Tgk H Saifuddin Sadan. | DOK IST

Hiwar

Tgk H Saifuddin Sa’dan, Beda Dayah Dulu dan Kini

Perbedaan antara pesantren dan dayah secara substansial tidak begitu jauh.

 

Lembaga pendidikan Islam tradisional hingga kini terus eksis di Indonesia. Di Jawa, institusi itu dikenal dengan sebutan pesantren. Kalau di Aceh, namanya ialah dayah.

Tgk H Saifuddin Sa’dan mengatakan, perbedaan antara keduanya secara substansial tidak begitu jauh. Ulama dari Kabupaten Aceh Besar itu menjelaskan, dayah sebagaimana pesantren merupakan tempat menempa generasi muda Muslim. Mereka dididik agar menjadi insan yang berkepribadian islami serta menebar maslahat di tengah umat dan bangsa.

Dalam kondisi mutakhir, lanjutnya, banyak dayah yang menyerap unsur-unsur modernitas. Bahkan, tidak sedikit dayah yang telah bertransformasi menjadi pesantren modern. Salah satunya ialah Pesantren Modern al-Falah Abu Lam U, yang dipimpin Haji Saifuddin.

Ia mengaku bersyukur. Sebab, saat ini kian banyak ulama yang mendirikan dayah modern di Aceh. “Kalau di Aceh sekarang alhamdulillah sudah sangat banyak pesantren modern. Di Aceh Besar, mungkin sudah ada tujuh (dayah) yang model pembelajarannya modern,” ujar alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Bagaimana selayang pandang perkembangan dayah di Bumi Serambi Makkah kini? Perbandingannya dengan masa silam, seperti apa? Untuk menjawabnya, berikut perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan jebolan Pondok Modern Darussalam Gontor itu saat ditemui di sela-sela acara puncak Olimpiade Agama, Sains, dan Riset Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (OASE PTKI) di kampus UIN ar-Raniry, Banda Aceh, Aceh, beberapa waktu lalu.

Menurut Anda, bagaimana pendidikan Islam bisa mencetak generasi Muslim yang ideal?

Saya pikir, ini tugas sejarah dari kalangan pendidik. Kita sudah tahu, dari zaman dahulu kaum pendidik terus berupaya mencetak calon-calon pemimpin Muslim yang ideal. Menurut hemat saya, seorang pemimpin Muslim yang ideal minimal harus dilandasi pada dua hal.

Pertama, ia harus memiliki pengetahuan umum serta sosial kemasyarakatan yang cukup. Kedua, ia mesti mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni.

Nah, dua hal itu harus seimbang. Saya pikir, ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Kalau kita mau hidup sejahtera di dunia, maka harus dengan ilmu. Sejahtera di akhirat juga dengan ilmu.

Lembaga pendidikan merupakan tempat menempa generasi penerus. Sebagai seorang pendidik, bagaimana Anda melihat distingsi pesantren?

Pesantren, seperti halnya institusi pendidikan agama, saya kira memegang peranan yang sangat penting. Di sini, anak-anak muda dididik untuk menjadi pribadi yang lebih baik, berbuat lebih baik. Yang saya amati, pendidikan karakter itu membuat mereka jadi begitu (berubah menjadi baik --Red) karena mereka takut akan dua hal.

Pertama, takut hukuman duniawi dan, kedua, juga hukuman ukhrawi. Adanya dua rasa takut itu, saya pikir, akan membentuk pola pikir generasi muda ke depan agar lebih konsisten berbuat kebajikan.

Lain daerah, lain pula sistemnya. Di Aceh, kita mengenal institusi dayah. Apa perbedaannya dengan pesantren, sebagaimana dipahami di Jawa?

Pertama, kita lihat secara bahasa. Dayah itu asal katanya adalah zawiyah. Artinya, pojokan-pojokan tempat orang mengaji. Sebab, dahulu orang-orang mengaji di pojok sana-sini. Kalau di Mesir, itu disebut dengan halaqah. Awalnya begitu. Namun, kemudian berubah sebutannya menjadi dayah.

Sebenarnya, dayah tidak jauh berbeda dengan pesantren. Lembaga pendidikan ini didirikan orang pribumi. Para raja, sultan, atau kalangan istana pun mendidik (anak-anaknya) di pesantren.

 
Dayah itu asal katanya adalah zawiyah. Artinya, pojokan-pojokan tempat orang mengaji. Sebab, dahulu orang-orang mengaji di pojok sana-sini.
 
 

Misal, Rangga Warsita (pujangga besar Jawa abad ke-19) bercerita tentang bagaimana pangeran-pangeran di Solo itu masuk pesantren. Di Aceh juga begitu. Pengajarannya dahulu mungkin lebih luas di dayah atau pesantren.

Bagaimana gambaran dayah pada masa silam?

Kalau sekarang, yang umumnya dipahami orang, dayah itu identik dengan (tempat) belajar agama saja. Kalau dahulu, di dayah itu semuanya dipelajari.

Saya ingat, waktu dulu sebelum tsunami tahun 2004 kami pernah mendiskusikan sejarah dengan salah satu pejabat di Kemenag (Kementerian Agama). Diketahui, perahu-perahu yang ada di Banten itu ternyata dibuat oleh alumni pesantren. Dan, itu kapal-kapal besar digunakan untuk melawan Portugis.

Tidak hanya itu, beberapa panglima perang di Aceh juga alumni dari dayah. Misalnya, Malem Dagang dan Tengku Japakeh. Artinya, semua hal—tidak hanya aspek ibadah agama—itu dipelajari (di dayah) kalau dahulu. Namun, ketika kemudian masuk sistem pendidikan formal, pesantren kembali hanya mengurusi agama. Padahal, tidak seperti itu pada awalnya.

Bagaimana dengan dayah pada zaman sekarang?

Lambat laun, sudah mulai ada perkembangan lagi. Bahkan, pesantren-pesantren di Indonesia sekarang sudah ada perguruan tingginya. Aceh juga begitu. Di samping itu, kita juga berterima kasih kepada Kementerian Agama yang sudah mengakomodasi dayah tinggi atau ma’had ali yang tingkatnya sama dengan perguruan tinggi.

Alhamdulillah, itu dengan keluarnya KMA (keputusan menteri agama) memberi pengaruh yang besar untuk pembentukan generasi pesantren.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by PESANTREN AL-FALAH ABU LAM U (alfalahupdated)

Kini, cukup banyak dayah atau pesantren modern. Pendapat Anda?

Kalau pesantren modern, saya pikir, Gontor merupakan perintis awalnya. Kalau di Aceh, sekarang alhamdulillah sudah sangat banyak pesantren modern. Di Kabupaten Aceh Besar, mungkin sudah ada tujuh (dayah) yang model pembelajarannya modern.

Karena itu, saya kira, tidak tepat bila dikatakan, institusi dayah atau pesantren dianggap kurang modern daripada sekolah-sekolah umum. Barangkali, tidak ada perbedaan yang jauh. Cuma, perbedaan hanya terletak pada metode. Atau juga, fokus dari sebuah dayah atau pesantren.

Misal, saya pernah datang ke beberapa pesantren di Jawa. Di sana, ada namanya desa pesantren. Setiap pesantren punya fokus masing-masing. Untuk di Aceh, juga ada yang seperti itu. Contohnya, ada pesantren yang fokus untuk mengkaji fikih atau sebagainya.

Bagaimana semestinya unsur-unsur modernitas berpadu dengan keislaman dalam sistem pendidikan?

Yang jelas, modernitas tidak bisa ditolak. Namun, nilai-nilai keislaman, sesuai dengan anjuran Alquran dan hadis, juga tidak boleh berubah. Misalnya, model pakaian boleh berubah, tetapi menutup aurat itu adalah mesti.

Jadi, tidak ada yang mesti ditakutkan. Misal, takut kalau kemoderanan akan mengubah segalanya. Sebab, setiap orang hidup pada masanya. Setiap anak atau generasi dilahirkan untuk masanya.

Bisa diceritakan kepada kami tentang pesantren yang Anda pimpin?

Pesantren Modern al-Falah Abu Lam U berdiri sejak 1992. Ini adalah perkembangan dari Dayah Lam U yang sudah terbentuk jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, sebelum Perang Aceh-Belanda tahun 1873.

Dayah itu didirikan seorang ulama, Tgk Haji Auf, serta dilanjutkan kepemimpinannya oleh putranya, Tgk Haji Umar bin Auf. Lokasinya di Lamjampok, Ingin Jaya, Aceh Besar.

Bagaimana lembaga itu berubah dari dayah tradisional menjadi sebuah pesantren modern?

Penamaan pesantren modern karena sistem pengajaran di sini tidak lagi mengikuti sistem lama dalam bentuk pengajian, tetapi lebih condong pada sistem yang biasa digunakan dalam sekolah formal. Begitu pula, di sini mata pelajaran yang diajarkan tidak hanya ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga pelajaran umum. Adapun jumlah santri al-Falah saat ini sudah ada sekitar 650 orang.

Sejak tahun berdirinya, al-Falah resmi menerima santri baru dengan pimpinan pertamanya H Abdurrahman TB yang dibantu oleh Dail Hikam, alumnus Gontor yang berasal dari Banten. Ia kemudian menjadi pimpinan pesantren ini sampai tahun 2005.

Ketika tsunami datang, banyak santri yang belajar di sini kehilangan orang tua mereka. Mereka juga kehilangan tempat tinggal. Sebanyak 85 santri kami adalah korban tsunami. Pesantren dengan segala keterbatasan berusaha membantu mereka. Alhamdulillah, cukup banyak donatur memberikan bantuan.

Seperti apa pengajaran di pesantren ini dalam bidang teknologi?

Teknologi suatu hal yang wajib, tidak boleh tidak pada zaman sekarang. Di pesantren juga. Kami melihat, para santri wajib mempelajari dan bahkan menguasai teknologi. Teknologi bukanlah sesuatu yang mesti dihindari, justru harus kita taklukkan. Khususnya bagi anak-anak dan generasi muda, dengan teknologi-lah mereka bisa berkreasi.

Di al-Falah, kami mendidik tidak hanya dari para ustaz, tetapi juga melalui kerja sama yang diadakan dengan pihak-pihak luar. Ya, al-Falah telah bekerja sama dengan sebuah institusi pendidikan yang berpusat di Jerman. Pesantren ini termasuk salah satu sekolah yang bermitra dengannya.

Santri kita dikirim ke sana berbulan-bulan untuk belajar. Kalau guru, sampai enam bulan. Bahkan, ada yang setahun dilatih di Jerman. Jadi ini kita siapkan.

Sejauh ini, bagaimana Pesantren al-Falah Abu Lam U menghadapi tantangan pembelajaran di masa pandemi?

Di masa awal pandemi dan bahkan hingga kini, kita terus mengikuti seluruh keputusan dari pemerintah. Misalnya, sewaktu ada arahan bahwa tidak ada ada kegiatan pembelajaran secara luring.

Sempat kemudian kita mendengar keluhan dari para wali santri pada waktu itu. Ada yang mengatakan, anak-anak santri yang pulang sudah mulai tidak terkendali. Akhirnya, kita bermusyawarah dengan wali santri untuk mencari solusi bersama.

Setelah setengah tahun kita daring, kita lalu akhirnya dapat menerapkan pembelajaran luring sampai sekarang. Namun, itu tetap dengan pembatasan-pembatasan dan menerapkan protokol kesehatan. Orang yang dari luar juga tidak kita perbolehkan masuk. Mereka hanya boleh mengirimkan makanan.

photo
Pondok Pesantren al-Falah Abu Lam U di Lamjampok, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. - (DOK IST)

Inspirasi dari Abu Lam U

 

Ada banyak pejuang bangsa yang lahir di Aceh. Di deretan nama yang masyhur, barangkali, terdapat sosok-sosok Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, atau Keumalahayati. Namun, ada satu tokoh lagi yang juga besar jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dialah Abu Lam U.

Tgk H Saifuddin Sa’dan menuturkan profil ulama yang namanya menjadi inspirasi penamaan lembaga yang dipimpinnya, Pesantren Modern al-Falah. Ia mengatakan, Abu Lam U bernama asli Abdullah bin Haji Umar bin Auf. Sang alim lahir di Lam U, Aceh Besar, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1888 M.

“Pada masa kelahirannya, Kerajaan Aceh baru beberapa tahun memulai perang melawan agresor Belanda. Jadi, dalam kondisi demikianlah ulama ini tumbuh dan berkembang serta dibina oleh ayahnya,” ujar Haji Saifuddin kepada Republika, baru-baru ini.

Perang Aceh-Belanda meletus pada 1873. Hingga awal abad ke-20, kalangan rakyat dan ulama Tanah Rencong bahu-membahu dalam mengusir kekuatan kolonial itu. Bagaimanapun, tidak semua mereka dikerahkan ke medan jihad.

 
Pada masa kelahirannya, Kerajaan Aceh baru beberapa tahun memulai perang melawan agresor Belanda.
 
 

Saifuddin mengatakan, ada pemikiran untuk memindahkan sejumlah ulama ke tempat yang relatif aman. Dengan begitu, ilmu pengetahuan bisa dapat diselamatkan dari bahaya. Di antara alim ulama yang turut melakukan hijrah pada waktu itu adalah Haji Umar bin ‘Auf.

Ayahanda Abu Lam U itu mulanya berangkat ke Yan Kedah. Di daerah yang kini bagian dari Malaysia itu, dirinya menetap sekaligus mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat. Seorang patronnya ialah Tgk Muhammad Arsyad Ie Leubeue.

“Haji Umar dalam hijrahnya membawa serta keluarganya, termasuk di dalamnya Tgk Abdullah (Abu Lam U). Setelah keadaan Aceh mulai normal, Tgk Abdullah bin Haji Umar kembali ke tempat kelahirannya untuk menghidupkan kembali dayah yang dahulu dikelola ayah dan kakeknya,” tutur alumnus Gontor itu.

Dalam waktu yang tidak lama, aktivitas pendidikan di Dayah Lam U kembali bergeliat. Kian banyak orang yang menjadi santri di sana. Mereka datang dari pelbagai wilayah Aceh. Abu Lam U wafat pada 4 Juni 1967.

“Sepeninggalannya, Dayah sempat vakum. Namun, pada 1992 putra beliau, Athaillah, menghidupkan kembali Pesantren Abu Lam U. Pembangunan kembali dayah ini dilakukan dengan mendirikan sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan,” jelasnya.

Menurut Saifuddin, spirit perjuangan Abu Lam U beserta ayahanda dan kakeknya akan terus menginspirasi umat, khususnya para santri Pesantren Modern al-Falah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat