Pedagang mengikuti sosialisasi bersama penerbit, dan Polda DIY terkait peredaran buku bajakan di sentra buku Shoping, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. | Republika/ Wihdan

Nasional

Upaya Melawan Pembajakan di Era Teknologi Tinggi

Kemudahan yang ditawarkan teknologi turut terjadi pada proses pembajakan karya intelektual.

OLEH RONGGO ASTUNGKORO

Era teknologi tinggi saat ini bak pisau bermata dua. Di satu sisi dapat mempermudah berbagai hal, di sisi lain terdapat ancaman dari kemudahan tersebut. Aneka karya intelektual, yang satu di antaranya berupa buku, menjadi salah satu sektor yang terdampak oleh pisau bermata dua itu.

Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi disebut turut terjadi pada proses pembajakan suatu karya intelektual. Teknologi memungkinkan suatu pihak untuk dengan lebih mudah menggandakan serta melakukan pendistribusikan hasil penggandaan ity secara lebih masif dan juga efisien.

"Teknologi tinggi pun memberi kontribusi pada makin susahnya kita melawan pembajakan," ungkap Ketua Umum Satupena, Denny JA, pada penandatanganan nota kesepahaman di Indonesia International Book Fair (IIBF) 2021 yang ditayangkan secara daring, Rabu (9/11).

Persoalan era teknologi tinggi tersebut merupakan salah satu dari tiga penyebab yang membuat semakin maraknya pembajakan yang Denny sebutkan. Penyebab kedua yang dia sebutkan terkait dengan daya terima publik, terutama di era pandemi. Menurut dia, pandemi Covid-19 membuat perekonomian semakin sulit, sementara masyarakat juga membutuhkan hiburan.

"Makin banyak orang mencari hiburan-hiburan yang murah. Jika bisa yang gratis. Tidak lagi mereka peduli apakah itu karya pembajakan. Dengan sendirinya situasi ini juga membuat di era pandemi justru pembajakan meluas" kata Denny.

Lalu, penyebab ketiga yang dia sebut ialah semakin tak berdayanya pemerintah dalam melakukan upaya memberantas tindakan pembajakan. Dengan adanya teknologi yang bersifat lintas negara, hasil pembajakan yang dilakukan di luar negeri bisa didapatkan dengan mudah di Indonesia.

Sementara itu, dia melihat undang-undang (UU) yang mengatur tentang pembajakan maupun hak cipta di Indonesia mayoritas bercorak delik aduan. Dengan begitu, pemerintah baru dapat bergerak setelah adanya aduan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan. Dia menilai, itu membuat tindakan pencegahan sulit untuk dilakukan.

"Akibatnya hal yang paling esensial di hukum, yaitu pencegahan, itu tak bisa dilakukan," tutur Denny.

Dia berharap empat organisasi yang terdiri dari Satupena, Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI), Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), dan Wanita Penulis Indonesia (WPI), dapat menjadi kekuatan yang dapat mengalahkan pembajakan.

"Kita angggap inilah awal dari perlawanan kita, kita melawan diawali dengan niat baik. Karena kita tahu mencipta itu adalah hal mulia. Karena menicpta itulah peradaban ini bergerak. Karena itulah hak cipta layak dilindungi, layak diproteksi dengan apa yang kita bisa," jelas dia.

Sementara itu, Ketua IKAPI, Arys Hilman Nugraha, pada kesempatan yang sama mengungkapkan sejumlah hal yang dia sorot terkait dunia penulisan dan penerbitan. Arys melihat saat ini ada keterbatasan pengetahuan tentang hak cipta, bahkan di kalangan penerbit.

"Ini yang nanti harus menjadi tindak lajut dari MoU ini, kita harus bersama-sama bekerja bersama memberikan pengetahuan literasi tentang hak cipta," kata Arys.

Dia juga menyinggung persoalan yang disebabkan oleh datangnya teknologi saat ini terhadap dunia penerbitan. Arys mengatakan, di era teknologi saat ini ada pandangan yang melihat konten sebagai suatu hal yang dapat dibagikan secara gratis. Itu terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.

"Salah satu tema yang menarik di dunia internasional adalah adanya tuntutan dari sejumlah pihak, bahwa ketika pandemi bolehlah bagi-bagikan konten secara gratis," kata dia.

Dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman, Arys menyatakan IKAPI akan bekerja sama untuk memberikan wawasan yang lebih luas terkait hak cipta dan persoalan lain di dunia penerbitan kepada para anggotanya. Dia juga menyatakan akan terus berkontribusi dengan PRCI dalam menjalankan misi bersama.

Ketua PRCI, Kartini Nurdin, pada kesempatan tersebut menyatakan, perkembangan teknologi digital membuat orang semakin mudah memanfaatkan karya-karya cipta orang lain. Padahal, penerbit yang menyediakan buku, pencipta yang menulis buku dan menerbitkannya melalui penerbit patut dihargai.

"Sehingga kami berjuang bersama. ini terima kasih kepada IKAPI, Satupena, dengan WPI untuk memperkuat bahwa penulis dan penerbit itu harus dihargai " ungkap Kartini.

Dia menyoroti UU Hak Cipta yang saat ini berlaku. Menurut kartini, di sana peraturan yang memungkinkan penulis lebih dihargai masih belum kuat. Karena itu, dia menilai penting bagi pemerintah untuk mengatur persoalan itu sehingga para pencipta, penulis, hingga penerbit dapat mengelola hak-hak ekonominya.

"Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih kuat sehingga memudahkan kita melaksanakan atau mengelola hak-hak ekonomi para pencipta, penulis, serta penerbit," tutur dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat