anak untuk ikut memeluk agamanya yang non-Islam.

Mama Syavina sangat syok dengan ajakan tersebut. Namun, wanita itu seperti tidak berdaya. Ketika melahirkan Syavina, yakni bungsu dari lima bersaudara ini, keputusan akhirnya ialah keluar dari Islam.

“Karena khawatir keluarga besar akan kecewa, Mama melarang mereka untuk mengunjunginya ke Jakarta. Ya, tetapi toh lambat laun apa pun yang ditutup-tutupi pasti akan ketahuan juga,” ujar Syavina menyampaikan kisahnya, beberapa waktu lalu.

 
Karena khawatir keluarga besar akan kecewa, Mama melarang mereka untuk mengunjunginya ke Jakarta. Ya, tetapi toh lambat laun apa pun yang ditutup-tutupi pasti akan ketahuan juga.
 
 

Mualaf yang akrab disapa Vina itu masih mengingat bagaimana keadaan ibundanya kala itu. Sering kali, dia menyaksikan mamanya menangis tersedu-sedu. Pada suatu malam, pernah ibunya itu berurai air mata di atas tempat tidur. Kedua tangannya terangkat, sebagaimana cara seorang Muslim berdoa. Lalu, dari mulutnya yang gemetar terucap kata-kata rintihan tidak berdaya.

“Ya Allah, tolonglah hamba. Hamba takut akan meninggal dunia dalam keadaan kafir. Hamba takut masuk neraka. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini,” kata Vina menirukan munajat yang dipanjatkan ibundanya ketika itu.

Kekalutan dan rasa bersalah pun memengaruhi aspek kejiwaan mamanya. Bahkan, pihak keluarga terpaksa membawanya ke psikiater atau rumah sakit jiwa untuk mengobati masalah psikis tersebut.

Pernah suatu saat, ibunya berusaha untuk pergi dari rumah. Anak-anak pun turut dibawanya serta karena khawatir sang kepala keluarga akan mencegah mereka kembali pada Islam. Akan tetapi, usaha tersebut berakhir gagal.

Sampailah ibunya itu pada titik nadir. Dalam hatinya merasa, tidak ada jalan keluar. Tidak ada pula orang yang dapat membantunya. Mamanya hanya bergantung kepada Allah SWT.

Sebagai catatan, tutur Vina, ayahnya pada saat itu tidak berperangai buruk. Bapaknya sangat mencintai ibunya dan anak-anak. Akan tetapi, bagi ibunya Vina, cinta kepada pasangan tidak lebih penting daripada mengutamakan Allah Ta’ala.

Karena itu, sempat terucap oleh ibunya sebuah doa, yakni semoga suaminya itu meninggal dunia. Munajat itu semata-mata dilatari keinginan agar dirinya dapat beribadah Islam dengan lebih leluasa. Benar saja, beberapa tahun kemudian, sang kepala keluarga wafat.

Berhijrah

Tentunya, Vina bersedih hati atas kepergian ayahnya. Kesedihan yang sama juga dirasakan ibunya. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Maka, sebagai single parent mamanya itu mengupayakan yang terbaik untuk anak-anak.

Dengan memboyong kelima anaknya, sang ibu pun berhijrah ke Depok, Jawa Barat. Semua harta benda milik mendiang suami ditinggalkannya di Jakarta. Sesampainya di kota selatan Ibu Kota itu, mereka semua melakukan syahadat lagi.

Inilah tonggak baru yang penting dalam hidupnya. Kembali menikmati manisnya iman dan Islam. Waktu itu, Vina masih duduk di bangku sekolah dasar.

 
Inilah tonggak baru yang penting dalam hidupnya. Kembali menikmati manisnya iman dan Islam.
 
 

Setiap keluarga pasti menghadapi ujian hidup. Vina dan keluarganya pun tak terlepas dari persoalan, terutama yang menyangkut ekonomi. Ibunya menghabiskan waktu bekerja di luar untuk menghidupi kelima anaknya. Penghasilan yang diperolehntya memang kadang kala tidak menentu.

Bahkan, pernah Vina dan saudara-saudaranya tidak makan selama tiga hari berturut-turut. Sebab, ibunya saat itu tidak membawa hasil apa pun dari berjualan. Syukurlah, masih ada orang baik di sekitarnya. Ada tetangga yang tanpa disangka-sangka datang ke rumah dengan membawakan sejumlah sembako dan nasi kotak.

Ujian lain kembali datang. Mungkin karena kelelahan dan sakit, ibunya lantas meninggal dunia. Vina merasa, saat itu seakan-akan dunia sudah runtuh.

Sebab, selama ini ibunya menjadi tempatnya bersandar. Kini, tiba-tiba ia ditinggalkan seorang diri. Waktu itu, Vina sudah beranjak remaja. Di rumah, hanya ada dirinya dan sang ibu.

Adapun kakak-kakaknya sudah pergi dengan kehidupan rumah tangga masing-masing. Putus asa kerap menggelayuti batinnya. Ia sering menangis saat mengunjungi makam ibunya setiap hari.

Hingga pernah Vina menyalahkan Allah. Sebab, Tuhan telah mengambil satu-satunya orang yang terdekat dengannya. Namun, perlahan-lahan dirinya menyadari kesalahan itu. Sangat tidak pantas untuk berprasangka buruk kepada-Nya.

Ia berupaya membangun keyakinan dalam diri. Allah adalah satu-satunya tempat bergantung. Apalagi, semasa hidup ibunya selalu mengajarkannya untuk dekat kepada Tuhan. Maka, Vina tetap berusaha mendalami Islam.

Pada suatu hari, ia membuka Alquran sembari berdoa. Tangisnya pecah saat menjumpai surah an-Nisa ayat 32. Artinya, “Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

photo
Iha Arvina (bercadar) ingin terus meningkatkan kualitas iman dan Islamnya. - (DOK IST)

Selalu bersyukur

Vina terus berupaya konsisten mengamalkan Islam. Pertama-tama, ia mulai dengan menutup aurat. Hijab menjadi pakaiannya sehari-hari, terutama saat keluar rumah.

Benar saja, ketika menjalani ajaran Islam dengan benar tentu hati akan tenang. Ia pun merasakan kedamaian batin dengan selalu berusaha ingat kepada-Nya.

Ujian kembali datang. Suatu ketika, ada seorang pria yang datang membawa bingkisan kepadanya. Ternyata, lelaki itu menawarkan diri untuk menikahinya, asalkan Vina bersedia keluar dari Islam. Padahal, waktu itu perempuan tersebut sudah konsisten berhijab. Tidak habis pikir, mengapa sampai ada tawaran seperti itu.

Vina tetap istiqamah. Ia menolak tegas lamaran pria tersebut. Meski keadaan ekonominya masih belum stabil, ia lebih mementingkan iman dan Islam.

 
Vina tetap istiqamah. Ia menolak tegas lamaran pria tersebut. Meski keadaan ekonominya masih belum stabil, ia lebih mementingkan iman dan Islam.
 
 

Selanjutnya, Vina mencari tempat untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Syukurlah, ia akhirnya menemukan sebuah majelis ilmu untuk kaum Muslimah. Melalui kajian-kajian yang ada, dirinya menyerap ilmu tentang keislaman.

Akhirnya, Vina bertemu dengan seorang Muslim yang kemudian menjadi suaminya. Pernikahannya itu berjalan dengan baik. Perlahan-lahan, kondisi ekonominya kian membaik. Pasangan suami-istri itu membuka usaha sendiri, yakni sebuah kedai kopi. Tak lupa dengan ujiannya terdahulu, Vina bertekad untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk bersedekah.

Vina memulainya dengan usaha yang dilakukannya yakni membuat program sarapan pagi gratis bagi orang yang membutuhkan. Tak hanya kedai, bahkan dia menyebarkannya di berbagai lokasi, seperti rumah tahfiz dan panti asuhan. Lokasinya di berbagai tempat. Tidak hanya di Depok, tetapi juga Bogor dan Sukabumi.

"Saya pernah merasakan kelaparan selama tiga hari, sehingga saya berharap tidak ada anak-anak di sekitar saya yang akan merasakan hal yang sama," ucap dia.

 
Saya pernah merasakan kelaparan selama tiga hari, sehingga saya berharap tidak ada anak-anak di sekitar saya yang akan merasakan hal yang sama.
 
 

Setiap Senin-Jumat, Vina dan timnya akan membagikan gratis di kedai hingga 250 porsi. Sedangkan pada Sabtu-Ahad, dia akan datang ke panti asuhan untuk membagikan sarapan. Dan setiap Senin-Kamis, Vina akan berbuka puasa sunnah membagikan ifthar kepada santri hafidz hafidzah.

Bahkan ketika ada rezeki lebih, Vina akan membawa anak-anak yatim untuk ke rumah makan pilihan mereka. Vina paham benar keinginan anak-anak karena di masanya untuk makan makanan ringan dia harus berjualan es lilin. Bahkan dia hanya melihat orang yang makan di tempat makan hingga memperhatikan bekas makanan itu dibuang ke tempat sampah.

Kini Vina terus bersyukur dari perjalanan hidupnya Allah memberikan hidup yang bermanfaat. Dia berharap selama sisa hidupnya dapat terus hidup dalam taubat nasuha.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat