Tokoh Muhammadiyah dari Kalimantan, H Gusti Abdul Muis. | DOK YOUTUBE

Mujadid

KH Gusti Abdul Muis, Dai Inspiratif dari Borneo

Tokoh Muhammadiyah ini juga berperan di ranah politik nasional melalui Masyumi.

 

OLEH MUHYIDDIN

 

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia dan bahkan dunia. Sejak pertama kali berdiri pada 1912, persyarikatan tersebut kian meluaskan pengaruhnya. Perkembangan ormas itu tidak hanya terasa di Jawa, tetapi juga pulau-pulau besar lainnya.

Di Kalimantan, Muhammadiyah semakin kukuh pada era 1930-an. Salah seorang tokoh lokal yang turut membesarkannya ialah Haji Gusti Abdul Muis. Keturunan pahlawan nasional Pangeran Antasari itu aktif mendakwahkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya.

Mengutip keterangan dari buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014), H Gusti Abdul Muis lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 1919. Kedua orang tuanya bernama Haji Gusti Abdul Syukur dan Hajjah Mastora. Anak kedua dari 11 bersaudara itu tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius.

Ayah dan ibunya sangat mementingkan pendidikan. Karena itu, Abdul Muis sejak kecil dididik dengan penuh disiplin. Dia menempuh pendidikan dasar di sekolah rakyat (volkschool) kota setempat. Setelah lulus pada 1931, pemuda ini meneruskan belajar di Madrasah Tsanawiyah asy-Syafi’iyah Samarinda selama dua tahun. Selanjutnya, ia menuntut ilmu di Madrasah Aliyah Darussalam Martapura hingga tahun 1936.

Selama beberapa tahun, Abdul Muis muda sempat mengamalkan ilmunya di Samarinda. Barulah pada 1938, ia mulai merantau ke luar Kalimantan.

Jawa Timur menjadi tujuannya. Ia hendak meneruskan studinya ke Kulliyatul Muallimin Gontor, Ponorogo. Setelah itu, ia kemudian pindah ke pesantren tertua di Solo, Jawa Tengah, yakni Pondok Jamsaren Solo. Lembaga tersebut didirikan oleh KH Idris Jamsari pada 1750.

 
Selama beberapa tahun, Abdul Muis muda sempat mengamalkan ilmunya di Samarinda. Barulah pada 1938, ia mulai merantau ke luar Kalimantan.
 
 

Selain mempelajari ilmu agama di madrasah dan pesantren, Abdul Muis juga sempat menempuh pendidikan tinggi di Akademi Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Kuliah itu diikutinya antara tahun 1947 dan 1948. Walaupun tidak sampai selesai, masa studi lanjut itu sangat mengasah kualitas intelektualnya. Daya tangkapnya tidak kalah dengan para sarjana.

Sebab, Abdul Muis merupakan sosok pemuda yang sangat rajin belajar secara otodidak. Tidak pernah sehari pun terlewatkan tanpa bergelut dengan buku-buku, khususnya yang membahas topik keislaman. Kecintaannya terhadap literasi sudah ditunjukkan sejak kecil. Kamar dan tempat tidurnya sering dipenuhi dengan berbagai buku, baik yang sudah maupun akan dibacanya.

Saat masih menempuh masa kuliah, ia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Gusti Norsehat. Dari pernikahannya itu, dia dikaruniai sembilan anak. Mereka terdiri atas lima putra dan empat putri. Dalam keseharian, lelaki asal Kalimantan Timur itu selalu mendidik para buah hatinya dengan penuh cinta kasih dan keteladanan.

Ikut Muhammadiyah

Keterlibatan Haji Gusti Abdul Muis dengan Muhammadiyah untuk pertama kalinya terjadi saat masih berusia 13 tahun. Kala itu, ia bergabung dengan lini kepemudaan di ormas tersebut.

Tidak menunggu waktu lama, dia merasa nyaman dengan menjadi aktivis persyarikatan. Dalam pandangannya, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan visinya tentang kemajuan Islam.

Melalui gerakan Muhammadiyah, Haji Abdul Muis dapat menyalurkan dan mengembangkan bakat dakwahnya. Ia selalu berusaha menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya. Di antara materi-materi dakwah yang menjadi keahliannya adalah ilmu tauhid, tafsir, dan tasawuf.

 
Dalam pandangannya, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan visinya tentang kemajuan Islam.
 
 

Sebelum menetap di Banjarmasin, H Abdul Muis telah melakukan dakwah keliling di berbagai kota. Ia giat mengisi ceramah, khutbah, serta kuliah subuh di sejumlah masjid. Salah satu tempat dakwahnya ialah Masjid al-Jihad di Cempaka dan Masjid ar-Rahman, Kampung Melayu. Barulah pada akhirnya, ia bertempat tinggal di Kota Seribu Sungai.

Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus. Dirinya bahkan ikut merintis pendirian Sekolah Wustho Zu’ama Muhammadiyah di Karang Intan Martapura, Kabupaten Banjar. Hingga datangnya balatentara Jepang, ia mengajar di lembaga tersebut sejak tahun 1940.

Pada 1942, Dai Nippon dengan cepat merebut Indonesia dari tangan kolonialis Belanda. Awalnya, kekaisaran dari Asia Timur itu digadang-gadang sebagai “saudara tua” yang siap membebaskan Tanah Air dari belenggu penjajahan. Nyatanya, Negeri Matahari Terbit toh berlaku tak ubahnya penjajah.

Selama kira-kira tiga tahun, pemerintahan pendudukan menguasai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dalam Perang Dunia II.

 
Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus.
 
 

Dua hari kemudian, Sukarno dan Mohammad Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Semangat proklamasi itu sampai juga ke luar Jawa, termasuk Kalimantan. Banyak tokoh daerah yang ikut mengisi kemerdekaan dengan berperan dalam politik bernegara. Salah satunya ialah Haji Abdul Muis. Dirinya ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945.

Hanya beberapa bulan, Indonesia kembali menghadapi situasi genting. Pasukan Sekutu yang datang ke Tanah Air untuk menjemput para bekas tawanan Perang Dunia II justru memberi ruang gerak bagi pemerintah kolonial, Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Belanda kian nyata menunjukkan niatnya, ingin kembali menjajah Indonesia. Laskar-laskar pun bermunculan di pelbagai daerah. Mereka menjawab ancaman NICA dengan perjuangan-perjuangan bersenjata.

 
Beberapa waktu kemudian, tokoh Muhammadiyah itu kembali ke daerah asalnya. Di sana, dirinya didaulat menjadi pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.
 
 

Abdul Muis turut dalam heroisme tersebut. Pada 1946, ia diangkat menjadi staf Dewan Kelaskaran Pusat di Jakarta. Beberapa waktu kemudian, tokoh Muhammadiyah itu kembali ke daerah asalnya. Di sana, dirinya didaulat menjadi pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.

Pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Situasi perlahan-lahan kembali kondusif. Di Kalimantan, Abdul Muis terus bergiat dalam pelbagai aktivitas. Pada 1950, ia terpilih menjadi pimpinan Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) yang berpusat di Jakarta.

Sahabat Pak Natsir

Masih di Ibu Kota, Haji Abdul Muis mulai bersentuhan dengan ranah politik. Sejak 1950, ia menjadi legislator Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Posisi itu dipegangnya hingga puncak masa Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada 1960.

Pada 1953, alim dari Kalimantan itu mulai bergabung dengan Partai Masyumi. Sebagai salah satu unsur Muhammadiyah, ia juga akrab dengan tokoh-tokoh dari ormas keislaman lainnya, terutama yang aktif di partai politik tersebut. Salah satunya ialah Mohammad Natsir.

Seperti dijelaskan dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, H Abdul Muis sangat akrab dengan Pak Natsir. Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah. Begitu pula sebaliknya. Tiap bertandang ke Jakarta, ia selalu mengunjungi Pak Natsir di kediaman tokoh Persatuan Islam (Persis) itu.

Pada 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di Sumatra. Oleh pemerintah pusat, gerakan itu disamakan sebagai tindakan makar. Turut serta dalam jajaran tinggi PRRI ialah sejumlah tokoh Masyumi.

 
Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah.
 
 

Keadaan itu segera dimanfaatkan musuh politik partai yang berlambang bulan-sabit bintang tersebut. Siapa lagi lawannya kalau bukan Partai Komunis Indonesia (PKI)?

Partai berlogo palu-arit itu membujuk Bung Karno untuk mengambil tindakan tegas dan keras terhadap Masyumi. Akhirnya, pada 1960 sang RI-1 mengeluarkan keputusan yang mengharuskan parpol Islam tersebut membubarkan diri.

Setelah Masyumi bubar, H Abdul Muis cenderung lebih mencurahkan waktunya pada dunia persyarikatan Muhammadiyah dan pendidikan. Hingga tahun 1960, ia sebenarnya tidak hanya berkutat pada Masyumi.

Pelbagai jabatan yang pernah didudukinya menggambarkan luasnya cakupan pergaulan sang alim. Di antaranya, ia pernah menjadi wakil ketua Badan Pengurus Besar Gerakan Indonesia di Jakarta pada 1950-1953. Namanya juga termasuk dalam jajaran Pengurus Besar Serikat Buruh Indonesia (SBI) pada 1953-1955.

Dalam pindang pendidikan, Kiai Abdul Muis juga pernah menjabat sebagai Dekan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah di Banjarmasin, sekitar 1964 atau 1965. Pada 1978-1980, ia juga menjadi dosen luar biasa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari.

Tidak hanya itu, H Abdul Muis juga pernah mengasuh Akademi Kulliyatul al-Muballighin dan pernah menjabat sebagai rektor pertama Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin. Saat menjadi rektor, ia pun aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik sebagai peserta aktif maupun narasumber.

Adapun di Banjarmasin sendiri, Abdul Muis tercatat pernah menjadi Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit Islam, pengelola Masjid ar-Rahman, dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan.

photo
Kampus Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari. Haji Gusti Abdul Muis pernah menjabat sebagai rektor pertama Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin. - (Dok Uniska)

Tasawuf Sang Dai Muhammadiyah

 

Bagi kaum Muslimin, khususnya warga Muhammadiyah di Kalimantan, sosok Haji Gusti Abdul Muis barangkali cukup masyhur. Hingga akhir hayatnya, keturunan Pangeran Antasari itu terus berkhidmat di organisasi masyarakat (ormas) tersebut. Walaupun sibuk dalam membesarkan persyarikatan, figur yang lahir pada 1919 di Samarinda itu selalu meluangkan waktu untuk menulis.

Ada banyak buku dan naskah tulisan karyanya. Di antara buah tangannya itu, tidak sedikit yang membahas perihal tasawuf. Beberapa kitab tulisannya yang mengindikasikan hal itu ialah, Mengenal Tasawuf, Tauhid dan Ma’rifat, Iman dan Bahagia, Insan, Asy-Sifaah, serta Tawassul wal Wasilah.

Menurut H Abdul Muis, tasawuf bertitik tolak pada ajaran Islam. Paradigma itu lahir karena adanya dorongan cinta dan peningkatan takwa kepada Allah SWT. Para pelopornya ialah kaum ulama, baik yang pakar hadis, tafsir Alquran, fikih (syariat), maupun tauhid.

Abdul Muis menjelaskan, peletak dasar-dasar tasawuf Sunni adalah al-Qusyairi, yang menghendaki agar para salik selalu mengikuti tuntunan Alquran dan hadis. Lantas, Imam al-Ghazali meneruskan ide-ide tersebut. Sang Hujjatul Islam berjasa terutama dalam membawa tasawuf kepada fakta-fakta dasar dan sejarahnya.

Tujuan al-Ghazali mencari penyelesaian masalah kerohanian pribadinya sendiri dalam mencari kebenaran, tetapi dalam usahanya itu ia telah berhasil menolong ribuan orang lain, dalam usaha mereka dalam mencari kebenaran yang sama.

 
Kebenaran itu ditemukannya pada cara hidup sufi yang diterapkan sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
 
 

Abdul Muis mengatakan, kebenaran itu ditemukannya pada cara hidup sufi yang diterapkan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Menurut dia, al-Ghazali telah berhasil menyelaraskan antara ajaran tasawuf dengan syariat.

Abdul Muis memandang, sesungguhnya ajaran Islam dapat diamalkan secara totalitas. Tidak benar bahwa kewajiban-kewajiban yang telah disampaikan dalam Alquran dan Sunnah Nabi SAW tidak lagi berlaku bagi orang dengan maqam tinggi, semisal wali. Pandangan yang mengabaikan kewajiban syariat adalah sesat lagi menyesatkan.

Di tengah kesibukan dalam menulis dan mengajar, Abdul Muis juga merupakan sosok kepala keluarga yang baik. Ia dikenal memiliki kepribadian yang rendah hati, sederhana, suka bersedekah, tegas, dan tidak suka marah-marah.

 
Ia juga memiliki sikap toleran. Sikap inilah yang membuat semua orang suka mendengar ceramahnya meskipun bukan warga Muhammadiyah.
 
 

Ia juga memiliki sikap toleran dengan yang berbeda paham dengannya. Sikap inilah yang membuat semua orang suka mendengar ceramahnya meskipun bukan warga Muhammadiyah.

Setelah banyak mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama dan bangsa, Kiai Abdul Muis akhirnya dipanggil oleh Allah SWT. Ia wafat pada 27 September 1992 di Banjarmasin dalam usia 73 tahun. Ia meninggalkan sembilan anak dan 13 cucu. Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Muslimin Banjarmasin.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat