Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Cinta yang Tak Mengalami Erupsi

Inspirasi yang semoga menyentuh setiap anak yang masih memiliki orang tua di dekatnya.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Saya berjumpa dengannya tak sengaja. Mungkin usianya lebih tua 10-15 tahun dari saya. Kami sama-sama berdiri di antrean untuk membayar sesuatu. Panjangnya antrean membuat kami yang awalnya bertukar senyum kemudian saling menyapa. 

“Anak saya perempuan satu Mbak. Kesayangan sejak kecil. Saya berusaha memberikan yang terbaik dan apa pun yang dia inginkan.” 

Waktu itu dua buah hati saya masih usia sekolah dasar. Maka saya pikir ini mungkin momen yang Allah bukakan untuk belajar dari orang tua lain yang telah membimbing anandanya lebih dulu. Namun seiring ceritanya makin murung wajah kawan bicara saya. 

“Dia memilih jurusan dan fakultas yang dia suka, saya dukung. Dia menikah dengan pilihannya, saya restui. Anak bahagia tentu orang tua ikut bahagia- apalagi saya orang tua tunggal.“

 
Sapa-sapa semakin jarang. Interaksi kian hening. Inisiatif si ibu untuk menelepon tak selalu tersambung. Lama-lama terasa jarak kian jauh  terbentang. 
 
 

Isi percakapan bernada suka cita. Kalau begitu apa yang membuat perempuan paruh baya ini bersedih? “Selama membesarkan dia saya tidak pernah minta apa-apa Mbak. Kalau dia ingat saya alhamdulillah. Kita orang tua paham, kalau anak bekerja apalagi di awal karir mesti sibuk.”

Kesibukan dunia profesi yang baru dirintis, ditambah keluarga baru. Perlu penyesuaian dan waktu agar terbiasa hingga bisa menemukan ritme yang seimbang.

Sapa-sapa semakin jarang. Interaksi kian hening. Inisiatif si ibu untuk menelepon tak selalu tersambung. Lama-lama terasa jarak kian jauh  terbentang. 

“Salahkan jika saya tak merasa dipedulikan sebagai ibu? Rasanya saya tidak banyak merecoki kehidupannya. Apalagi meminta rumah, kendaraan atau apa pun meski saya lihat dari jauh hidupnya semakin mapan. Tapi kenapa kian miskin kasih sayang pada mamanya?”

Apa yang salah? Saya tak mengerti. Bertambah curhat kanan kiri dari sesama orang tua yang merasa anak-anaknya tak lagi mau mendengarkan nasihat meski untuk kebaikan mereka sendiri. 

“Tiap bicara dijawab, ‘kenapa sih Mama harus merusak kebahagiaan orang lain?’ Padahal yang diingatkan sesuatu yang baik.”

 
Kasus tiga orang anak yang menitipkan ibunda mereka hanya dengan sepucuk surat kepada pengurus panti, bahkan tanpa mengantar langsung ke panti jompo, rasanya sulit diterima nalar.
 
 

Dicuekin sampai dibentak anak mah, sudah makanan hari-hari, kali, Bu. “ 

Yang terakhir curhat seorang ibu yang anaknya memasuki usia SMP dan SMA. Cerita-cerita perih terus menderas. Catatan hati para orang tua. Sebagai seorang ibu, saya ikut merasakan kepiluan mereka. Terbayang malam-malam saat ananda bayi dan para bunda lebih sering berjaga dari pada memejamkan mata. Terbayang pengorbanan lahir batin yang diberikan seorang ibu bagi anak-anaknya.

“Yang penting anak bisa makan sama sekolah. Saya lapar tidak apa-apa.” curhat bunda yang lain. Namun setelah semua pengorbanan, apa yang dilakukan ananda tersayang?

Kasus tiga orang anak yang menitipkan ibunda mereka hanya dengan sepucuk surat kepada pengurus panti, bahkan tanpa mengantar langsung ke panti jompo, rasanya sulit diterima nalar.

Jika tak punya uang- benar-benar tak mampu menyediakan makanan untuk  satu mulut lagi, setidaknya tenaga dan waktu harusnya ada untuk untuk mengantar ibunda hingga tak merasa dibuang ketika sudah tidak berdaya, tak lagi mampu menghasilkan di usia tua. 

Atau apakah rasa malu yang membuat tiga saudara tadi, enggan mendampingi ibunda? Tidakkah kebahagiaan dan perasaan orang tua lebih penting dari gengsi atau harga diri? 

 
Mau tidak mau cerita-cerita mereka memaksa saya memandangi anak-anak lebih lekat.
 
 

Ingin saya menggeleng kuat-kuat. Membisikkan semangat bagi setiap orang tua. Insya Allah bukan ini sikap anak-anak kita di masa depan pada orang tua mereka, khususnya terhadap ibunda yang mengandung mereka sembilan bulan dalam kondisi payah dan kian payah.

Seseorang yang bahkan menurut Alquran tak pantas mendapatkan sekadar kata, “Ah!” dari ananda. Apalagi kalimat atau perlakuan menyakitkan lainnya. 

Uniknya para ibu yang curhat ketika saya tanya bagaimana mereka merespons semua perkataan dan sikap kasar dan abai ananda? Jawaban mereka hampir senada.

“Sedih tapi tetap nama dia saya sebut dalam doa. “

“Biasanya makin saya terluka dan marah, makin panjang saya meminta Allah mengampuni ananda.”

“Saya kalau kesal sampai sumpahin anak-anak Mbak. Biar mereka ditambahkan hidayah, biar mereka diberi tambahan ilmu, biar mereka diberikan kemampuan lebih sama Allah untuk menolong orang lain!”

Mau tidak mau cerita-cerita mereka memaksa saya memandangi anak-anak lebih lekat. Bahkan sempat ada percakapan dengan suami, bagaimana agar kami sebisanya sampai tua tetap mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada anak-anak.

Rasanya tak sanggup mendapatkan tatapan ananda yang merasa orang tua sebagai beban yang memberati mereka mewujudkan rencana-rencana masa depan. Meski idealnya orang tua menjadi bagian dari impian seorang anak. 

 
Di mata Rumini mestilah sosok renta itu bukan beban yang menyesakkan dada, melainkan jalan baginya menjemput surga. 
 
 

Cita-cita untuk mapan di usia tua tidak lantas redup, meski alhamdulillah ananda kami yang sudah bekerja memberi perhatian sangat baik, pun di tengah kesibukan yang padat sebagai pimpinan di sebuah NGO. Terbiasa menelepon berkali-kali dalam satu hari. Masih sering menghabiskan waktu bersama. Memedulikan tidak hanya orang tua tetapi juga kakek dan neneknya.

Sang adik masih semester lima. Tidak kurang sibuk karena selain menuntut ilmu juga aktif berorganisasi di kampus. Namun masih menyelipkan kebahagiaan selain prestasi belajarnya, juga hal sederhana lain. Saat kami bersama, tangannya masih mencari telapak saya untuk digenggam. 

Benar tulisan ini sedikit awal untuk Hari Ibu. Tapi sebuah berita viral tentang Rumini yang memutuskan mendekap ibunya yang tak mampu lagi berjalan, hingga mereka berdua menemui kematian --alih-alih lari menyelamatkan diri sendiri-- saat erupsi Semeru terjadi, sungguh menyalakan keharuan.

Walau berita kemudian dikoreksi, bukan ibu namun sang nenek yang berada dalam pelukan Rumini, tetap membuat saya tak sanggup membayangkan cinta sebesar apa yang almarhumah miliki.

Inspirasi yang semoga menyentuh setiap anak yang masih memiliki orang tua di dekatnya. Di mata Rumini mestilah sosok renta itu bukan beban yang menyesakkan dada, melainkan jalan baginya menjemput surga. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat