Suasana permukiman padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/9/2021). | Republika/Thoudy Badai

Dialektika

Menjadi Miskin di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 membuat sensitivitas terhadap garis kemiskinan semakin menguat.

 

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS; M ANWAR, Peneliti IDEAS

Seiring kegagalan mencegah dan mengendalikan penyebaran wabah, kerusakan ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 di Indonesia adalah luas. Prioritas tinggi terhadap ekonomi sejak awal pandemi telah membuat virus masuk dan meluas dengan cepat ke penjuru negeri.

Ketika wabah mulai tak terkendali, intervensi non farmasi kemudian diadopsi, tapi hanya sekadar untuk menahan laju kasus, menurunkan beban rumah sakit dan menekan angka kematian pada tingkat yang dapat diterima, untuk kemudian melonggarkan kembali restriksi.

Prioritas ekonomi di masa pandemi terbukti membuat virus semakin menyebar dan makin sulit dikendalikan, sehingga membawa negeri ini terjebak pada siklus infeksi virus berulang dengan kerusakan ekonomi yang kian masif. Adopsi intervensi non farmasi berulang untuk menahan penyebaran virus dalam waktu panjang menimbulkan kerusakan ekonomi skala besar. Juga telah memukul hampir seluruh sektor ekonomi secara keras dan mengempaskan jutaan pelaku ekonomi dalam waktu singkat.

Setelah hampir dua tahun dilanda pandemi, kinerja penanggulangan kemiskinan terlihat mulai membaik. Bila di awal pandemi, pada Maret dan September 2020, penduduk miskin bertambah hingga 1,63 juta orang dan 1,13 juta orang, maka pada Maret 2021 kecenderungan kenaikan ini terhenti. 

Bahkan, sudah mulai terlihat tanda pembalikan arah. Angka kemiskinan turun tipis dari 10,19 persen pada September 2020 menjadi 10,14 persen pada Maret 2021.  

Pelongggaran aktivitas ekonomi sosial pasca puncak gelombang pertama pada Januari 2021 dan semakin intensifnya penyaluran bansos, diduga kuat menjadi faktor utama perbaikan kinerja penanggulangan kemiskinan ini. Namun, serangan virus gelombang kedua yang berpuncak pada Juli 2021 dan diikuti pengetatan aktivitas masyarakat secara signifikan, diduga kuat akan kembali melemahkan kinerja penanggulangan kemiskinan pada September 2021.

photo
Sensitivitas Geris Kemiskinan Antara Sebelum Pandemi dan Masa Pandemi. Data IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Miskin di masa pandemi

Kemiskinan di Indonesia dicirikan dengan besarnya penduduk yang berada di dekat kemiskinan. Dengan kata lain, sedikit perubahan pada garis kemiskinan akan mengubah jumlah penduduk miskin secara signifikan.

Pandemi membuat sensitivitas terhadap garis kemiskinan ini semakin menguat, di mana sebagian besar masyarakat kini makin menurun tingkat kesejahteraannya: menjadi miskin di masa pandemi. 

Pada Maret 2019, sebelum pandemi, tingkat kemiskinan 9,40 persen dengan 3,07 persen di antaranya adalah kemiskinan ekstrem, di bawah 0,8 kali garis kemiskinan. Bila kita lipat gandakan garis kemiskinan ekstrem, yaitu 1,6 kali garis kemiskinan, angka kemiskinan melonjak menjadi 34,37 persen.

Di masa pandemi, September 2020, kecenderungan ini menguat, di mana angka kemiskinan kini 10,19 persen, dengan 3,75 persen di antaranya kemiskinan ekstrem, dan angka rentan kemiskinan mencapai 35,74 persen. 

 
Di masa pandemi, semakin banyak penduduk yang jatuh ke kelas ekonomi lebih rendah.
 
 

Dengan sekitar 25 persen penduduk berada di dekat garis kemiskinan, maka penduduk rentan miskin adalah sangat besar, yaitu sekitar 66,6 juta orang pada Maret 2019 dan menembus 69 juta orang pada September 2020. Di masa pandemi, semakin banyak penduduk yang jatuh ke kelas ekonomi lebih rendah.

Pandemi tidak hanya membuat kelas bawah terus terjebak dalam kemiskinan, dan bahkan dengan derajat kemiskinan yang semakin dalam, tapi juga telah membuat banyak kelas menengah kian rentan jatuh ke jurang kemiskinan.  

Untuk lepas dari “middle-income trap”, Indonesia membutuhkan kebijakan progresif yang akan menaikkan kelas bawah, yaitu penduduk miskin dan rentan miskin, ke kelas menengah, dan di saat yang sama melentingkan kelas menengah ke kelas atas.

Untuk melambungkan kelas menengah, dibutuhkan layanan publik, terutama pendidikan dan kesehatan, yang berkualitas tinggi, mempromosikan pasar tenaga kerja yang memfasilitasi mobilitas vertikal pekerja dan membuka akses ke pembiayaan usaha yang fleksibel dan terjangkau serta perlindungan sosial yang lebih efektif.

photo
Kelas Menengah yang Terpukul Wabah. Kejatuhan Kelas Menengah dan Urgensi Sosial yang Lebih Luas di Masa Pandemi. Data IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Namun, pandemi meruntuhkan harapan besar lompatan ekonomi dari kelas menengah. Sebagian besar kelas menengah kini justru mengalami kejatuhan yang dalam akibat pandemi. Secara keseluruhan, kelas menengah masih mampu tumbuh, dari 64,72 persen pada Maret 2019 menjadi 65,27 persen pada September 2020. Namun, sebagian besar dari kelas menengah jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah.

Kelas menengah dengan kenaikan tertinggi dicatatkan oleh kelas pengeluaran terbawah, yaitu 1,7 – 2,6 kali garis kemiskinan (Rp 20-30 ribu per hari), diikuti kelas pengeluaran kelas teratas, 8,7 – 17,4 kali garis kemiskinan (Rp 100-200 ribu per hari).

Sedangkan kelas menengah lainnya, yaitu dengan kelas pengeluaran 2,6 – 8,7 kali garis kemiskinan (Rp 30-100 ribu per hari), justru mengalami kejatuhan yang dalam, dari 38,3 persen pada Maret 2019 menjadi 35,9 persen pada September 2020.

 
Pandemi telah mengubah komposisi kelas menengah menjadi lebih rawan secara ekonomi.
 
 

Pandemi telah mengubah komposisi kelas menengah menjadi lebih rawan secara ekonomi: kelas menengah-atas dengan ketahanan ekonomi yang tinggi mengalami kemerosotan ke kelas menengah-bawah yang rawan terjatuh ke kelas bawah (kelas miskin dan rentan/hampir miskin).

Pandemi membuat kelas menengah-bawah, kelas pengeluaran 1,7 – 3,5 kali garis kemiskinan (Rp 20-40 ribu per hari), meningkat dari 39,2 persen pada Maret 2019 menjadi 41,3 persen pada September 2020. Di saat yang sama, kelas menengah-atas, kelas pengeluaran 3,5 – 17,4 kali garis kemiskinan (Rp 40-200 ribu per hari), menurun dari 25,6 persen menjadi 24,0 persen.

Kejatuhan kelas menengah di masa pandemi ini berjalan beriringan dengan kejatuhan sektor formal-modern. Pandemi memukul keras usaha modern, membuat sebagian besar dari mereka mengalami disrupsi usaha, jatuhnya omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen. Jatuhnya mobilitas dan daya beli masyarakat memukul keras sektor formal-modern terutama pariwisata, industri pengolahan, dan konstruksi.

Di masa pandemi, semakin banyak tenaga kerja yang terperangkap di sektor yang memberi upah rendah. Tenaga kerja dengan status pekerja bebas di pertanian dan nonpertanian, terutama buruh tani dan buruh bangunan, bertambah signifikan. Demikian pula dengan tenaga kerja di sektor informal dan pekerja berstatus pekerja keluarga/tidak dibayar yang jumlahnya melonjak tajam.

photo
Mimpi Pertumbuhan Inklusif Pasca Wabah. Insiden Pertumbuhan Pengeluaran per Kapita Kelas Bawah dan Kelas Menengah di Masa Pandemi. Data IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Mimpi pertumbuhan inklusif

Pemerintah kini berupaya keras memulihkan perekonomian seiring berakhirnya gelombang kedua yang berpuncak pada Juli 2021. Pembukaan hampir seluruh aktivitas sosial-ekonomi, termasuk sekolah dan event olahraga diharapkan akan kembali mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Namun arah pemulihan ke depan, selain diliputi ketidakpastian tinggi, juga diyakini berpotensi tidak inklusif.

Pemulihan pasca pandemi akan ideal ketika semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama, sehingga manfaat pertumbuhan akan dirasakan secara merata. Pada periode 2014-2020, pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata, menandakan manfaat pertumbuhan yang dinikmati semua.

Pola ini berubah drastis pada masa pandemi, Maret – September 2020, di mana beban kejatuhan ekonomi tidak ditanggung merata, lebih banyak ditanggung oleh kelas menengah. Kelas menengah mengalami kejatuhan pengeluaran per kapita paling dalam seiring kejatuhan sektor formal-modern. 

Pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar: si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin. Pola pemulihan yang umum dikenal dengan K-shape ini terjadi karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas.

Pemulihan ekonomi pasca pandemi kini terlihat banyak didorong kondisi eksternal, terutama pulihnya negara mitra dagang utama dan kenaikan harga komoditas seperti batu bara, serta pulihnya sektor keuangan dengan cepat.

photo
Hemat Si Kaya, Terpuruk Si Miskin. Paradoks Penghematan dan Kualitas Rendah Pertumbuhan di Masa Pandemi 2019-2021. Data IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dengan K-shape recovery, kami memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas. Ssedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat – rendah. Implikasinya, penanggulangan kemiskinan pasca pandemi akan berjalan lebih lambat.

Lebih jauh, pemulihan K-shape berpotensi melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan. Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah.

 
Pemulihan K-shape berpotensi melemahkan potensi pertumbuhan di masa depan seiring meningkatnya kesenjangan. Secara umum, kelas atas memiliki rasio tabungan terhadap pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas bawah.
 
 

Ketika pendapatan kelas atas meningkat, rasio tabungan mereka ikut melonjak. Seiring kenaikan pendapatan, rasio konsumsi kelas atas justru menurun. Di sisi lain, kelas menengah-bawah semakin tergerus rasio tabungannya untuk bertahan hidup. 

Sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal > Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021. Pada saat yang sama, pangsa simpanan dengan tier nominal < Rp 100 juta menurun dari 14,5 persen menjadi 13,0 persen.

Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi (paradox of thrift).

photo
Kemiskinan di Tengah Pemulihan Pasca Pandemi. Kualitas Pertumbuhan Ekonomi di Masa Pandemi dan Proyeksi Kemiskinan 2022. Data IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Prospek kemiskinan ke depan

Perlindungan sosial (perlinsos) berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi. Namun, ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun.

Bila pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, maka pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun. Melemahnya anggaran perlinsos berpotensi memicu semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi. 

Skenario penanggulangan kemiskinan semakin suram dengan kecenderungan pemulihan ekonomi yang memperlihatkan pola K-shape. Dalam skenario pesimistis, kami memproyeksikan tingkat kemiskinan pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen, setara 29,3 juta penduduk miskin.

Hanya jika pemerintah mampu melakukan kebijakan afirmatif secara optimal dan mendorong pertumbuhan lebih inklusif secara signifikan atau skenario optimistis, maka penurunan angka kemiskinan dapat berlanjut.

Semoga.

 
Hanya jika pemerintah mampu melakukan kebijakan afirmatif secara optimal dan mendorong pertumbuhan lebih inklusif secara signifikan atau skenario optimistis, maka penurunan angka kemiskinan dapat berlanjut.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat