Cover Islam Digest edisi 5 Desember 2021. Sang Syekh Penerjemahan. | Islam Digest/Republika

Tema Utama

Sang Syekh Penerjemahan, Bermula dari Baghdad

Pada era keemasan Islam, Hunain bin Ishaq memimpin penerjemahan di Bait al-Hikmah.

OLEH HASANUL RIZQA

Diseminasi ilmu akan buntu tanpa alih bahasa. Pada era keemasan Islam, Hunain bin Ishaq memimpin penerjemahan di Bait al-Hikmah. Khalifah membayarnya dengan emas seberat naskah yang dikerjakan sang poliglot.

Bermula dari Baghdad

Nyaris semua historiografi dunia tidak akan melewatkan pembicaraan tentang Baghdad. Kota yang berada di tepian Sungai Eufrat dan Tigris, itu terbentuk pada era Kekhalifahan Abbasiyah.

Bagaimanapun, daerah tersebut sudah menjadi rebutan pelbagai bangsa besar, setidaknya sejak tahun 4000 sebelum Masehi (SM). Sebelum akhirnya jatuh ke tangan Arab, kawasan subur di daratan Irak itu sempat dikuasai kerajaan Babilonia, Yunani, dan Persia.

Seiring dengan penaklukan atas Persia, daulah Islam berhasil menguasai daerah aliran sungai (DAS) Eufrat-Tigris pada pertengahan abad ketujuh. Pasukan Muslim saat itu sukses merebut ibu kota kekaisaran Majusi tersebut, Ctesiphon, yang berjarak sekira 35 kilometer dari selatan Baghdad.

Semasa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Kufah dan Basrah berkembang menjadi pusat kekuasaan Islam di Irak. Berbeda dengan keduanya, Baghdad kala itu masih berupa perkampungan kecil sehingga tidak menarik perhatian penguasa Arab.

Kota yang namanya dalam bahasa Persia berarti ‘pemberian Tuhan’ itu mulai dilirik kira-kira 120 tahun kemudian. Sesudah runtuhnya Bani Umayyah, Abbasiyah menggeser pusat pemerintahan dari Syam ke Irak. Mulanya, dinasti yang bersandar pada nasab paman Nabi SAW, Abbas bin Abdul Muthalib, itu larut dalam prahara politik perebutan kekuasaan. Barulah pada masa Khalifah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad al-Manshur, situasi mulai kondusif.

Raja kedua Wangsa Abbasiyah itu bervisi membangun sebuah pusat peradaban di Irak. Untuk itu, ia harus memilih lokasi yang tepat. Pilihannya jatuh pada sebuah area luas di sebelah selatan Lembah Zab, tepat pada DAS Eufrat dan Tigris. Inilah mulanya kawasan berjulukan Kota Seribu Satu Malam.

Khalifah al-Manshur mantap dalam memilih tempat bagi kota barunya. Area tersebut bukan hanya strategis, tetapi juga beriklim sejuk dan subur tanahnya. Pada musim dingin, hawanya sedang. Ketika musim panas menerjang, suhu udara cenderung sejuk.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Dana pembangunan Baghdad diambil dari kas negara, yang meroket jumlahnya sejak Abbasiyah berhasil menggulingkan Umayyah. Al-Manshur juga mendatangkan 100 ribu tukang untuk menuntaskan pekerjaan besar ini.

Perlahan namun pasti, berdirilah banyak fasilitas umum di sana. Ada masjid raya, kantor-kantor pemerintahan, rumah-rumah penduduk, barak tentara, jembatan, saluran air, serta jalan-jalan raya.

Uniknya, denah Baghdad sengaja dibuat melingkar. Alhasil, kota dambaan sang khalifah, bila dilihat dari atas, tampak berbentuk bundar sempurna. Untuk menjaganya dari ancaman serangan pasukan asing, sang khalifah mendirikan tembok tinggi yang mengelilingi seluruh perbatasan kota itu.

Pada 767 M, proyek akbar ini pun tuntas dikerjakan. Al-Manshur menamakannya Madinat as-Salam (Kota Perdamaian). Namun, belakangan nama kota itu lebih dikenal sebagai Baghdad. Berdiameter dua mil, jantung kekuasaan Abbasiyah ini terlihat seperti area benteng yang luas dan kokoh.

Sepeninggalan al-Manshur, Baghdad berkembang sangat pesat sehingga menjadi kota terbesar sedunia waktu itu. Keanggunannya tidak hanya ditunjang pelbagai bangunan yang memukau mata, semisal istana raja—yang dinamakan Gerbang Emas—atau masjid raya. Memasuki abad kesembilan, pesona ibu kota Kekhalifahan itu kian benderang berkat adanya Bait al-Hikmah.

photo
Peta Kota Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Pada masanya, Baghdad merupakan kota terbesar dengan budaya kosmopolitan yang sangat kuat. - (DOK WIKIPEDIA)

Rumah Kebijaksanaan

Era keemasan Baghdad berlangsung dalam masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809) dan Khalifah al-Ma’mun (813-833). Selama keduanya berkuasa, terdapat sebuah pusat studi keilmuan yang sangat masyhur, yakni Bait al-Hikmah. Nama itu secara harfiah berarti ‘rumah kebijaksanaan'.

Sejarah Bait al-Hikmah adalah bagian dari histori kecintaan penguasa-penguasa Muslim akan pustaka secara keseluruhan. Sewaktu Muslimin masih bersatu di bawah Dinasti Umayyah, para khalifahnya membangun perpustakaan besar.

Di istana, pendiri dinasti tersebut, Muawiyah bin Abi Sufyan, mendirikan perpustakaan pribadi yang juga disebut Bait al-Hikmah. Isi ruangan besar itu tidak hanya buku-buku berbahasa Arab, tetapi juga manuskrip-manuskrip Yunani dan Latin.

Begitu tatanan Umayyah lenyap dan Abbasiyah mencuat, pusat kekhalifahan pun beralih ke Irak—khususnya Baghdad. Berbeda dengan dinasti sebelumnya, Abbasiyah memiliki keterikatan politik dan budaya dengan bangsa non-Arab (mawali), yakni Persia.

 
Berbeda dengan dinasti sebelumnya, Abbasiyah memiliki keterikatan politik dan budaya dengan bangsa non-Arab (mawali), yakni Persia.
 
 

Alhasil, beberapa tradisi mawali kemudian diadopsi para penguasa Muslim-Arab keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Salah satunya ialah sistem kelola perpustakaan.

Rintisan awal Bait al-Hikmah ala Abbasiyah ialah perpustakaan pribadi yang didirikan Khalifah al-Manshur. Ia tertarik pada kebiasaan orang-orang (elite) Persia dalam mengelola pusat studi negara, yakni dengan menggalakkan penerjemahan teks-teks asing.

Dengan begitu, perpustakaan tidak sekadar tempat mengoleksi pustaka sebanyak-banyaknya. Bila pada masa Imperium Sassaniyah dahulu berbagai manuskrip dari luar diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, kini penerjemahan itu dilakukan dalam bahasa Arab.

Abbasiyah diuntungkan oleh situasi zaman. Pada 751 M, negeri Islam itu terlibat pertempuran dengan Dinasti Tang. Waktu itu, pasukan Muslim bersekutu dengan Kerajaan Tibet yang kian terjepit oleh ekspansi Cina. Aliansi Abbasiyah-Tibet berhadapan dengan Tang di sekitar Sungai Talas, perbatasan negara Kirgizstan dan Kazakhstan modern.

Perang Talas pada akhirnya dimenangkan Abbasiyah. Cukup banyak tentara musuh yang berhasil ditawan. Beberapa di antaranya belakangan diketahui ahli dalam membuat kertas.

Menurut sejarawan Muslim dari abad ke-11, Thaalibi, inilah mulanya umat Islam mengadopsi teknologi kertas dari Cina. Tak membutuhkan waktu lama, pabrik kertas pertama dalam sejarah Islam pun berdiri di Samarkand—yang kala itu sudah dikuasai Abbasiyah.

 
Tak membutuhkan waktu lama, pabrik kertas pertama dalam sejarah Islam pun berdiri di Samarkand—yang kala itu sudah dikuasai Abbasiyah.
 
 

Hingga era Khalifah Harun al-Rasyid, industri kertas tumbuh subur di Irak. Permintaan publik akan alas tulis itu pun terus melonjak. Imbasnya, toko-toko kertas bermunculan di Baghdad. Seturut dengan itu, geliat literasi, baik pada tataran elite maupun umum, semakin terasa.

Khususnya bagi kalangan istana, adanya kertas membuat proyek penerjemahan di Bait al-Hikmah menjadi sangat mudah dan murah. Teks-teks asing yang mulanya tergurat pada berbagai medium yang mudah rusak, seperti gulungan papirus, permukaan batu, atau kulit hewan, kini bisa disalin ulang pada lembaran-lembaran kertas yang pasokannya melimpah.

Hasil salinan itu kemudian dialihbahasakan secara cermat oleh para pegawai kerajaan.

photo
Hunain bin Ishaq sempat berseberangan dengan gurunya, yakni seorang dokter terkemuka di Baghdad pada masa Abbasiyah, Yuhanna Ibnu Masawaih. - (DOK WIKIPEDIA)

Hunain bin Ishaq

Khalifah al-Ma’mun mewarisi semangat progresif ayahnya, Harun al-Rasyid. Saat memimpin Abbasiyah, ia pun ikut membesarkan reputasi Baghdad, khususnya Bait al-Hikmah, sebagai pusat peradaban dunia. Terlebih lagi, pemimpin yang memiliki ketajaman intelektual ini memang mencintai ilmu pengetahuan.

Menurut berbagai sumber sejarah, al-Ma’mun turut berjasa dalam merintis kartografi. Sebagai contoh, ia pernah menjadi pengarah sebuah komisi besar yang terdiri atas para astronom dan ahli geografi. Mereka ditugaskannya untuk membuat sebuah peta dunia yang cukup besar.

 
Salah satu fokusnya saat menjadi khalifah ialah mengukuhkan posisi Bait al-Hikmah sebagai pusat keilmuan mondial.
 
 

Karya yang kini dapat dijumpai di Museum Topkapi Sarai, Istanbul, Turki, itu menggambarkan wilayah Asia, Eropa, Afrika, dan berbagai kawasan perairan sekitarnya, terutama yang dikenal para pelaut Arab masa itu. Untuk diketahui, bangsa Arab telah menjelajah di jalur maritim Samudra Hindia bahkan beberapa abad sebelum Rasulullah SAW lahir. Saudagar-saudagar Arab menjadi penghubung distribusi komoditas dari pesisir Cina, Nusantara, dan India ke belahan bumi barat.

Tentunya, al-Ma’mun tidak hanya mencurahkan perhatian pada disiplin kartografi. Raja ketujuh Abbasiyah itu pun menyadari, cakrawala pengetahuannya terbatas sehingga membutuhkan lebih banyak lagi diskusi dengan kaum cerdik cendekia.

Maka dari itu, salah satu fokusnya saat menjadi khalifah ialah mengukuhkan posisi Bait al-Hikmah sebagai pusat keilmuan mondial. Untuk mewujudkan ambisi itu, lembaga tersebut haruslah dipimpin seseorang yang juga bervisi global. Pilihannya jatuh pada Hunain bin Ishaq al-Ibadi.

 
Hunain bin Ishaq bukanlah seorang Muslim, melainkan pemeluk Kristen mazhab Nestorian yang taat.
 
 

Keputusannya untuk menunjuk poliglot tersebut juga menunjukkan sikapnya yang melampaui “politik” identitas. Sebab, Hunain bin Ishaq bukanlah seorang Muslim, melainkan pemeluk Kristen mazhab Nestorian yang taat. Dengan perkataan lain, dasar al-Ma’mun dalam mengangkat seorang pejabat bukanlah kesamaan agama, tetapi meritokrasi.

Hunain lahir di daerah Kufah—yang pada masanya disebut sebagai Kota al-Hirah—pada 809 M. Keluarganya merupakan bagian dari komunitas Arab Kristen, al-Ibad, yang telah lama tinggal di daerah setempat. Begitu Irak berada di bawah kekuasaan Islam, mereka tetap menjalankan sistem sosial dan keagamaannya tanpa terusik penguasa baru.

Ungkapan “buah jatuh tak jauh dari pohon asal” barangkali tepat menggambarkan sosok Hunain. Ayahnya merupakan seorang ahli farmasi. Hampir selalu kesehariannya diisi dengan membaca buku, meracik obat-obatan, dan menghadiri diskusi ilmiah.

Di samping itu, umumnya masyarakat al-Ibad juga memiliki tingkat literasi yang tinggi. Tidak hanya gemar belajar, banyak dari mereka pun menguasai pelbagai bahasa, termasuk Suryani atau Suriah Kuno (Syiriac).

photo
Hunain bin Ishaq sempat berseberangan dengan gurunya, yakni seorang dokter terkemuka di Baghdad pada masa Abbasiyah, Yuhanna Ibnu Masawaih. - (DOK WIKIPEDIA)

Sejak kecil, Hunain dididik untuk fasih berbahasa Arab dan Syiriac. Oleh bapaknya, ia lalu dikirim ke Baghdad untuk menimba ilmu di sebuah sekolah kedokteran. Waktu itu, bakatnya yang cemerlang sudah menarik perhatian seorang dokter kenamaan, Yuhanna Ibnu Masawaih. Sama seperti dirinya, tabib yang mempunyai nama Latin Janus Damascenus itu juga beragama Kristen Nestoria.

Pada awal masa kekuasaan al-Ma’mun, Ibnu Masawaih merupakan direktur sebuah rumah sakit besar di Baghdad. Institusi itu merupakan bagian integral dari sekolah kedokteran yang ada. Maka, dokter istana Abbasiyah ini tidak hanya mengurus pasien, tetapi juga mengajar di sekolah setempat.

Hubungan Hunain muda dengan Ibnu Masawaih tak selalu mulus. Tidak jarang, ia terlibat dalam perdebatan yang cukup tajam dengan gurunya itu. Dokter yang pernah belajar di Akademi Gundeshapur acap kali menilai, sang murid terlalu banyak bertanya. Puncaknya, Hunain kemudian diusir dari sekolah kedokteran Baghdad.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat