ILUSTRASI Istilah buzzer dapat berkonotasi baik bila memang perilakunya untuk menyebarluaskan kebaikan, bukan justru fitnah, caci-maki, atau hoaks. | DOK REP/Prayogi

Olahraga

Ada Buzzer di Balik Kritikan Atlet

Narasi negatif yang diduga dilakukan buzzer sepatutnya tidak terulang.

OLEH MUHAMMAD IKHWANUDDIN

Bagi pencinta bulu tangkis Indonesia, tahun 2021 layak menjadi oase pelepas dahaga. Pada tahun ini, gilang-gemilang prestasi berhasil diraih wakil Merah Putih melalui cabang olahraga digemari penduduk negeri ini.

Di sektor putri, ada medali emas Olimpiade Tokyo yang dipersembahkan Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Ada tiga rekor yang dipecahkan kedua srikandi itu. Pertama, Greysia Polii tercatat sebagai pebulu tangkis tertua peraih emas Olimpiade. Kedua, mereka menjadi pasangan ganda putri bulu tangkis Indonesia yang merebut emas Olimpiade. Ketiga, Greysia/Polii menjadi non-unggulan pertama yang sukses keluar sebagai juara di cabang olahraga ini.

Dari nomor putra, Indonesia berjaya pada gelaran penuh gengsi bertajuk Thomas Cup. Piala kejuaraan beregu putra itu berhasil dibawa pulang ke Indonesia setelah Merah Putih mengalahkan Cina di partai puncak. Ini merupakan gelar Thomas Cup pertama setelah terakhir kali menjuarainya pada 2002. Bayangkan, hampir dua dekade Indonesia harus bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan di turnamen tersebut dan ikhtiar itu tercapai pada tahun ini.

Sayangnya, seremoni juara Thomas Cup tidak dibarengi kumandang lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Penyebabnya, Indonesia dianggap tak patuh terhadap regulasi Badan Antidoping Dunia (WADA) yang membuatnya tak berhak menunjukkan simbol negara seperti lagu dan bendera.

Publik yang sudah telanjur gemas karena absennya bendera Merah Putih dan lagu kebangsaan di kompetisi level dunia kembali harus kesal karena persoalan bonus uang tunai yang biasa diterima atlet berprestasi.

Ternyata, pemerintah tidak menjadikan kampiun Thomas Cup sebagai penerima bonus meski piala tersebut sudah hiatus selama hampir dua dekade. Tekanan dari publik pun bermunculan. Atlet turut menyuarakan aspirasi mereka melalui jalur media sosial.

Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, misalnya, menyentil pemerintah. “Terima kasih ‘apresiasi’-nya, jadi ingat di salah satu scene film King perkataan tentang ‘piala itu kosong’ dan ternyata sekarang dianggap seperti itu,” tulis Jonatan pada akun Twitter-nya.

Tak hanya sekali, peraih medali emas Asian Games 2018 itu kembali menulis sebuah cicitan yang sarat kritik ketika menanggapi berita tentang seorang pengusaha beras yang memberikan bonus Rp 500 juta kepada pemenang Thomas Cup.

“Terima kasih Pak Billy (pengusaha beras) atas ‘APRESIASI’ yang sangat luar biasa ini. Bahkan sudah cair langsung, dan gak perlu gimmick,” ucapnya.

Pernyataan yang dilontarkan Jojo, sapaan akrabnya, langsung memantik polemik. Banyak yang mendukungnya, tetapi tak sedikit pula ujaran negatif menyasar kepada dirinya di media sosial.

Tagar #AtletHarusPaham yang bernada negatif kepada Jojo menyeruak. Bahkan, meme yang menggambarkan Jojo sebagai atlet mata duitan menjadi senjata untuk menyerang pribadi sang atlet.

Tak hanya Jojo, rekan sesama pebulu tangkis Indonesia, Fajar Alfian, ikut kena getah karena melontarkan kritik serupa. Ada dugaan narasi negatif dari akun Twitter yang dikenal sebagai pendengung atau buzzer terhadap Jojo dan Fajar sengaja diorganisasi oleh salah satu pihak yang sampai saat ini masih misteri.

Editor rubrik olahraga di sebuah media massa nasional, Ainur Rohman, melalui akun Twitter mengunggah sebuah foto tangkapan layar sebuah percakapan tentang pihak yang diduga sebagai buzzer. Menurut sumbernya, para buzzer dibayar Rp 1.000 untuk setiap cicitannya.

Di satu sisi, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menyatakan bakal memberi bonus kepada atlet setelah melakukan rapat internal. Tetapi, hadiah itu akan dialirkan melalui kantong federasi—dalam hal ini adalah Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).

Menpora Zainudin Amali berdalih pemerintah perlu berhati-hati mengeluarkan uang negara untuk kepentingan hadiah. Jika salah, ia khawatir hal itu akan menjadi bumerang  bagi pemerintah. Ia mengisyaratkan, kejuaraan sekelas Thomas Cup tidak bisa disamakan dengan turnamen multievent seperti Olimpiade atau Paralimpiade.

Di sisi lain, tidak ada kepastian besaran bonus yang didapatkan para atlet. Paling penting, para atlet sudah susah payah mengharumkan nama negara meski tak ada lagu kebangsaan yang berkumandang dan bendera kebanggaan yang berkibar.

Adalah hal wajar jika atlet berharap apresiasi. Narasi negatif yang diduga dilakukan buzzer sepatutnya tidak terulang. Selain itu, terlepas dari nominal bonus, pemerintah agaknya perlu memberikan perhatian lebih kepada cabang olahraga yang potensial mendulang prestasi. Bukan karena gagal mengurus negara, publik harus dibenturkan oleh segelintir “manusia murahan” bernama buzzer.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat