Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Literatur Islam Indonesia: Ortodoksi

Tradisi besar Islam kepulauan nusantara merupakan bagian integral tak terpisahkan dari tradisi Islam.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Bisa dilacak dari literatur Islam kawasan ini sejak abad ke-17, ortodoksi Islam kepulauan nusantara—kalam ‘Asyariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali bertahan sampai sekarang. Tak ada perubahan signifikan ketiga aspek ortodoksi itu.

Inilah salah satu distingsi Islam kepulauan nusantara. Namun sepanjang sejarah, juga hampir selalu muncul fenomena pemahaman dan praktik keislaman tak lazim.

Boleh jadi, gejala ini pada dasarnya tidak menyimpang dari ortodoksi Islam, tetapi hanya tak lazim bagi komunitas Muslim lokalitas tertentu. Tantangan lebih serius terhadap ortodoksi muncul dari heterodoksi, apakah terkait langsung atau tidak dengan Islam.

Heterodoksi adalah pemahaman dan praksis keagamaan menyempal atau menyimpang dari ortodoksi—ditolak jumhur ulama mainstream otoritatif. Ketiga aspek ortodoksi Islam kepulauan nusantara membentuk ‘tradisi besar’ yang juga berlanjut sampai kini.

 

 
Tradisi besar Islam kepulauan nusantara merupakan bagian integral tidak terpisahkan dari tradisi Islam.
 
 

 

Tradisi besar Islam kepulauan nusantara merupakan bagian integral tidak terpisahkan dari tradisi Islam yang terbentuk sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW, sahabat, tabiin, dan generasi demi generasi dengan realitas dan tantangan berbeda, masa dan wilayah beragam, dan sosial-budaya yang bineka.

Dalam perjalanan waktu, terbentuk dan berkembang delapan ranah tradisi dan budaya Islam; salah satunya wilayah kepulauan nusantara.

Tujuh ranah budaya Islam lain: Sino-Islamik, Anak Benua India, Persia (kemudian populer sebagai Iran), Arab, Turki, Sudanik Afrika, Belahan Dunia Barat. Masing-masing relatif menyatu dalam ortodoksi Islam, tradisi besar, dan budaya lokal masing-masing.

Ranah budaya Islam kepulauan nusantara—baik pulau-pulau maupun semenanjung—menyatu kompak karena ketiga aspek ortodoksi itu.

Berkat wilayah yang cair sebagai benua maritim, ortodoksi dan tradisi besar itu cepat menyebar dengan terutama menggunakan lingua franca bahasa Melayu.

Sungai, selat, laut, dan lautan memberi kemudahan bagi warga melakukan perjalanan untuk berbagai kepentingan, seperti perdagangan, dakwah Islam, atau pertukaran sosial-budaya di kepulauan nusantara.

 

 
Berkat wilayah yang cair sebagai benua maritim, ortodoksi dan tradisi besar itu cepat menyebar dengan terutama menggunakan lingua franca bahasa Melayu.
 
 

 

Berkat dunia geomaritim, literatur Islam kepulauan nusantara juga cepat terbentuk dan berkembang. Khazanah literatur itu sebagian tersedia dalam bahasa Arab karya ulama dari Arabia atau wilayah lain, atau ulama kepulauan nusantara sendiri.

Literatur berbahasa Arab ini hanya diakses spesialis, yaitu ulama atau santri yang memiliki kecakapan berbahasa Arab.   

Banyak literatur berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa lokal, seperti Melayu, Aceh, Banten, Sunda, Jawa, Sasak, Bugis, Buton, Sulu, dan banyak lagi. Proses ini dapat disebut ‘vernakularisasi’, yaitu menjelaskan konsep dan ajaran Islam ke dalam bahasa 'vernakular' atau lokal.

Melalui vernakularisasi, berbagai aspek pengetahuan tentang Islam menjadi lebih mudah dipahami masyarakat lokal untuk bisa diamalkan sesuai fikih.

Karena itu, penerjemahan literatur berbahasa Arab melibatkan proses kreatif sepanjang vernakularisasi dan kontekstualisasi. Tidak terjadi blind imitation atau penerjemahan buta belaka.

Dalam bentuk aslinya, literatur berbahasa Arab boleh jadi lebih kontekstual dengan masyarakat di mana literatur itu ditulis; sebaliknya bisa tidak terlalu kontekstual dengan komunitas Muslim kepulauan nusantara di mana literatur itu diterjemahkan ke dalam bahasa lokal.

 

 
Kebanyakan literatur ditulis di bawah patronase sultan dan raja yang memfasilitasi ulama berkarya.
 
 

 

Dari sini kemudian literatur yang sudah mengalami vernakularisasi dan kontekstualisasi menjadi sumber rujukan—sebagai ‘normative texts’ yang  membentuk ‘historico-empirical texts’—berupa identitas keagamaan, sosial-budaya.

Dalam perjalanan sejarah, religio-sociocultural identity terus berkembang dalam pangkuan ortodoksi sehingga menghasilkan tradisi keislaman kepulauan nusantara, yang distingtif vis-a-vis tradisi Islam wilayah-wilayah lain di dunia Muslim secara keseluruhan.

Literatur Islam kepulauan nusantara ditulis ulama--baik yang sudah tersohor maupun yang masih tersembunyi karena belum diteliti dan dikaji  mendalam. Kebanyakan literatur ditulis di bawah patronase sultan dan raja yang memfasilitasi ulama berkarya.

Seperti diungkapkan historiografi awal Islam kepulauan nusantara, dalam masa kesultanan, antara raja dan ulama terjalin hubungan patron-client. Ulama dan raja atau sultan memiliki hubungan baik, apalagi dalam tradisi politik Suni tak boleh durhaka dengan melakukan perlawanan terhadap raja.

Dalam ketiadaan raja karena alasan tertentu—seperti berakhirnya kerajaan—ulama menulis karya secara mandiri.  

Mereka berkarya dalam lembaga pendidikan yang mereka asuh, seperti dayah, surau, pondok, atau pesantren. Meski lembaga pendidikan Islam ini masih sederhana, syekh, kiai, atau tuan guru tetap mampu menghasilkan banyak karya penting.

Ketika kesultanan atau kerajaan di kepulauan nusantara juga punah satu per satu karena keganasan kolonialisme Belanda, proses kreatif ulama menghasilkan literatur Islam berlanjut.

Hasilnya, khazanah literatur Islam yang kebanyakannya masih perlu diselamatkan dan dikaji sehingga bisa mengungkap kekayaan intektualisme Islam kawasan ini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat