Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Di Air Keruh, Nafsu Makan Ikan Lele Itu Minta Ampun (I)

Peta politik Indonesia ditandai polarisari yang tajam dan keruh sejak 2016.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Kalau tidak salah ingat, awal abad ke-21, seorang jenderal Angkatan Darat memberi tahu saya tentang sifat ikan lele, yang nafsu makannya menjadi lahap sekali jika air tempat tinggalnya semakin keruh.

Sebelum pergi shalat Jumat pada 12 November 2021, melalui SMS (karena dia tidak pakai WA), saya kontak lagi sang jenderal yang sudah purnawirawan itu: “Jenderal, masih ingat saya Ahmad Syafii Maarif? Saya masih ingat sifat ikan lele yang dulu diceritakan kepada saya, sekarang semakin merajalela. Salam sehat selalu. Maarif.”

Tak selang berapa lama, jenderal ini menelepon saya. Dia masih belum lupa tentang perangai ikan lele itu. Lalu dilanjutkannya, “Sebagai tentara saya banyak dosa, kini tinggal harapan menjelang disingkirkan ke kubur agar mendapatkan husnul khatimah (kebaikan akhir) di ujung hidup saya.”

Yang patut dicatat, kesadaran mendalam sang jenderal tentang terbatasnya usia manusia. Baginya, dunia ini sudah tak menarik lagi.  

 
Yang patut dicatat, kesadaran mendalam sang jenderal tentang terbatasnya usia manusia. Baginya, dunia ini sudah tak menarik lagi.  
 
 

Karena itu, pemusatan perhatiannya lebih tertuju kepada kehidupan di seberang makam, sesuatu yang tak semua orang punya kesadaran seperti itu. Tak jarang di antara kita, mungkin saya termasuk, dalam usia lanjut masih terpukau dan terpaku kilauan duniawi yang pasti kita tinggalkan.

Semuanya bersifat sementara; semuanya fana; semuanya adalah “mata’u al-ghurul” (kesenangan yang menipu), kata Alquran dalam surah al-Hadid ayat 20. Sebagai seorang Muslim, jenderal kita tampaknya sudah sangat siap mengucapkan sayonara kepada segala yang bersifat menipu ini.

Setelah jadi purnawirawan, jenderal ini pernah mengajak saya menghadiri acara tarekat di Gresik di bawah asuhan seorang kiai ternama, KH Ahmad Asrori al-Ishaqi (w 2009).

Sekalipun saya seorang warga Muhammadiyah yang tak terbiasa dengan kegiatan semacam itu, demi menjaga persahabatan, ajakan jenderal ini saya ikuti. Berjubel jamaah tarekat dengan pakaian serbaputih tumpah untuk mengikuti arahan spiritual sang kiai ini.

Kegiatan itu berlangsung selama berjam-jam. Bagi saya, yang tidak terlatih untuk acara semacam itu, sungguh melelahkan. Tetapi mungkin bagi jamaah tarekat, peristiwa itu sangat mengasyikkan.

 
Peta politik Indonesia ditandai polarisari yang tajam dan keruh sejak 2016. Ini memberi kesempatan baik bagi manusia lele semakin memperkeruh situasi.
 
 

Mereka punya keterikatan emosional yang sangat dalam dengan sang mursyid (guru tarekat) Qadiriyah-Naqsabandiyah al-Usmaniyah itu.

Kita lupakan yang serba tarekat itu. Kita lanjutkan pembicaraan tentang kisah ikan lele dalam lensa peta sosio-politik Indonesia kontemporer. Ikan lele atau bahasa ilmiahnya clarias itu bertubuh licin, berkumis panjang yang tumbuh di sekitar mulutnya.

Ada dua jenis lele: lele kampung dan lele jumbo. Warna kulit punggungnya kebanyakan hitam, di bagian perutnya berwarna keputihan. Jenis yang kedua ini mudah sekali dibudidayakan. Harga jualnya tidak mahal. Rasa dagingnya gurih.

Ada pula jenis lele yang seluruhnya berwarna putih, tetapi tidak banyak dijumpai. Di air keruh, nafsu makannya dahsyat sekali sambil melompat-lompat kegirangan berebut pangan.

Peta politik Indonesia ditandai polarisari yang tajam dan keruh sejak 2016. Ini memberi kesempatan baik bagi manusia lele semakin memperkeruh situasi. Diawali Pilkada DKI Jakarta. Perang ayat terjadi.

Ahok dijadikan sasaran tembak dengan tuduhan sebagai penghina Alquran dan ulama, yang dikaitkan dengan pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, September 2016. Gaungan polarisasi ini masih belum hilang sampai hari ini.

 
Mudah sekali dibaca. Panggung politik Indonesia menjadi hitam putih. Warnanya miskin sekali. Hanya dua warna itu. Jika Anda tidak mendukung kelompok saya, Anda adalah musuh.
 
 

Panggung politik menjadi panas. Fitnah merajalela. Mereka yang bermental ikan lele ini berkeliaran di mana-mana. Dalam suasana keruh ini, mereka meraup untung, apa pun bentuknya, tidak peduli cara mendapatkannya.

Di antara mereka, ada pula yang mahir memainkan kata-kata bersayap demagogik, yang dapat menipu sebagian orang yang tidak awas. Lidahnya tajam, hatinya penuh dendam. Dalam kata bersayap itu, ujaran kebencian terhadap lawan politik terasa benar.

Mudah sekali dibaca. Panggung politik Indonesia menjadi hitam putih. Warnanya miskin sekali. Hanya dua warna itu. Jika Anda tidak mendukung kelompok saya, Anda adalah musuh.

Sikap hitam putih ini pertanda primitivisme, sekalipun dilakukan mereka yang berpendidikan tinggi. Dalam iklim politik yang keruh, tingkat pendidikan seperti tidak ada pengaruhnya dalam membentuk perilaku seseorang.

Etika politik sudah tidak diindahkan lagi. Homo homini lupus (manusia bak serigala terhadap satu sama lain) adalah patokan hidupnya sebagai lawan dari homo homini socius (manusia adalah teman bagi sesamanya).

Kearifan Yunani kuno ini sering dikutip orang untuk menggambarkan peta sosio-politik masyarakat yang saling berhadapan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat